

Tidak ada yang lahir untuk menjadi bajingan. Tapi entah sejak kapan, aku mulai menikmati peran itu.
Namaku Ilham. Suami yang seharusnya melindungi, tapi justru menjadi sumber ketakutan bagi perempuan yang pernah memintaku dalam doanya. Suami yang lebih hafal aroma alkohol daripada wangi tubuh istrinya sendiri. Suami yang setiap malam mengejar kartu, dadu, dan utang, seolah neraka sedang menunggu setoran dariku.
Pulang mabuk adalah rutinitas. Mengamuk? Sudah seperti napas. Aku melempar apa saja yang sempat kupegang. Piring, gelas, kadang… kata-kata tajam yang lebih mematikan dari pukulan. Dan sialnya, aku tidak pernah merasa bersalah.
Bagiku, teriakannya adalah bukti bahwa aku masih berkuasa.
Jika kau meminta orang-orang di lingkunganku menyebutkan tiga hal tentangku, jawabannya selalu sama: pemabuk, penjudi, pemarah.
Kalau istriku yang bicara… mungkin ia akan menambahkan: suami yang menghancurkan hidupnya.
Rumahku terletak di gang sempit yang kalau hujan sedikit saja sudah banjir. Tapi meski begitu, rumah itu selalu menjadi markas ketakutan. Bukan karena hantu, bukan karena mitos. Tapi karena aku—penghuni yang setiap malam pulang dengan bau alkohol yang lebih keras dari suara langkahku.
Aku tak pernah benar-benar memahami kapan semua ini bermula. Tapi aku tahu kapan pertama kalinya aku merasa menang: saat melihat istriku terdiam ketakutan hanya karena aku membanting pintu. Seolah dengan suara itu saja, aku sudah bisa mematahkan semangatnya.
Dia adalah istri yang baik. Terlalu baik. Sayangnya, kebaikan tidak pernah punya tempat di rumah seorang bajingan.
***
Aku pulang malam itu dengan badan lengket oleh keringat dan bau asap rokok dari meja judi. Kalah lagi. Sangat kalah. Tapi rasa kalah kuobati dengan enam botol bir dan satu botol arak murahan yang kuteguk sampai dunia terasa seperti kertas yang bisa kusobek sesuka hati.
Pintu rumah terbuka dengan satu hentakan keras. Bunyi itu menggema, seperti gong kemarahan.
Dia berlari kecil dari dapur. Selalu begitu. Seolah rumah kecil ini punya alarm yang berbunyi setiap kali suara langkahku terdengar.
“Mas… sudah makan?” suaranya nyaris tidak terdengar.
Dia berdiri dengan tangan bergetar di sisi tubuhnya. Cahaya lampu redup membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Tatapannya penuh waspada, seperti seseorang yang sedang menunggu kapan pintu neraka terbuka.
Dan akulah pintu itu.
“Apa pedulimu?” desisku sambil melepas jaket dan melemparkannya ke sofa. “Mana uang?”
Dia menelan ludah. “Uang… yang mana, Mas?”
Pertanyaan itu memicu bara dalam kepalaku.
Sesederhana itu.
“Kau pikir aku bodoh? Uang belanja yang kuberikan kemarin. Mana?” suaraku naik, tidak peduli tengah malam, tidak peduli tetangga.
Dia menggigit bibirnya. Itu kebiasaannya sejak dulu. Kebiasaan yang dulu kukira manis. Sekarang terasa mengganggu.
“Mas, uangnya untuk—”
Aku tidak ingin mendengar alasan. Alasan adalah lidah bagi mereka yang ingin menantangku. Dan aku sudah terlalu muak untuk diberi alasan.
Tanganku menyapu meja. Peralatan makan jatuh berserakan. Dia tersentak, tubuhnya gemetar. Tapi dia tetap tidak bergerak. Dia tidak pernah berani bergerak, seolah takut gerakan sekecil apa pun akan menyulut lebih banyak amarah.
“Mas Ilham… tolong jangan begini lagi…” suaranya patah.
Aku mendengus, tertawa pendek—tawa yang tidak pernah benar-benar lucu.
“Jangan begini? Kau pikir aku apa? Boneka? Kau pikir kau bisa mengaturku?”
Dia menggeleng cepat. “Bukan begitu, aku cuma—”
Aku mendekat. Langkahku membuatnya mundur sedikit, tapi dia berhenti di dekat lemari dapur. Tidak punya ruang lagi untuk mundur. Aku menikmatinya. Mungkin itu penyakitku: aku suka melihat manusia tersudut.
“Aku cuma… nggak punya sisa uangnya, Mas,” katanya lirih.
Setengah detik.
Itu saja yang kubutuhkan untuk merasa darahku mendidih.
“Apa?!”
Dia menunduk, tidak berani menatap mataku.
“Semuanya kubelikan kebutuhan dapur… untuk makan kita beberapa hari.”
Kebutuhan dapur. Makan. Hal-hal yang harusnya kupedulikan, tapi kenyataannya, tidak pernah benar-benar masuk ke daftar prioritas hidupku.
“Dasar perempuan bodoh!” aku mengangkat botol kosong di meja dan membantingnya ke lantai. Pecahan kaca berloncatan, tapi dia tetap tak bergerak. Mungkin sudah terlalu terbiasa. Mungkin sudah terlalu sering.
Keheningan merayap beberapa detik. Aku berdiri di sana, napas memburu, alkohol melimpahi pikiranku.
Dia menunduk, mencoba tetap kecil, tetap sunyi—seolah kalau dia diam cukup lama, badai akan lewat.
Tapi aku jarang membiarkan badai lewat tanpa memporak-porandakan sesuatu.
“Aku kalah banyak malam ini,” gumamku sinis. “Dan kau seharusnya tau itu. Seharusnya kau siapkan uang untuk jaga-jaga. Jangan sok pintar!”
Dia memejamkan mata, menarik napas pelan seperti mencari keberanian yang tak pernah berhasil ia temukan sepenuhnya.
“Mas… hidup kita nggak bisa terus begini.”
Sebuah kalimat sederhana.
Tapi terasa seperti tamparan bagi egoku. Aku mendekat lagi, hingga suaraku hampir menyentuh wajahnya.
“Kau berani mengaturku sekarang?”
“Nggak, Mas… aku cuma—”
“Hm?”
“Aku cuma khawatir…”
Kata itu—khawatir—tertawa mengejek dalam kepalaku.
Apa yang dia tahu tentang khawatir?
Yang khawatir itu aku: khawatir kalah lagi di meja judi, khawatir ditagih preman, khawatir hidup tidak tunduk padaku.
“Sudah, Mas. Kita ngomong besok. Mas Ilham sebaiknya istirahat dulu—”
Aku membalikkan badan, menendang kursi yang berdiri paling dekat. Kursi itu terguling keras, bunyinya menggema di seluruh ruangan sempit ini.
“Kau cuma bikin aku tambah emosi!”
Pada titik itu, dia biasanya langsung diam. Tapi malam itu… dia berbeda. Mungkin sudah terlalu lelah. Mungkin jauh lebih lelah daripada yang pernah kubayangkan.
“Mas Ilham… tolong berhenti pulang seperti ini…” suaranya bergetar, tapi ia memaksa diri bicara. “Aku… aku capek.”
Aku membeku sejenak. Tidak menyangka ia berani melawan, walau hanya dengan kalimat selemah itu.
“Apa katamu?”
“Aku capek.”
Matanya berkaca-kaca. Bukan tangis keras. Bukan ratapan. Hanya… kekecewaan yang sudah terlalu lama ia telan.
“Kalau Mas mau marah, marah saja. Kalau mau bentak, silakan. Aku sudah terlalu sering. Tapi aku cuma… aku cuma ingin Mas sadar… aku juga manusia.”
Keheningan kembali merayap.
Lama.
Dan di dalam kepala yang beracun oleh alkohol, amarah, dan gengsi, kalimat itu tidak terdengar sebagai permintaan.
Ia terdengar sebagai perlawanan.
“Manusia?” Aku mendekat.
“Kalau kau manusia, kenapa kau bikin hidupku makin susah?”
Dia menggigit bibirnya, menahan kata-kata yang mungkin ingin dia ucapkan. Dia tahu—kata-kata bisa menjadi bahan bakar amarahku.
Aku menatap matanya lama. Mata itu dulu pernah kutatap dengan sayang. Sekarang, aku hanya melihat refleksi orang yang kubenci: diriku sendiri.
Tapi aku terlalu pengecut untuk mengakuinya. Jadi aku melakukan yang paling mudah: menyalahkannya.
“Kau penyebab semuanya,” gumamku penuh racun. “Kalau kau bukan istri yang lemah, aku nggak akan begini.”
Dia menutup mulutnya dengan tangan, seperti berusaha menahan suara. Ya, pada akhirnya dia memilih diam dan beranjak pergi.
Malam itu, aku tidak tidur. Aku duduk di ruang tengah, menatap langit-langit yang penuh noda lembab. Dia berada di kamar, mungkin menangis pelan di balik pintu. Mungkin memeluk lututnya. Mungkin menutup telinga.
Entahlah. Karena aku tidak peduli. Karena pada saat itu, aku tidak tahu bagaimana caranya peduli.
Pikiranku berputar pada satu hal: uang. Utang. Judi. Semuanya bercampur, membuat kepalaku seperti panci mendidih.
Aku keluar rumah sebelum fajar. Jalanan masih sepi, udara dingin menusuk kulit. Aku hanya ingin pergi; dari rumah, dari istriku, dari semuanya.