Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Jagat Kelana & Pedang Pemusnah Jiwa

Jagat Kelana & Pedang Pemusnah Jiwa

HD_Gemini™ | Bersambung
Jumlah kata
35.7K
Popular
293
Subscribe
54
Novel / Jagat Kelana & Pedang Pemusnah Jiwa
Jagat Kelana & Pedang Pemusnah Jiwa

Jagat Kelana & Pedang Pemusnah Jiwa

HD_Gemini™| Bersambung
Jumlah Kata
35.7K
Popular
293
Subscribe
54
Sinopsis
18+FantasiFantasi TimurDewa PedangDewa PerangPertualangan
Di ujung senja, seorang remaja berdiri sendiri, menatap langit yang berwarna merah darah, seolah langit pun ikut berduka, atas nasib yang dicuri takdir darinya. Ayahnya mati dalam pengkhianatan, ibunya lenyap di dalam pelukan bara api, dan adik perempuannya, tersenyum terakhir kali sebelum cahaya padam di balik netranya. Kini, ia hanya punya sepi, dan sepi itu berbisik lirih, tentang janji-janji palsu manusia, tentang pengkhianatan yang disembunyikan di balik rasa kasih sayang. Hatinya retak, jiwanya terbakar oleh amarah yang begitu dingin. Ia ingin membalas, tetapi siapa yang harus disalahkan? Dunia? Penguasa Semesta? Atau dirinya sendiri yang terlalu percaya? Ia menatap bayangannya di dalam genangan air, melihat wajah bocah yang dulu tertawa, kini berubah menjadi mata yang membara, menyimpan dendam dan kehilangan arah. Namun, di dasar hatinya, masih ada secercah cahaya yang enggan padam begitu saja, mengingatkan bahwa cinta, meski telah dikubur bersama jasad keluarganya, tak pernah benar-benar mati. Dan ia tahu, dari reruntuhan luka dan kekecewaan itu, akan lahir sosok baru, yang tidak lagi menangis, tetapi menatap dunia dengan tatapan api dendam. Jagat Kelana, seorang remaja laki-laki yang kehilangan segalanya. Mempunyai api dendam untuk membalas atas kematian keluarganya. Apakah ia akan berhasil? Atau itu justru malah membuat dirinya menjemput ajal? Happy Reading Guys 🙏🏻🙏🏻
Bab 1

SEKTE PEDANG LANGIT

Jauh dari hiruk pikuk ibu kota Kerajaan Zamrud Khatulistiwa, terbentang sebuah kota besar yang bernama kota Mentari Terbit. Kota itu berdiri megah di wilayah paling timur kerajaan, dikelilingi oleh perbukitan hijau yang berpadu dengan birunya cakrawala. Saat fajar tiba, sinar matahari pertama yang menyentuh dunia selalu datang dari tempat ini, membuat siapa pun memahami alasan di balik nama indah itu.

Udara di sana begitu sejuk, dengan aroma laut yang terbawa dari Samudra Biru, hanya beberapa li dari kota. Ombaknya lembut, namun menyimpan misteri yang dalam, seperti halnya rahasia yang perlahan tumbuh di tempat ini.

Tak jauh dari sana, berdiri sebuah sekte besar yang disegani di seluruh wilayah timur—Sekte Pedang Langit. Sekte itu dikenal karena kekuatannya yang sangat luar biasa dan para pendekarnya yang dikabarkan mampu menebas petir di langit, serta membelah gunung dengan satu ayunan pedang saja. Namun, di balik kejayaan dan wibawa itu, bayangan kelam mulai menyusup perlahan ... seperti racun yang merambat tanpa suara.

•••

Malam itu, di dalam sebuah aula megah yang diterangi oleh cahaya lentera kekuningan, beberapa pria tengah duduk melingkar di atas lantai batu. Di tengah ruangan, asap dupa melingkar halus, mengisi udara dengan aroma kayu cendana yang menenangkan. Namun, suasananya jauh dari kata damai.

"Apakah rencana kita bisa dimulai besok, Bopo?" tanya seorang remaja laki-laki berusia tiga belas tahun bernama Danu Putro. Matanya yang sipit berkilat tajam di bawah cahaya lentera, bibirnya menyunggingkan senyum licik yang tidak pantas untuk anak se-usianya.

Pria yang disapa Bopo adalah seorang pria setengah baya berpostur tegap dengan wajah keras bagai batu karang, menatap anak itu tanpa banyak bicara. Sorot matanya dingin, tanpa emosi. Bahkan, api lentera yang memantul di bola matanya pun tampak membeku.

"Iya, Putraku," ujarnya pelan, suaranya dalam dan berat, seperti guruh yang ditahan di balik awan. "Sesuai dengan rencana kita sebelumnya."

Keheningan sejenak menyelimuti ruangan aula tersebut. Hanya terdengar suara desir angin yang menerpa tirai, membuat api lentera bergoyang pelan. Lalu, seorang pria bertubuh gempal memecah kesunyian itu dengan nada ragu.

"Apakah kita ... sanggup melawan Kakak Kelana, Kak?" suaranya serak, namun di balik getarannya terselip rasa serakah di dalamnya.

Pria bernama Putro, yang duduk di antara mereka, menatapnya lama. Tatapan itu tajam, menelanjangi keraguan saudaranya seperti pedang yang menggores kulit.

"Tentu saja, Adikku," jawabnya perlahan, namun mantap. "Semua pengurus sekte sudah berada dalam genggaman kita. Dan kali ini, tidak ada seorang pun yang akan menghalangi langkah kita ini."

Ia mengepalkan tangannya di depan dada, jemarinya bergetar menahan gejolak yang bercampur antara ambisi dan amarah. Di sudut matanya, kilatan cahaya menari—bukan pantulan lentera, melainkan kobaran nafsu yang telah lama terpendam begitu lama.

Entah apa yang berkecamuk di dalam pikirannya, hingga ia tega merencanakan hal sekeji itu terhadap saudara kandungnya sendiri—Kelana, sang pemimpin Sekte Pedang Langit yang dihormati oleh banyak orang dan di segani oleh para musuhnya.

Lentera bergoyang lagi, memantulkan bayangan wajah mereka di dinding batu. Bayangan itu tampak seperti siluet para iblis yang tengah berbisik di ruang suci, menandai awal dari sebuah pengkhianatan yang kelak akan menodai kejayaan sekte itu untuk selamanya.

—•••—

KEESOKAN PAGI – AWAL DARI PENGKHIANATAN

Fajar merekah perlahan di langit timur. Cahaya mentari pertama menembus kabut tipis yang menari di antara pepohonan pinus, menyinari kompleks megah Sekte Pedang Langit. Burung-burung pagi berkicau, menandai datangnya hari baru, hari yang bagi banyak orang berarti kehidupan. Namun, bagi sebagian lainnya adalah awal dari sebuah kehancuran.

Dari puncak menara pelatihan, Kelana, sang pemimpin sekte, berdiri tegak dengan jubah biru langit yang berkibar lembut tertiup angin. Wajahnya teduh, penuh wibawa. Di tangannya tergenggam Pedang Cahaya Aruna, pusaka yang menjadi simbol kehormatan sekte itu. Matanya menatap jauh ke arah Samudra Biru di timur, seolah sedang mencari jawaban pada gelombang yang tak pernah diam.

"Dunia ini begitu tenang, tapi aku bisa merasakan badai di dalamnya," gumamnya lirih.

Suara langkah kaki terdengar mendekat dari belakang. Seorang murid muda memberi salam hormat. "Guru, para tetua sudah berkumpul di aula pertemuan."

Kelana mengangguk, menurunkan pedangnya dan berbalik perlahan. "Baik. Aku akan segera ke sana."

Ia tersenyum hangat, senyum yang tulus, tanpa tahu bahwa senyum itu mungkin adalah yang terakhir kalinya.

•••

Sementara itu, di sisi lain kompleks sekte, suasana tampak berbeda. Di sebuah ruangan tertutup, Putro bersama putra, serta adiknya dan beberapa pengikut setianya tengah mempersiapkan langkah akhir dari rencana yang mereka bangun selama berbulan-bulan. Udara di dalam ruangan terasa berat, seperti diselimuti kabut yang tak terlihat.

"Semua pengurus telah menandatangani perjanjian, Kak," ujar pria bernama Lintang, adik dari Kelana dan Putro dengan nada rendah. "Mereka akan berpihak pada kita, selama kau bisa menyingkirkan Kak Kelana sebelum matahari mencapai puncaknya."

Putro mengangguk pelan. Tatapannya dingin seperti bilah pedang yang baru diasah. "Jika darah saudaraku harus mengalir untuk membuka jalan baru bagi sekte ini ... maka, biarlah begitu."

Ia menatap cermin di depannya, melihat bayangan dirinya sendiri. Untuk sesaat, ada keraguan yang melintas di matanya. Tetapi, seperti gelombang yang memukul karang, keraguan itu segera lenyap, tergantikan oleh niat yang membatu.

"Segalanya sudah dimulai," bisiknya. "Dan tidak akan ada jalan untuk kembali."

•••

Aula utama Sekte Pedang Langit dipenuhi oleh para tetua, murid senior dan pengawal kehormatan. Pilar-pilar kayu besar menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga dan burung garuda yang melambangkan kekuatan dan kebijaksanaan. Cahaya mentari pagi masuk melalui celah atap, membentuk garis-garis cahaya yang menembus asap dupa. Suasananya tampak sakral, seolah langit sendiri tengah menjadi saksi biksu atas rencana keji tersebut.

Kelana melangkah masuk, diiringi oleh para pengawal pribadinya. Semua kepala menunduk hormat. Tetapi, di antara mereka, ada tatapan-tatapan lain yang tak bisa ia pahami — tatapan dingin, menunggu sesuatu.

"Saudara-saudaraku," ucap Kelana lantang. "Hari ini kita akan membahas langkah besar untuk memperluas pengaruh Sekte Pedang Langit kita ke barat. Aku ingin kita melangkah bersama, tanpa adanya perpecahan di sekte kita ini."

Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, suara tepukan tangan terdengar dari arah belakang aula. Putro berdiri dari tempat duduknya, wajahnya datar, tetapi sorot matanya menyimpan bara.

"Tanpa perpecahan, kau bilang, Kak?" katanya pelan, namun penuh penekanan. "Bagaimana mungkin kita melangkah bersama ... jika, pemimpinnya sudah lama lupa dengan siapa yang dulu berdiri bersamanya?"

Aula hening. Beberapa tetua menatap satu sama lain dengan raut cemas.

Kelana menatap adiknya, mencoba tersenyum. "Putro ... apa maksudmu dengan ucapan itu?"

Putro melangkah maju. Bayangan tubuhnya memanjang di lantai marmer, seperti tombak kegelapan yang menusuk terangnya pagi itu.

"Maksudku, Kak ... kau sudah terlalu lama memimpin dengan hati yang lembek. Sekte ini butuh kekuatan, bukan belas kasihan." Ia menatap Kelana tajam. "Dan hari ini ... Sekte Pedang Langit akan mempunyai pemimpin baru."

Suara pedang yang ditarik terdengar menggema di seluruh aula. Beberapa murid yang tadinya berdiri di belakang Kelana tiba-tiba berbalik arah, menghunus senjata mereka sendiri. Wajah Kelana menegang. Ia menyadari semuanya ... tetapi, semuanya sudah terlambat.

"Putro...," suaranya serak, matanya bergetar menahan rasa kecewa. "Apakah kau benar-benar ingin mengotori tanganmu dengan darah saudaramu sendiri?"

Putro tersenyum tipis, tanpa rasa. "Aku hanya menuntut apa yang seharusnya menjadi milikku, Kak."

Saat pedang mereka saling beradu, cahaya pagi memantul di antara bilah logam, menyilaukan, indah, tetapi juga menyakitkan. Dan di antara kilatan itu, sejarah Sekte Pedang Langit mulai menulis babak tergelapnya.

Bersambung

Lanjut membaca
Lanjut membaca