

Tatapan itu. Itu hal pertama yang dirasakan Arka Mahesa begitu kedua kakinya melangkah masuk melalui gerbang besi berukir yang megah. Bukan tatapan penjaga keamanan yang berseragam rapi, atau sopir yang berdiri di samping mobil Mercedes hitam mengkilap. Bukan. Ini adalah tatapan diam-diam dari setiap jendela kaca patri, dari setiap sudut taman yang tertata sempurna, dari udara sendiri yang terasa berat oleh wewangian mahal dan kesombongan. Rumah keluarga Surya bukanlah sebuah rumah; ia adalah sebuah benteng yang dibangun dari uang dan gengsi, dan Arka, dengan jaket jeansnya yang sudah pudar dan sepatu boot-nya yang penuh bekas cipratan lumpur, adalah seorang penyusup yang tak diundang.
Motor bebeknya yang butut, sang "Kuda Besi" yang setia, mendengkur pelan sebelum akhirnya mati di depan pintu utama. Suaranya seperti pelanggaran terhadap kesunyian yang terpelihara di tempat ini. Dia mematikan mesin, dan dalam keheningan yang tiba-tiba itu, rasanya semua orang di dalam bisa mendengar detak jantungnya yang kencang.
Pintu kayu jati berukir itu terbuka sebelum dia sempat menekan bel. Seorang pelaki dengan tuksedo abu-abu, wajahnya seperti diukir dari batu, menyambutnya.
"Tuan Arka Mahesa?" suaranya datar, tanpa nada tanya.
Arka hanya mengangguk, lidahnya terasa kaku.
"Silakan. Keluarga sudah menunggu."
Ruang tamu yang dia masuki membuatnya sesaat kehilangan napas. Langit-langitnya tinggi, digantung lampu kristal yang berkilauan seperti ribuan berlian. Lantai marmernya begitu mengilap hingga dia bisa melihat bayangan dirinya yang terdistorsi—seorang pria muda berusia dua puluh enam tahun dengan wajah lelah dan mata yang telah melihat terlalu banyak hal buruk untuk usianya. Dia merasa seperti sebuah noda di atas kanvas putih yang sempurna.
Makan malam itu adalah sebuah penyiksaan yang tersusun rapi. Meja panjang dari kayu mahoni, dipenuhi peralatan makan perak yang jumlahnya membingungkan. Ada garpu untuk salad, garpu untuk hidangan utama, sendok untuk sup, dan pisau yang berbeda-beda. Arka hanya bisa mengikuti gerakan Kirana yang duduk di seberangnya, mencoba menirunya tanpa terlihat canggung.
Kirana Surya. Tunangannya. Wajahnya cantik, klasik, dengan mata hitam yang dalam. Tapi malam ini, matanya selalu menunduk, menghindari kontak. Dia mengenakan gaun sederhana yang tetap terlihat sangat mahal. Senyumnya tipis, dipaksakan.
Bima Surya, sang patriark, duduk di kepala meja. Badannya tegap, berisi, dengan wajah yang mampu berubah dari senyum hangat menjadi dingin dalam sekejap. Istrinya, Laura, duduk di sampingnya. Wanita itu, dengan kalung mutiara dan tatapan yang selalu menyoroti kekurangan orang lain, sepertinya telah menjadikan Arka sebagai proyek kritiknya untuk malam ini.
"Jadi, Arka," ucap Bima suatu kali, sambil memotong kecil daging steaknya yang masih merah. "Nenek Kirana sangat menyayangimu dulu. Dia selalu bilang, kamu anak yang cerdas. Lulusan hukum, bukan?"
"Iya, Pak Bima," jawab Arka, berusaha membuat suaranya terdengar percaya diri.
"Dan sekarang? Di mana kamu berkarier? Pasti di firma hukum ternama, ya?" sambung Laura, dengan senyum manis yang tidak sampai ke matanya.
Arka menarik napas dalam. Ini adalah pertanyaan yang dia takuti. "Saya... saat ini bekerja di bidang pengelolaan aset dan piutang."
"Pengelolaan piutang?" Laura mengerling ke arah Kirana. "Itu maksudnya debt collector, Nak. Yang menagih utang dengan teriakan dan ancaman itu." Dia memalingkan wajahnya kembali ke Arka. "Benar begitu, Arka? Kamu mengetuk pintu orang, mungkin sedikit membawa 'bujukan', untuk meminta apa yang bukan hakmu?"
Sakit. Kata-kata itu seperti sabetan cambuk. Darahnya mendidih, tapi dia menahannya. Dia melakukan pekerjaan itu karena terpaksa. Setelah orang tuanya bangkrut karena dikhianati rekan bisnisnya sendiri—yang kebetulan adalah kenalan Bima—dan meninggalkan utang miliaran, Arka harus mengambil alih. Pekerjaan sebagai pengacara atau staf biasa tidak akan cukup untuk menutupinya. Hanya dengan menjadi debt collector kasar di bawah bayang-bayang Daus, bos preman yang ditakuti, dia bisa mendapatkan uang cepat, meski nyawanya yang menjadi taruhannya.
"Tidak selalu seperti itu, Bu," bantahnya lemah.
"Ah, jadi ada caranya yang baik?" sindir Bima kali ini, suaranya berisi. "Kamu pikir kami tidak tahu? Daus adalah sampah masyarakat. Dan bekerja untuknya membuatmu... apa?"
Arka mengepalkan tangannya di bawah meja. Dia melihat Kirana sekali lagi. Gadis itu sedang memelototi ayahnya, matanya berkaca-kaca. Tapi dia tetap diam. Seperti biasa.
"Saya hanya berusaha bertahan hidup, Pak. Dan melunasi kewajiban keluarga," jawab Arka, berusaha menjaga martabatnya yang tersisa.
"Kewajiban?" Bima mendesah dramatis. "Lihat, Arka. Saya menghargai usahamu. Tapi bertahan hidup itu satu hal. Menjadi bagian dari keluarga Surya adalah hal yang lain sama sekali. Kamu tidak cocok. Kirana tidak pantas untuk hidup yang penuh kekerasan dan ketidakpastian seperti yang kamu jalani."
Makan malam berakhir dengan rasa getir yang tertinggal di mulut Arka. Rasanya lebih pahit dari kopi hitam pekat yang disajikan di cangkir porselen tipis. Setelah hidangan penutup, Bima memberi isyarat padanya.
"Arka, ke perpustakaan. Kita perlu bicara berdua."
Perpustakaan itu lebih menyeramkan daripada ruang tamu. Rak-rak buku dari lantai ke langit-langit, berisi literatur yang tampaknya hanya untuk pamer. Bima berdiri di depan perapian besar, meski tidak ada api yang menyala.
"Saya akan bicara terus terang," mulut Bima tanpa basa-basi. "Pertunangan ini adalah omong kosong. Wasiat almarhumah ibu saya memang tidak bisa saya langgar secara langsung, tapi saya bisa membuatnya... batal dengan sendirinya." Dia mengambil sebuah amplop cokelat tebal dari atas meja kerjanya dan melemparkannya ke hadapan Arka. "Di dalamnya ada cek. Lima miliar. Cukup untuk melunasi semua utang orang tuamu dan memulai hidup baru yang sederhana. Ambil. Tanda tangani surat pernyataan mengundurkan diri dari pertunangan ini, dan pergi dari hidup Kirana."
Arka menatap amplop itu. Lima miliar. Jumlah yang sangat menggoda. Itu akan membebaskannya dari cengkeraman Daus, dari kehidupan menakutkan sebagai debt collector, dari semua hinaan. Tapi dia melihat mata Kirana di kepalanya. Bukan Kirana yang dingin di meja makan, tapi Kirana yang dulu, yang tersenyum padanya di taman, sebelum semuanya berantakan. Dia mencintainya. Dan harga dirinya sebagai seorang laki-laki tidak bisa dibeli.
"Dengan segala hormat, Pak Bima," ucap Arka, suaranya lebih tegas dari yang dia kira. "Saya menolak. Saya mencintai Kirana. Dan saya tidak akan menjual harga diri saya, atau cinta saya, dengan uang."
Wajah Bima berubah merah. "Bodoh! Kamu pikir cinta bisa memberimu makan? Kamu pikir dengan menjadi preman kasar kamu bisa memberinya kebahagiaan? Baiklah! Tapi ingat ini, Arka Mahesa. Di mata keluarga Surya, kamu tidak akan pernah lebih dari sampah! Sekarang, keluar dari rumah saya!"
Arka membalikkan badan dan berjalan keluar. Setiap langkahnya terasa berat. Dia melewati Kirana yang berdiri di lorong, wajahnya basah oleh air mata. Dia ingin menghapusnya, memeluknya, tapi dia tidak bisa. Tidak di sini. Tidak sekarang.
"Arka, aku..." bisik Kirana.
"Jangan katakan apa-apa," potong Arka lembut. "Percayalah padaku."
Tapi apakah dia bisa mempercayai dirinya sendiri?
Dia mengendarai motornya keluar dari kompleks mewah itu, angin malam menghantam wajahnya, tidak mampu menghapus rasa malu dan kemarahan yang membara di dadanya. Dia adalah seorang pria, tapi diperlakukan seperti serangga. Di sinilah hidupnya? Dihina oleh mertuanya sendiri dan diancam oleh bos preman?
Seolah menjawab pertanyaannya, ponselnya berdering. "DAUS" tertampil di layar. Perutnya mulas.
"Ya, Bos?"
"Arka! Ada job besar. Gede banget nilainya. Bisa lunasin semua utang lo sekaligus."
"Job apa?"
"Razif Wijaya. Dia ngutang judi lima miliar ke kita. Gak mau bayar."
Arka hampir menjatuhkan ponselnya. Razif Wijaya. Namanya saja sudah cukup membuat keringat dingin mengalir di tulang punggung setiap debt collector di kota ini. Razif bukan sekadar preman. Dia adalah bos mafia, penguasa dunia bawah tanah yang legendaris karena kekejamannya. Banyak debt collector tangguh yang dikirim untuk menagih padanya, dan mereka hilang tanpa jejak. Hanya desas-desus yang kembali—tentang tubuh yang dimutilasi, dikubur di beton, atau dibuang ke laut.
"Bos, itu... itu bunuh diri," protes Arka, suaranya serak.
"Pilihan lo sederhana, Arka," suara Daus dingin dan tanpa ampun. "Tagih utang Razif, atau aku akan tagih nyawa lo sebagai gantinya. Lo pikir aku ini main-main? Aku butuh uang itu. Dan lo adalah debt collector terbaikku. Yang paling pinter, paling berani. Atau... lo pengecut?"
Arka menutup matanya. Terjepit. Di satu sisi, hinaan dari Bima Surya dan kebutuhan untuk membuktikan bahwa dia bukan sampah. Di sisi lain, ancaman kematian yang nyata dari Daus. Dan sekarang, dia harus berhadapan dengan iblis yang jauh lebih berbahaya.
"Oke, Bos," gumamnya akhirnya, kekuatan seolah mengering dari tubuhnya. "Aku akan lakukan."
"Pintar. Jangan mengecewakan."
Malam itu, dengan adrenalin yang memompa darahnya bagai air terjun, Arka menyusun rencana. Dia tidak bisa masuk begitu saja. Razif dilindungi oleh lapisan keamanan yang ketat. Dia menggunakan kecerdasannya, menganalisis pola, mempelajari jadwal, dan menemukan celah—sebuah pengiriman barang mewah ke klub malam pribadi Razif, "The Vault".
Dengan menyamar sebagai pekerja logistik, dia berhasil menyusup masuk. Dia bergerak seperti bayangan, menghindari kamera dan bodyguard yang lalu lalang. Jantungnya berdebar kencak di dalam dadanya, setiap detaknya seperti genderang perang. Dia menemukan ruang kerja pribadi Razif di lantai paling atas. Dengan menggunakan kunci palsu yang dia buat sendiri, dia membuka pintunya.
Ruangannya gelap, mewah, dan berbau cerutu mahal. Hanya ada satu lampu meja yang menyala, menerangi sosok pria yang duduk di belakang sebuah meja kayu besar. Razif Wijaya. Dia tidak sedang tidur atau lengah. Dia sedang duduk, menatap langsung ke arah pintu, seolah sudah menunggu.
"Arka Mahesa," ucap Razif. Suaranya dalam, tenang, dan penuh wibawa, mengisi ruangan yang sunyi. "Debt collector baru yang dikirim Daus. Aku dengar kamu yang terbaik."
Arka terpana, kakinya seolah tertanam di lantai. Rencananya yang matang ternyata sudah diketahui.
"Diam saja?" Razif tersenyum, senyum tipis yang tidak menyentuh matanya yang seperti elang. "Berani sekali kamu datang ke sini sendirian."
Dengan gerakan cepat, Arka mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya. Dia mengacungkannya, berusaha menutupi rasa takutnya dengan tampang garang. "Saya di sini untuk utang Anda, Pak Wijaya. Lima miliar. Saya tidak akan pergi tanpa uang itu."
Razif mengeluarkan suara mendesah, hampir seperti kesal. "Anak muda dan keberaniannya yang bodoh." Dia tidak bangun, tidak juga memanggil bodyguard. Alih-alih, dia mengambil sebuah remote dan menyalakan sebuah layar datar besar di dinding di belakangnya.
"Tapi sebelum kamu melakukan sesuatu yang sangat kamu sesali," lanjut Razif, matanya menyipit, "ada sesuatu yang harus kamu lihat. Sesuatu dari masa lalumu yang... kelam."
Layar itu menyala, menampilkan rekaman CCTV yang agak buram tapi masih jelas. Adegannya terjadi di sebuah gudang kosong yang remang-remang. Dan di sana, terlihat jelas wajah Arka yang lebih muda, penuh kepanikan. Dia sedang berdekat-dekatan dengan seorang pria bertubuh besar, yang kemudian mendorongnya. Ada perkelahian singkat, dan pria besar itu tersandung dan kepalanya menghantam sudut besi sebuah mesin. Tubuhnya tergeletak tak bergerak, genangan merah tua mengalir dari kepalanya.
Arka merasa seluruh dunianya runtuh. Napasnya tercekat. Itu adalah malam yang dia kubur dalam-dalam, malam yang dia yakini tidak ada seorang pun yang tahu. Kecelakaan yang dia lari darinya karena takut.
"Kamu... kamu pikir itu kecelakaan?" kata Razif, suaranya sekarang seperti deru gergaji mesin. "Kamu pikir tidak ada yang melihat? Tidak ada yang menyimpan bukti?"
Arka berdiri terpaku, tangannya yang memegang pisau jatuh lemas di samping tubuhnya. Rahasia terkelamnya, dosa yang menghantuinya setiap malam, ternyata dipegang oleh orang paling berbahaya di kota.
Razif menyeringai,kepuasannya terpancar jelas melihat reaksi Arka yang hancur. "Selamat datang di permainan yang sebenarnya, Arka Mahesa," desisnya. "Sekarang, kamu punya dua pilihan. Pertama, kamu bisa tetap bersikeras menagih utang itu, dan aku akan memastikan video ini sampai di meja polisi—dan yang lebih menarik—dikirim ke Bima Surya besok pagi. Bayangkan wajahnya ketika tahu calon menantunya adalah seorang pembunuh."
Arka tidak bisa berkata-kata, darahnya membeku.
"Atau," lanjut Razif, berdiri perlahan dan berjalan mendekati Arka yang terpana, "kamu mendengarkan tawaranku. Kerjakan sesuatu untukku, dan aku akan melupakan video ini... dan juga, utangku yang lima miliar pada Daus akan aku lunasi. Tolak, dan hidupmu, serta sisa harapannya untuk mendapatkan Kirana, akan hancur berantakan. Pilih."