

Suara klakson bersahutan di jalan raya yang macet. Matahari sudah condong ke barat, memantulkan sinarnya pada kaca-kaca gedung yang berjejer.
Andre, lelaki tinggi dengan wajah tegas, baru saja memarkir mobil majikannya di depan sebuah gedung perusahaan besar. Setelan kemeja hitam dan celana bahan yang rapi, meski hanya seorang sopir pribadi, membuatnya terlihat lebih seperti eksekutif muda.
Andre melirik jam tangannya. "Sepuluh menit lagi, aku bisa kesana dulu," gumamnya pelan. Majikannya masih rapat. Ia berniat turun sebentar untuk membeli kopi sachet di warung dekat gedung.
Belum sempat langkahnya jauh, suara bentakan terdengar sangat keras di telinga Andre.
"Hei! Kalau jalan pakai mata! Kau sengaja kan menabrak aku? Kau sengaja ingin berkenalan dengan aku dengan cara murahan seperti ini? Cara yang kau lakukan ini, Basi! Nona!"
Andre menoleh. Seorang pria berjas mahal berdiri dengan wajah merah padam. Di depannya, seorang gadis berambut panjang yang menenteng map tampak kebingungan. Kertas-kertas yang tadi ia bawa berhamburan ke lantai, tertiup angin sore. Gadis itu buru-buru merunduk, mencoba memungut satu per satu kertas yang sudah berhamburan, sementara pria itu terus menggerutu.
"Dasar ceroboh! Tahu nggak ini jas mahal? Kalau sampai kena minumanmu tadi apa kau bisa menggantinya?"
"Tapi... saya sudah minta maaf, Pak..." suara gadis itu bergetar ketakutan.
Andre yang melihat kejadian itu merasa darahnya mendidih. Ia melangkah cepat, menahan tangan si pria yang hendak meraih bahu sang gadis.
"Cukup, Pak," ucap Andre tenang, tapi tajam. "Tidak perlu berlebihan pada seorang wanita."
Pria itu menoleh, menatap Andre dari ujung rambut sampai kaki. "Siapa kau? Berani-beraninya ikut campur urusan saya?" Pria itu menatap Andre dengan tatapan menghina. "Dilihat dari pakaian yang kau kenakan, sepertinya kau hanya seorang sopir. Dan seorang sopir rendahan seperti kau ini berani ikut campur urasan aku?" bentaknya dengan suara menggelegar.
Andre tidak bergeming. "Saya hanya tidak suka melihat ada orang yang menggunakan posisi atau tampangnya untuk merendahkan orang lain. Dia sudah minta maaf. Harusnya selesai di situ. Kenapa harus diperpanjang?"
Gadis itu mendongak. Matanya bertemu dengan mata Andre. Ada rasa lega yang terpancar. Degup jantungnya tak bisa ia kendalikan. Untuk sesaat, ia seperti lupa kalau baru saja dimarahi.
Pria itu menggeram, tapi karena orang-orang mulai menatap, ia memilih mendengus kesal. "Dasar orang sok jagoan." Ia melangkah pergi sambil meludah ke samping. "Orang terhormat seperti aku tidak pantas berdebat dengan pemuda rendahan seperti dia itu."
Andre menunduk, membantu memunguti kertas yang berserakan. "Kamu nggak apa-apa?"
Gadis itu menggigit bibir, lalu mengangguk pelan. "Terima kasih..."
Andre tersenyum tipis, menyodorkan map yang sudah rapi. "Lain kali hati-hati. Orang macam dia gampang tersinggung kalau egonya terusik."
Gadis itu menghela napas. "Iya. Aku ceroboh banget."
Andre menggeleng. "Bukan ceroboh, cuma kurang beruntung ketemu orang yang salah."
Gadis itu sempat tertegun mendengar jawabannya. Entah kenapa, kata-kata Andre seperti menghapus rasa malu dan takutnya barusan. Ia menatap lelaki di depannya dengan seksama. Wajahnya teduh, sorot matanya dalam tapi hangat. Ada pesona yang tak bisa ia jelaskan.
"Namaku Andre," ujar lelaki itu tiba-tiba seraya menyodorkan tangan. Sepertinya Andre ingin mengenal gadis yang ada di depannya lebih jauh.
Gadis itu berkedip, sedikit ragu. Namun akhirnya ia menjabat tangan Andre. "Aku, Rania."
Nama yang sederhana, tapi terdengar indah di telinga Andre.
"Kamu kerja di perusahaan itu?" Menunjuk gedung tempat majikannya bekerja.
"I.. iya." Rania menjawabnya dengan ragu.
Melihat sikap Rania yang terlihat tidak nyaman, Andre pun enggan bertanya lagi.
Mereka berjalan beriringan menuju halte bus. Rania rupanya hendak pulang, tapi wajahnya entah kenapa terlihat gusar.
"Kamu tinggal dimana? Apa jauh dari sini?" tanya Andre memecah keheningan.
Rania mengangguk. "Lumayan. Tapi, aku baru sadar, dompetku jatuh entah di mana. Padahal tadi masih ada di dalam tas inip."
Andre menatapnya. "Serius?"
Rania menunjukkan tasnya yang sudah terbuka. Wajahnya panik. "Aduh, gimana ini. Uang transport nggak ada. KTP juga ikut hilang..."
Andre berpikir cepat. "Kalau kamu mau, aku bisa antar. Mobilku ada di sana."
Rania menatapnya terkejut. "Mobilmu? Maksudmu, kamu supir online seperti yang dibilang pria tadi?"
Andre tersenyum kecil. "Bisa dibilang begitu. Tapi sebenarnya aku sopir pribadi. Kebetulan bosku masih rapat. Kalau kamu nggak keberatan, aku bisa antar ke rumahmu sebelum dia selesai."
Rania ragu sejenak. Namun melihat tatapan tulus Andre, ia akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi benaran ini tidak apa-apa?"
"Kamu tenang aja."
Mobil hitam itu melaju pelan di jalanan yang mulai ramai. Rania duduk di kursi penumpang depan, sesekali mencuri pandang pada Andre yang fokus menyetir.
"Kenapa kamu mau repot-repot menolongku?" tanya Rania pelan.
Andre melirik sekilas. "Karena kamu butuh bantuan. Lagipula, kalau aku biarkan kamu di sana, mungkin orang-orang lain tidak akan peduli."
Rania menggenggam map di pangkuannya. "Jarang ada orang asing yang setulus itu. Kebanyakan cuma sibuk dengan urusan sendiri."
Andre tersenyum tipis. "Mungkin aku beda."
Rania menunduk, wajahnya sedikit memerah memdengar jawaban Andre.
Belum lama mereka melaju, sebuah motor memotong jalur dengan ugal-ugalan. Andre refleks membanting setir ke kanan.
"Ya Tuhan!" Rania menjerit, memegang dashboard erat-erat.
Mobil hampir menabrak trotoar, tapi Andre berhasil mengendalikan. Nafasnya berat. "Kurang ajar..." gumamnya. "Apa yang mereka inginkan?"
Namun belum sempat ia melanjutkan, dua motor lain tiba-tiba mengikuti dari belakang. Andre melirik spion. Tatapannya mengeras.
"Rania, kamu kenal mereka?"
Rania ikut menoleh, wajahnya pucat. "Tidak, aku tidak kenal mereka."
Motor-motor itu mendekat, salah satunya bahkan mencoba menyalip sambil mengetuk kaca mobil. Andre menurunkan kecepatan. Pria itu tampak berjaga-jaga.
"Ada yang aneh," katanya pelan. "Kita tidak boleh kalah dari mereka."
Rania menggenggam erat map di tangannya. "Mereka... jangan-jangan mereka yang ambil dompetku?"
Andre melirik sekilas ke arah map. "Apa isi map itu penting?"
Rania mengangguk cepat. "Sangat penting. Ada berkas rahasia perusahaan. Kalau sampai hilang, aku nggak tau apa yang akan terjadi."
Andre menahan napas. Sekarang ia mengerti. Mungkin bukan dompet yang jadi target, melainkan berkas itu.
"Pegangan," ucap Andre singkat. "Aku akan coba menjauh dari mereka."
Ia langsung menginjak gas, melesat meninggalkan motor-motor itu. Rania menjerit, tapi patuh memegang sabuk pengaman. Jalanan padat, namun Andre lincah mengendalikan setir, mencari celah di antara kendaraan.
Motor-motor itu terus mengejar. Suara knalpot mereka memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya.
Rania panik. "Mereka tidak menyerah! Apa yang harus kita lakukan?"
Andre tetap fokus. "Tenang. Selama aku yang pegang kemudi, kamu aman."
Rania memandang Andre dengan campuran takut dan takjub. Lelaki ini bukan hanya sopir biasa. Cara dia bermanuver seolah seorang pembalap terlatih.
Kejar-kejaran berlangsung beberapa menit. Akhirnya Andre berhasil mengelabui mereka dengan masuk ke jalan sempit lalu memutar arah. Motor-motor itu kehilangan jejak.
Rania terisak lega, menutup wajah dengan kedua tangan. "Ya Tuhan... aku kira tadi kita akan celaka..."
Andre menepikan mobil di tempat aman. "Sekarang mereka sudah pergi. Tapi kamu harus hati-hati. Kalau berkasmu sampai dicuri, bisa gawat."
Rania mengangguk, badannya masih gemetar ketakutan.
"Terima kasih, Andre. Kalau bukan karena kamu... aku mungkin sudah kehilangan segalanya."
Andre menatapnya serius. "Mulai sekarang, kalau ada masalah, jangan ragu hubungi aku."
Rania tercengang. "Tapi... aku bahkan tidak punya nomor teleponmu."
Andre mengambil ponselnya, mengetik cepat, lalu memberikan kontaknya. "Simpan. Kalau ada yang mengganggu, telepon aku."
Rania menerima dengan tangan bergetar. Hatinya entah kenapa terasa hangat, meski baru mengenalnya.
Saat mobil berhenti di depan rumah Rania, senja sudah turun. Gadis itu menoleh, menatap Andre dengan senyum yang tulus.
"Aku benar-benar berutang banyak padamu hari ini, Ndre."
Andre tersenyum samar. "Tidak perlu merasa berutang. Anggap saja kita bertemu di waktu yang tepat."
Rania terdiam, menatapnya lama. Ada sesuatu pada lelaki ini yang membuatnya sulit berpaling. Bukan hanya wajah tampan atau sikap tenangnya, tapi juga keberanian dan ketulusan yang jarang ia temui.
"Semoga kita bisa bertemu lagi," ucap Rania lirih.