

Namaku Tianraksa.
Orang-orang di lembah memanggilku begitu, meski aku sendiri tak tahu siapa yang pertama kali memberi nama itu. Aku tumbuh di antara ladang kabut dan sungai tua yang mengalir tanpa arah pasti. Setiap pagi, udara di Lembah Kalingga selalu dingin dan berbau logam, seolah dunia belum selesai dibentuk sepenuhnya. Orang-orang tua bilang, lembah ini dulu bagian dari tubuh seekor naga langit yang tertidur ribuan tahun, dan kabut yang turun setiap malam adalah napasnya yang belum padam.
Aku tidak tahu apakah itu benar, tapi setiap kali aku menarik napas dalam-dalam, udara di sekitarku selalu bergetar.
Daun-daun bambu menunduk, dan burung-burung hening seketika.
Guru tua di desa menyebutku *anak dengan napas roh*—sebuah pertanda yang baik sekaligus kutukan.
Hari itu, langit berwarna abu keperakan. Angin membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lebih aneh—bau batu terbakar. Aku baru saja kembali dari hutan timur, membawa seikat akar kering untuk dijual di pasar. Saat melintasi jalan tanah di tepi sungai, aku melihat kabut naik lebih cepat dari biasanya. Kabut itu bukan putih lembut seperti biasa, melainkan kelabu pekat seperti asap dupa yang terbakar di altar.
Aku berhenti dan memejamkan mata. Dalam keheningan, aku bisa mendengar sesuatu di balik kabut—langkah.
Tidak hanya satu, tapi banyak, bergerak perlahan, seolah mencari sesuatu.
“Siapa di sana?” tanyaku pelan.
Tidak ada jawaban.
Hanya desir angin dan suara ranting patah. Aku menurunkan beban di punggung dan menggenggam tongkat kayu yang selalu kubawa. Tapi sebelum aku sempat melangkah mundur, kabut itu berputar seperti pusaran air. Dari baliknya muncul sosok-sosok tinggi berwujud manusia, namun kulit mereka seputih tulang, dan mata mereka kosong seperti batu sungai.
Aku tahu mereka—roh lapar dari langit kelima.
Makhluk-makhluk itu tidak seharusnya ada di dunia manusia. Mereka hanya muncul ketika ada celah antara dua alam.
Dan jika mereka muncul di lembah ini… berarti keseimbangan sudah terganggu.
Aku menarik napas dalam-dalam, menenangkan dada yang mulai panas. Udara dingin masuk ke paru-paruku, lalu keluar bersama desir yang memecah kabut di sekitarku. Daun-daun berguguran, dan angin membentuk lingkaran kecil di kakiku. Para roh lapar itu berhenti sejenak, seolah mengenali sesuatu yang mereka takutkan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kulakukan—hanya mengikuti naluri yang selama ini tertanam di dalam tubuhku.
Lalu salah satu dari mereka menjerit.
Suara itu panjang, serak, dan menggema di lembah. Tubuhnya retak dari dalam, lalu pecah menjadi debu abu-abu.
Roh lain mundur, tapi sebagian menyerang. Mereka bergerak cepat, seperti bayangan yang menembus udara.
Aku menangkis dengan tongkat, tapi pukulan mereka bukan pukulan manusia—dingin dan berat seperti kabut padat. Tubuhku terlempar ke tanah. Rasa besi memenuhi mulutku. Aku hampir kehilangan kesadaran ketika cahaya biru samar keluar dari telapak tanganku, menembus dada makhluk yang paling dekat.
Cahaya itu berputar seperti pusaran angin.
Lalu semuanya hening.
Hanya tersisa aku, terengah di tengah kabut yang perlahan menipis.
Tubuhku gemetar. Tanganku masih bersinar samar, lalu redup dengan cepat. Aku menatap telapak tanganku—ada lambang kecil berbentuk spiral udara yang berputar pelan sebelum menghilang.
Itu… lambang yang sama seperti di dada guru tua.
“Tidak mungkin…” bisikku.
Aku berlari secepat mungkin ke arah desa.
Rumah-rumah di lembah berdiri rapat, sebagian beratap jerami, sebagian batu. Tapi ketika aku tiba di halaman rumah guruku, udara terasa berbeda—hangus, kosong, tanpa suara burung atau jangkrik.
Pintu rumah terbuka separuh. Di dalam, tubuh guruku tergeletak di lantai tanah, matanya terbuka menatap langit-langit. Dada kirinya terbakar, dan di tengah luka itu… terukir lambang yang sama seperti yang kulihat di tanganku.
Aku jatuh berlutut.
Lambang itu berdenyut perlahan, seolah hidup. Udara di ruangan bergetar. Aku hampir tidak bisa bernapas.
“Guru…” suaraku bergetar. “Apa yang terjadi?”
Tapi tentu saja tidak ada jawaban.
Yang ada hanya keheningan dan suara napasku sendiri, memburu seperti hewan yang terluka.
Di meja batu di dekatnya, ada gulungan kulit rusa. Aku membukanya dengan tangan gemetar. Tulisan kuno terpahat dengan tinta hitam. Aku mengenali sebagian huruf—mantra pelindung yang biasa diajarkan guruku, tapi di bagian bawahnya tertulis sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya:
*“Ketika napas pertama bangkit, dunia akan pecah. Lima nafas akan mencari asalnya di gunung tanpa nama.”*
Aku membacanya berulang kali, tapi artinya justru semakin kabur.
Gunung tanpa nama…? Apakah maksudnya gunung yang selalu diselimuti kabut di ujung timur? Gunung yang tidak pernah disebut dalam peta mana pun?
Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki dari luar. Aku segera berdiri, menyembunyikan gulungan itu di dalam baju. Dari celah pintu, aku melihat tiga orang lelaki berpakaian hitam, membawa senjata logam panjang. Di dada mereka, terukir lambang spiral udara yang sama—hanya kali ini berwarna merah darah.
Salah satu dari mereka berkata, “Mayatnya sudah ditemukan. Tapi ada seseorang yang lebih penting. Anak itu… dia yang membawa nafas pertama.”
Aku tidak menunggu lebih lama. Aku berlari keluar lewat jendela belakang, menembus semak dan kabut. Suara teriakan mereka menyusul dari kejauhan. Dada terasa terbakar, tapi langkahku tidak berhenti. Aku tidak tahu ke mana harus pergi, hanya tahu satu hal—aku harus meninggalkan lembah ini sebelum fajar.
***
Aku tidak ingat berapa lama berlari. Ketika akhirnya berhenti, matahari hampir tenggelam di balik pegunungan. Di hadapanku terbentang hutan pinus yang menjulang, dan di kejauhan, samar-samar terlihat puncak gunung yang diselimuti awan abu-abu.
Gunung itu seperti sedang memanggilku.
Ada sesuatu dalam diriku yang merespons panggilan itu—napasku menjadi berat, seolah ada kekuatan yang ingin keluar tapi tertahan.
Aku duduk di atas batu, menatap ke arah puncak gunung yang seakan berdenyut di bawah sinar senja. Dalam diam, aku merasakan sesuatu di dadaku—sebuah ritme yang bukan milikku sendiri. Napas itu bergetar, mengalir ke seluruh tubuh, membawa suara-suara samar: jeritan, doa, dan bisikan nama-nama yang tak kumengerti.
Aku menggenggam tanah, mencoba menahan getaran itu. Tapi semakin kutahan, semakin kuat ia menuntut keluar.
Lalu aku melihat bayangan.
Di antara pepohonan, berdiri sosok perempuan muda berpakaian putih kusam, rambutnya panjang menutupi wajah. Ia berjalan tanpa suara, melintasi udara seolah tidak menginjak tanah.
“Siapa kau?” tanyaku.
Perempuan itu berhenti. Dari balik rambutnya, sepasang mata redup menatapku.
“Penjaga napas kedua,” katanya lirih. “Kau seharusnya tidak membangunkannya terlalu cepat.”
Sebelum aku sempat menjawab, tubuhnya perlahan menghilang menjadi kabut putih yang terbawa angin.
Di udara tersisa aroma bunga kering dan suara lembut seperti doa.
Aku memejamkan mata. Dalam kegelapan yang mulai turun, aku tahu satu hal:
Perjalanan ini baru dimulai.
Dan napas yang kubawa bukan sekadar hidupku sendiri—melainkan kunci yang bisa membangunkan atau menghancurkan seluruh dunia.