

Langit di atas Kusuma Raya malam itu seakan ikut berduka. Hujan turun dengan derasnya, membasahi setiap sudut kerajaan, menyelimuti atap-atap istana yang biasanya berkilauan keemasan namun kini tampak suram dan basah.
Petir menyambar-nyambar di kejauhan, setiap kilatannya menerangi langit hanya untuk sesaat sebelum kegelapan kembali menyergap, seolah-olah alam semesta enggan menyaksikan peristiwa mengerikan yang akan terjadi.
Di dalam tembok istana yang kokoh, di balik gemuruh hujan dan angin, terdengar dentingan logam beradu.
Suara senjata yang saling berbenturan itu menjadi penanda dimulainya sebuah pengkhianatan yang telah lama direncanakan.
Suara itu menggema di koridor-koridor yang sepi, bercampur dengan gemuruh guntur, menciptakan simfoni kekacauan yang mencemaskan.
Di ruang takhta utama, Raja Indra Mahesa berdiri tegak di depan singgasananya.
Dia mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua, lambang kekuasaan dan kedaulatan yang melekat padanya.
Wajahnya memancarkan ketegasan seorang pemimpin, tetapi di balik itu, matanya menyimpan kepedihan yang begitu dalam, sebuah luka yang diakibatkan oleh pengkhianatan orang terdekatnya sendiri.
Di hadapannya, ratusan prajurit bersenjata lengkap telah membentuk formasi kepungan.
Mereka adalah orang-orang yang seharusnya melindunginya, tetapi kini berbalik mengancam nyawanya.
Pemimpin dari pemberontakan itu tidak lain adalah Adipati Suranggana, adik kandung sang raja sendiri.
Dengan pedang terhunus di tangannya, Suranggana melangkah maju.
Senyum dingin mengembang di bibirnya, dan matanya memancarkan kilatan ambisi yang telah lama dipendam.
“Saudaraku,” ucap Raja Indra, suaranya bergetar menahan emosi, namun tetap mengandung wibawa yang khas. “Apakah ini benar jalan yang kau pilih? Kau tega menodai ikatan darah kita sendiri hanya demi sebuah takhta?” ucap Raja Indra sambil menatap tajam ke arah sang adik.
Suranggana tidak segera menjawab.
Senyum dinginnya semakin melebar. “Takhta ini seharusnya sudah menjadi milikku sejak awal. Kau terlalu lemah, Indra. Terlalu sering tunduk pada desakan dewan tetua dan suara rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa. Kerajaan kita membutuhkan pemimpin dengan tangan besi, bukan hati yang lemah dan penuh belas kasihan.”
“Dan kau pikir tangan besi itu adalah milikmu?” sang Raja membalas, sambil turun dari singgasananya langkah demi langkah. “Kau hanya akan menjerumuskan Kusuma Raya ke dalam kegelapan dan penderitaan.”
Tanpa banyak bicara lagi, Suranggana mengangkat tangannya, memberi isyarat.
Puluhan prajurit segera menyerbu.
Raja Indra dengan gesit menghunus pedangnya dan bertahan. Satu, dua, tiga prajurit berhasil di tebasnya.
Darah segar mulai mengalir di lantai marmer putih yang megah, aroma besi menyengat memenuhi udara ruangan yang dulu penuh dengan kedamaian.
Dari balik tirai istana yang tersibak, muncullah Ratu Suryaloka.
Di pelukannya, terikat erat seorang bayi mungil yang terbungkus kain sutra putih—Pangeran Arvindra, sang pewaris takhta.
Wajah sang Ratu pucat pasi, tetapi matanya menyala dengan keberanian dan tekad baja seorang ibu yang akan melakukan apa pun untuk melindungi anaknya dari bahaya yang mengancamnya.
“Yang kau cari hanyalah takhta, Suranggana,” katanya dengan lantang, suaranya menembus riuh rendah pertarungan. “Tapi ketahuilah, kau tidak akan pernah bisa memiliki darah kerajaan ini yang sejati. Putraku akan hidup, dan suatu hari nanti, dia akan kembali. Dia akan datang untuk menuntut balas atas segala kejahatan yang kau lakukan malam ini.”
Suranggana menatapnya dengan pandangan penuh amarah dan kegelisahan. “Kau pikir bayi tak berdaya itu bisa melawan takdirnya? Aku akan pastikan dia tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di tanah Kusuma Raya!” ucapan Suranggana menggema di antara teriakan dan jeritan para prajurit yang terluka.
Raja Indra berusaha menerobos kepungan untuk mendekati istrinya, tetapi sebuah tombak musuh menancap di bahunya.
Dia terjatuh, berlutut di atas lantai, matanya yang mulai berkunang-kunang masih berusaha menatap wajah anaknya untuk terakhir kalinya. “Suryaloka…istriku... larilah,” bisiknya lemah, hampir tertelan suara hiruk-pikuk. “Bawa dia… jauh dari sini. Selamatkan dia.”
Tanpa membuang waktu, Ratu Suryaloka berbalik dan berlari menyusuri lorong-lorong istana yang mulai dilalap api dan bersimbah darah.
Teriakan para penjaga yang gugur dalam tugasnya menyatu dengan deru badai di luar.
Dengan hati hancur namun langkah yang tetap tegar, dia menuju pelabuhan kecil di belakang istana, tempat perahu-perahu nelayan biasa bersandar.
Sampai di dermaga, hujan semakin menjadi.
Ombak menggulung-gulung tinggi, seakan-akan laut sendiri sedang murka. Ratu Suryaloka memandang wajah bayi lelakinya yang masih tertidur pulas, tak menyadari kekacauan di sekelilingnya.
Dari kejauhan, sudah terdengar derap kuda dan langkah prajurit yang mengejar.
“Maafkan Ibu, Nak,” bisiknya, air matanya bercampur dengan air hujan yang deras. “Hanya inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkanmu.”
Dengan hati-hati namun cepat, dia meletakkan bayi itu ke dalam sebuah peti kayu berlapis emas, peti yang biasanya digunakan untuk upacara persembahan kerajaan.
Di dalamnya, dia juga meletakkan sebuah kalung berbentuk naga kecil, lambang keluarga Kusuma Raya yang sah. Tangannya gemetar saat menutup peti itu rapat-rapat.
“Semoga para dewa laut menjagamu,” doanya tulus.
Tak lama kemudian, dari balik kabut dan hujan, Suranggana muncul dengan sisa pasukannya.
Pedang di tangannya masih meneteskan darah, mungkin darah kakaknya sendiri. “Suryaloka!” teriaknya dengan amarah. “Serahkan bayi itu sekarang!”
Ratu Suryaloka menatapnya, dan kali ini, tidak ada lagi bayangan ketakutan di matanya. “Kau telah membunuh suamiku, Suranggana. Tapi kau tidak akan pernah bisa membunuh harapan yang kami tanam.”
Dengan sisa tenaga terakhirnya, dia mendorong peti kayu itu ke laut.
Ombak besar segera menyambutnya, dan dalam sekejap, peti itu terombang-ambing, dibawa arus menjauh ke tengah lautan yang gelap gulita.
Suranggana berlari ke ujung dermaga, menjulurkan tangannya, tetapi sudah terlambat. Dia hanya bisa memandang dengan frustasi ke arah laut bergelora yang telah menelan calon pewaris takhta.
Sang Ratu berbalik, menatap Suranggana dengan mata yang penuh kebencian dan kutukan. “Kutukan akan menimpa keturunanmu, Suranggana. Darah yang kau tumpahkan malam ini tidak akan pernah kering, sebelum suatu hari nanti keadilan ditegakkan.”
Tanpa ragu lagi, Suranggana menghunus pedangnya dan menikam tubuh sang Ratu.
Darah merah segar mengalir, bercampur dengan genangan air hujan di atas dermaga.
Tubuh Ratu Suryaloka jatuh tersungkur, matanya yang terpejam terakhir kali masih memandang ke arah laut, ke arah di mana anaknya menghilang.
Sebuah petir menyambar keras di langit, bagai suara kemurkaan para dewa yang menyaksikan pengkhianatan keji ini.
Sementara itu, di tengah lautan luas yang masih bergolak, peti kecil itu terus terombang-ambing di antara ganasnya ombak. Ajaibnya, bayi Arvindra di dalamnya tetap tertidur dengan tenang, wajahnya damai seolah dilindungi oleh kekuatan tak terlihat.
Petir yang menyambar sesekali menyinari air laut, memperlihatkan peti itu yang masih bertahan.
Tiba-tiba, dari kedalaman samudra yang gelap, sesuatu yang besar mulai bergerak.
Seekor makhluk raksasa muncul, tubuhnya panjang dan berkilauan dengan warna biru kehijauan, matanya bersinar sebesar lentera.
Itu adalah Nidraga, sang Penjaga Laut Timur, naga laut yang legendaris.
Dia berenang mendekati peti itu, mengitarinya dengan penuh rasa ingin tahu.
Meskipun nafasnya bisa menciptakan pusaran air yang kuat, dia menjaga agar peti dan bayi di dalamnya tidak terganggu.
Makhluk purba itu berbicara dengan suara gemuruh yang dalam. “Anak manusia… mengapa lautan harus menerima tangisanmu di malam yang kelam ini?”
Dia menatap lebih dekat bayi kecil di dalam peti. Di dada bayi itu, dia melihat sinar lembut berwarna biru, berdenyut-denyut seperti detak jantung samudra itu sendiri. Nidraga terdiam sejenak, terpesona oleh aura yang dia rasakan, sebuah aura yang belum pernah dia jumpai dalam ribuan tahun umurnya.
“Sinar Rajendra…” gumamnya pelan. “Jadi, ramalan itu ternyata benar adanya.”
Nidraga kemudian mendekatkan kepalanya yang besar ke peti itu.
Dari mulutnya, dia mengeluarkan kabut putih yang hangat, menyelimuti peti dan bayi di dalamnya, memberikan kehangatan dan ketenangan. “Kau akan kubawa ke Istana Kristal di kedalaman lautan,” katanya kepada bayi yang tertidur. “Kau bukanlah anak manusia biasa.”
Dengan kibasan ekornya yang panjang dan perkasa, Nidraga berenang membawa peti itu, menyelam menuju kedalaman samudra yang belum pernah dijelajahi oleh manusia mana pun. Cahaya biru laut memantul indah di sisik-sisiknya yang berkilauan, sementara Pangeran Arvindra tetap terlelap dalam lindungan makhluk purba yang telah memilihnya sebagai anak.
Di permukaan, badai pun perlahan-lahan mereda. Langit yang kelabu mulai beranjak pergi, meninggalkan keheningan yang muram.
Tidak ada yang tahu, bahwa pada malam yang penuh air mata dan darah itu, di antara ribuan ombak yang mengamuk, telah lahir sebuah legenda baru—legenda tentang seorang putra naga yang ditakdirkan untuk menantang takdirnya sendiri dan suatu hari nanti akan mengguncang dunia.