Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Pangeran Terkutuk Jatuh Hati

Pangeran Terkutuk Jatuh Hati

Vio Femio | Bersambung
Jumlah kata
26.6K
Popular
100
Subscribe
11
Novel / Pangeran Terkutuk Jatuh Hati
Pangeran Terkutuk Jatuh Hati

Pangeran Terkutuk Jatuh Hati

Vio Femio| Bersambung
Jumlah Kata
26.6K
Popular
100
Subscribe
11
Sinopsis
18+FantasiIsekaiRajaPendekarDewa Perang
Alaric hidup sebagai "Tameng Berdarah" Kerajaan Mandala—seorang pangeran yatim piatu dengan kekuatan mengerikan dan kutukan misterius yang dimanfaatkan Raja Valerius untuk melindungi takhtanya. Dianggap monster oleh rakyatnya sendiri, Alaric tidak tahu bahwa dirinya adalah pewaris sah takhta yang orang tuanya dibunuh oleh pamannya sendiri, Valerius. Segalanya berubah ketika Putri Rhiannon—yang kabur dari perjodohan politik—tiba dengan tawaran mengejutkan: pernikahan dan persekutuan. Bersama mereka menyusun rencana melawan Valerius, sambil menyibak kebenaran kelam di balik kutukan Alaric. Kekuatannya bukan kutukan, melainkan segel yang ditanamkan ibunya—adik kandung Valerius sendiri—untuk menyelamatkannya dari pembantaian. Persekutuan mereka membawa mereka pada pelarian berbahaya, diburu oleh kerajaan-kerajaan yang ingin memanfaatkan kekuatan Alaric. Dalam perjalanannya, mereka menemukan bahwa ikatan mereka mungkin adalah kunci mengendalikan kekuatan Alaric, dan masa lalu Rhiannon menyimpan rahasia yang sama gelapnya.
Part 1. Tameng Berdarah

Angin malam berbisik di atas pertahanan batu Granit Mandala, membawa serta janji besi dan darah. Di kejauhan, di balik tabir kegelapan, gemuruh ribuan langkah kaki dan pekik barbar Kerajaan Utara menggema, mengoyak kesunyian yang coba dipelihara oleh bintang-bintang. Mereka datang, seperti selalu, untuk menguji kekuatan tembok terakhir peradaban, dan untuk menguji dia.

Alaric berdiri di atas puncak gerbang utama, seorang penjaga tunggal yang membayang di bawah cahaya bulan purnama yang pucat. Jubah hitamnya yang sederhana berkibar ditiup angin, menempel pada baju zirah kulitnya yang sudah usang. Dia tidak memakai baju besi kebesaran seperti para ksatria istana. Dia tidak membutuhkannya. Tubuhnya adalah benteng yang lebih kuat dari baja manapun. Di tangannya yang telanjang, tidak ada pedang atau tombak. Hanya ada sebuah sarung tangan kulit tua di tangan kirinya, sementara tangan kanannya—instrumen kematian yang paling dia pahami—terbuka lepas, siap menerima panggilan kekuatannya.

Dia menarik napas dalam, udara dingin yang menusuk paru-parunya. Di balik ketenangannya, sebuah badai bergolak. Sebuah desisan suara yang selalu ada di balik pikirannya, mendorong, menggoda, meminta untuk dilepaskan. Itu adalah kutukannya. Sahabat dan algojo seumur hidupnya.

"Bersiap!" teriak Kapten Gerrick dari bawah, suaranya tegang. "Mereka menyerang formasi Phalanx!"

Alaric tidak menjawab. Matanya, berwarna abu-abu seperti abu sisa pembakaran, memandang ke lautan manusia yang mendekat. Mereka membawa tangga, batu, dan kebencian. Bagi mereka, dia adalah monster. Bagi Mandala, dia adalah tameng. Dan bagi dirinya sendiri, dia adalah... tidak ada.

Pertempuran meletus. Dentuman batu terhadap kayu, pekik kematian, dan gemerincing pedang menjadi simfoni kekacauan yang terlalu familier di telinganya. Para prajurit Mandala bertempur dengan gagah berani, tetapi garis pertahanan mulai terdesak. Sebuah tangga besar berhasil dikaitkan pada tembok, di sebelah kanannya. Para barbar mulai memanjat, mata mereka dipenuhi kegilaan perang.

Inilah saatnya.

Alaric melompat dari posisinya, mendarat di atas tembok dengan gerakan anggun yang tidak wajar untuk ukuran tubuhnya. Dia tidak berjalan; dia meluncur seperti bayangan. Tangannya yang tidak bersarung tangan terangkat. Seorang barbar besar, dengan kapak berdarah diangkat tinggi-tinggi, berteriak menantang. Alaric tidak memberinya kesempatan. Jarinya hanya menyentuh baju zirah kulit sang barbar.

Sebuah retakan biru menyala, seperti petir yang terperangkap, merambat dari ujung jarinya. Suara desisan singkat, dan pria besar itu terlempar ke belakang, tubuhnya bergetar tak terkendali sebelum akhirnya diam, mati sebelum sempat menyadari apa yang menimpanya. Bau daging terbakar memenuhi udara.

Tapi itu hanya satu. Yang lain datang. Dan lagi. Alaric menjadi pusat pusaran kekacauan. Setiap sentuhan adalah vonis mati. Setiap gebrakan tangannya mengirim musuh terbang. Dia bergerak di antara mereka, sebuah tarian kematian yang dipentaskan selama bertahun-tahun. Darah—bukan darahnya—membasahi wajah dan tangannya, terasa hangat dan asing. Di dalam dirinya, desisan itu semakin keras, semakin gembira. Lagi, bisiknya. Lebih banyak!

Dia memejamkan mata sejenak, berusaha mendorongnya kembali. Tapi tekanan itu terlalu besar. Seorang pemanah, dari jarak jauh, melepaskan anak panah yang ditujukan tepat ke jantungnya. Refleksnya bekerja. Sebuah perisai energi tak kasat mata—sebuah manifestasi dari kekuatannya yang liar—terbentuk di depannya, menghancurkan anak panah menjadi serpihan.

Tapi itu tidak cukup. Amarah, frustrasi, dan rasa kesepian yang tak tertahankan selama ini mendidih. Dia mengangkat kedua tangannya ke langit, dan kali ini, dia tidak menahannya.

Gelombang energi murni yang tak terlihat meledak darinya, seperti sebuah kejut yang merambat melalui tanah dan udara. Itu tidak bersuara, tapi dampaknya mengerikan. Para penyerang di sekelilingnya, puluhan jumlahnya, tersungkur seketika, tidak terluka secara fisik tapi jiwa mereka seperti dipadamkan. Lilin yang padam dalam sekejap. Tembok batu di bawah kakinya retak, membentuk pola seperti jaring laba-laba dari posisinya berdiri.

Keheningan yang tiba-tiba turun di medan pertempuran. Hanya teriakan peringatan dari pasukan Mandala yang tersisa yang memecah kesunyian. Para barbar yang tersisa, yang melihat rekan-rekan mereka jatuh tanpa perlawanan, melihat ke arahnya dengan mata dipenuhi teror murni. Mereka mundur, kemudian berbalik dan melarikan diri, teriakan perang mereka berubah menjadi jerit ketakutan.

Pertempuran telah dimenangkan.

Alaric berdiri di tengah-tengah kehancuran, napasnya sedikit tersengal, bukan karena lelah, tapi karena usaha untuk mengurung kembali binatang buas di dalam dirinya. Tangannya bergetar. Bau ozon dan kematian membumbung di sekitar dirinya. Dia melihat ke tangan kanannya, bersih dari darah tapi terasa paling kotor dari semuanya.

Sorak-sorai mulai terdengar dari para prajurit Mandala di bawah. "Hidup Alaric! Hidup Sang Pelindung!" Tapi sorak-sorai itu terasa hampa, seperti suara yang datang dari ujung terowongan yang sangat panjang. Dia melihat ke wajah-wajah mereka. Di sana ada rasa syukur, ya, tapi yang lebih menonjol adalah rasa takut dan kagum yang berlebihan, hampir seperti menyembah berhala. Mereka tidak melihatnya sebagai manusia. Mereka melihatnya sebagai senjata, sebagai fenomena. Sebagai tameng yang menyelamatkan mereka hari ini.

Dia adalah alat. Sebuah artefak berdarah yang dikeluarkan dari gudang saat dibutuhkan, lalu dikunci kembali, dijauhi sampai ancaman berikutnya datang.

Seorang pelayan tua yang bisu, bernama Elian, yang satu-satunya diperbolehkan mendekatinya setelah pertempuran, mendekat dengan seember air dan kain lap. Wajahnya yang berkerut penuh dengan kesedihan yang dalam, sebuah pemandangan yang terlalu sering ia lihat. Elian membasuh tangan dan wajah Alaric dengan gerakan lembut, membersihkan noda pertempuran yang tidak pernah bisa benar-benar hilang dari jiwa pemuda itu.

"Apakah itu layak, Elian?" gumam Alaric, suaranya serak. "Nyawa-nyawa ini... ketakutan ini... apakah semua ini layak untuk sebuah kerajaan yang bahkan tidak menganggapku sebagai salah satu dari mereka?"

Elian tidak bisa menjawab. Dia hanya menatap Alaric dengan mata yang penuh pengertian, lalu menunduk, menyelesaikan tugasnya. Itu adalah jawaban yang lebih menyakitkan daripada kata-kata apapun.

Dia diantar kembali ke istana melalui gerbang samping, menghindari kerumunan. Jalan-jalan di dalam tembok dipenuhi dengan kehidupan—para pedagang berteriak, anak-anak berlarian, wanita-wanita menjahit di depan pintu mereka. Tapi saat dia lewat, kehidupan itu terhenti. Senyum mengering. Suara menjadi bisikan. Semua mata menatapnya, lalu dengan cepat memalingkan pandangan, seolah-olah melihatnya langsung akan mendatangkan nasib buruk.

Dia adalah pelindung mereka, tapi juga hantu mereka.

Sampai di kamarnya yang spartan di menara terpencil—sebuah ruangan yang lebih menyerupai sel daripada kamar pangeran—Alaric akhirnya membiarkan bahunya terkulai. Dia berdiri di depan cermin kecil yang retak, menatap bayangan asing yang menatapnya kembali. Seorang pemuda dengan wajah yang terlalu keras untuk usianya, rambut hitam yang kusut, dan mata abu-abu yang telah menyaksikan terlalu banyak. Di balik bayangan itu, dia merasa ada sesuatu yang lain, sebuah potensi mengerikan yang hanya menunggu untuk meledak.

Malam itu, seperti setiap malam setelah pertempuran, mimpi buruk itu datang. Dia berdiri di sebuah istana yang terbakar, langitnya merah darah. Seorang wanita dengan rambut seputih salju dan mata yang sama abu-abunya dengan miliknya, menangis sambil memeluknya erat-erat. Dia merasakan cinta yang dalam dan putus asa yang menghancurkan dari wanita itu. Lalu, sebuah suara yang dalam dan licik berbisik sesuatu yang tidak bisa ditangkapnya, dan segalanya menjadi gelap, digantikan oleh rasa sakit yang membakar yang mengalir di setiap pembuluh darahnya. Dia terbangun terengah-engah, keringat dingin membasahi tubuhnya, rasa terbakar itu masih terasa nyata di tulang-tulangnya.

Dia mendekati jendela, memandangi istana megah Mandala yang berdiri di kejauhan, dengan menara-menaranya yang menjulang dan bendera kebanggaannya. Istana yang tidak pernah benar-benar menjadi rumahnya.

"Suatu hari nanti," bisiknya pada angin malam yang dingin, "aku akan tahu untuk apa semua ini. Untuk apa aku diciptakan, dan mengapa aku harus menderita seperti ini."

Dia tidak tahu bahwa besok, seorang putri yang melarikan diri akan membawa jawaban—dan lebih banyak lagi pertanyaan—yang akan mengubah takdirnya selamanya. Untuk saat ini, dia hanyalah Tameng Berdarah, terluka dan sendirian, menunggu pertempuran berikutnya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca