

Udara di ruang batu terasa berat setiap kali dihirup.
Di langit-langit, lampu minyak bergoyang perlahan, memantulkan bayangan tubuh Govinda yang tergantung tanpa daya. Darah menetes dari luka di bahunya, membentuk genangan hitam di lantai yang lembap.
"Apakah ini akhirku?" gumam Govinda dalam hati. "Tidak... rasa sakit ini terlalu nyata untuk kematian."
Kail besi menancap dalam di tulang belikatnya. Setiap tarikan napas membuat tubuhnya bergoyang, menambah perih di setiap sendi. Namun di balik rasa sakit itu, ada sesuatu yang bergetar di dalam jiwanya, cahaya samar dari masa lalu yang berusaha bangkit.
Dalam gelap kesadarannya, lautan kenangan terbuka perlahan. Ia pernah berdiri di puncak menara jade, di bawah panji delapan kerajaan yang tunduk padanya. Suara ribuan pengikut yang memberi hormat masih terngiang samar di telinganya.
"Aku adalah Penguasa Abadi," bisik Govinda dalam hati. "Mengapa kini tubuhku hanya menjadi umpan racun bagi orang lain?"
Suara langkah lembut memecah kesunyian.
Dari balik pintu batu, seorang wanita masuk dengan langkah tenang. Gracia Tanoro. Wajahnya tampak damai, namun matanya memantulkan dingin yang membuat Govinda terdiam.
"Akhirnya kau sadar, Kak Govinda," ucap Gracia pelan.
Govinda memaksa suara keluar dari tenggorokan yang kering. "Gracia... kenapa kau melakukan ini?"
Gracia berhenti di hadapannya, menatap tubuh yang tergantung itu tanpa rasa bersalah. Jari-jemarinya bermain dengan ujung selendang sutra di bahunya.
"Kau dulu berkata, keluarga adalah segalanya," bisik Govinda lirih.
"Yang kau sebut keluarga?" Gracia tersenyum tipis. "Itu hanya kata untuk orang lemah. Dunia ini milik mereka yang berguna, Kak."
Tatapan Govinda buram karena darah dan kelelahan. Napasnya berat, seperti setiap helaan menambah rasa sakit di dadanya. Udara di ruang batu terasa pengap dan dingin.
Di atas, lampu minyak bergoyang lembut, membuat cahaya temaram berpindah dari dinding ke wajah Gracia yang berjalan mendekat.
"Sejak kapan," suara Govinda parau, "sejak kapan hatimu membatu seperti ini?"
Gracia berhenti di hadapannya.
Pandangannya tenang, tetapi kosong dari rasa iba. Ujung selendang sutranya menyentuh lantai, menggeser debu dan sisa darah di permukaan batu.
"Sejak hari kau memilih mereka, bukan aku," jawabnya pelan. "Kau melindungi murid-murid sektemu, tetapi meninggalkan keluargamu dalam kehancuran. Aku hanya mengikuti jalan yang sama seperti yang kau pilih."
Govinda menunduk. Darah menetes dari bahunya dan menimbulkan bunyi lembut di lantai yang lembap. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan gemetar yang menjalar dari tubuhnya.
"Aku tidak pernah bermaksud meninggalkanmu," katanya lirih.
"Aku hanya ingin melindungi semuanya, termasuk kau."
"Melindungiku?" Gracia mengulang lagi dengan nada datar. "Dimataku, aku melihat hanya seseorang yang ingin diingat sebagai pahlawan.” Ekspresi Gracia semakin tawar.
“Semua orang memujamu, sementara aku hidup di bawah bayanganmu tanpa arti."
Keheningan…
Cahaya lampu minyak bergetar kecil.
Wajah Gracia tampak pucat, tetapi matanya tetap dingin. Udara di antara mereka terasa menekan, seperti ada sesuatu yang tidak terlihat menahan waktu.
Govinda mengangkat kepala perlahan. Matanya berkilat lembut, memantulkan cahaya dari lampu di atasnya.
"Kalau dunia ini benar milik mereka yang berguna," ucapnya tenang, "maka kita akan lihat siapa yang masih pantas disebut manusia."
Gracia diam beberapa saat. Tatapannya bergeser ke rantai besi yang menahan tubuh Govinda. Sesuatu tampak berubah di wajahnya, entah keraguan atau rasa sakit yang tidak ingin ia tunjukkan.
Ia menghela napas perlahan, lalu berbalik.
"Beristirahatlah, Kak. Dunia ini tidak memberi tempat untuk orang yang ragu."
Langkahnya perlahan menjauh. Suara hak sepatunya bergema di ruang batu yang sepi, semakin lama semakin redup hingga hanya tersisa keheningan.
Saat itu, Govinda masih menggantung di udara yang dingin.
Tubuhnya lemah, tetapi matanya perlahan memantulkan cahaya baru yang lahir dari dalam jiwanya.
"Apakah ini benar-benar akhir?" pikir Govinda saat tubuhnya tenggelam.
Namun perlahan, sesuatu mulai bergerak di dalam dada Govinda. Rasa hangat yang samar muncul dari balik tulang rusuknya, seolah sesuatu yang lama tertidur kini mulai membuka mata.
Dalam keheningan yang menekan, ingatan tentang sebuah teknik kuno mengalir lembut di pikirannya, menembus lapisan kesadarannya yang paling dalam.
"Teknik Hati Suci Abadi," gumam batinnya lirih. "Aku mempelajarinya di kehidupan lampau. Kini, saatnya menggunakannya agar aku bisa hidup kembali."
Di tubuh yang rusak parah itu, urat-urat hawa murni perlahan berdenyut. Setiap denyutan menimbulkan getaran lembut yang menyebar ke seluruh tubuhnya.
Seperti naga yang bangun dari tidur panjang, energi spiritual mulai mengalir, menembus jalur energi vital yang sebelumnya tertutup rapat.
Cairan di dalam tungku tak lagi terasa seperti racun. Panasnya berubah menjadi hangat, lalu menjadi lembut, seperti energi hidup yang menyusup melalui pori-porinya.
Setiap tetes yang meresap ke kulit Govinda berubah menjadi kekuatan murni yang menyalakan kembali kehidupan di dalam dirinya.
Jalur energi vital pertama terbuka. Cahaya keemasan redup muncul di dahinya.
Jalur energi vital kedua menyusul. Cahaya itu bertambah terang, berdenyut seperti detak jantung bumi.
Jalur energi vital ketiga terbuka, dan tulang-tulang Govinda berderak pelan, menyusun ulang bentuknya agar lebih kokoh.
Ketika jalur energi vital keempat terbuka, empat garis emas terpancar jelas di dahinya, berkilau seperti simbol dari empat pintu spiritual yang terhubung sempurna.
Tuan Susanto, yang berdiri di sisi tungku, mengerutkan kening. Keringat muncul di pelipisnya.
"Ada yang aneh dengan tungku ini," gumamnya pelan. "Apinya terlalu terang."
"Mungkin karena obatnya terlalu kuat," jawab asistennya dengan suara gemetar. Ia sendiri tidak yakin dengan ucapannya.
Sementara itu, di dalam tungku, Govinda tersenyum. Hawa murni di dalam tubuhnya terus bergerak deras.
Setiap napas membawa kekuatan baru yang memulihkan daging, tulang, dan jiwa. Saat ia mencoba membuka jalur energi vital kelima, tubuhnya bergetar hebat.
"Bangkitlah, jiwa lama," bisik hatinya.
"Dunia ini belum selesai denganmu."
Bam!
Ledakan pertama terdengar dari dalam tungku. Suaranya tajam dan berat, seperti besi yang patah di bawah tekanan.
Retakan mulai muncul di dinding perunggu yang menahan panasnya.
Tuan Susanto mundur dengan wajah pucat.
"Mustahil! Tidak ada yang bisa bertahan dari tungku pil kematian!" teriaknya.
Bam!
Ledakan kedua jauh lebih besar. Paku-paku yang sebelumnya mencair terlempar ke segala arah dan menancap di dinding batu.
Api menyembur keluar, menyelimuti tubuh Tuan Susanto. Teriakan paniknya bergema singkat sebelum terhenti di tengah kobaran api.
Asisten yang lain menjerit ketakutan dan berlarian menuju pintu keluar. Ruangan berubah menjadi lautan api.
Pang!
Tungku itu pecah berkeping-keping, logamnya mencair seperti lilin di bawah sinar matahari.
Dari tengah kobaran api dan asap pekat, sebuah sosok perlahan berdiri. Tubuhnya dipenuhi cahaya keemasan yang memancar lembut, menembus asap dan bara.
Govinda berdiri tegak di tengah kehancuran itu, matanya terbuka dengan kilau tajam yang menandakan kelahiran kembali sang Penguasa Abadi.
Govinda melangkah keluar dari reruntuhan tungku. Mata yang tadinya pudar kini memancarkan cahaya keemasan.
Lima garis emas bersinar di dahinya, tanda lima jalur energi vital telah terbuka sempurna. Tubuhnya diselimuti aura yang membuat udara di sekitarnya bergetar.
Ia menatap tangannya sendiri, merasakan kekuatan yang mengalir di setiap urat. Kekuatan yang dulu pernah membuatnya berdiri di puncak dunia.
"Dari abu pengkhianatan," gumam Govinda pelan, "Penguasa Abadi kembali menapaki dunia."
Api masih menyala di sekelilingnya, tapi kini api itu tunduk pada kehendaknya. Berputar mengikuti gerak tangannya, seperti naga yang patuh pada tuannya.
Malam di kota Tegala baru saja dimulai. Dan malam ini akan menjadi awal dari sebuah pembalasan yang akan menggetarkan seluruh kerajaan.
Bersambung