

Suara bel sekolah berdentang nyaring, seorang guru paruh baya masuk membawa satu buku tebal di tangannya. Namun tatapan guru itu mengarah ke seorang remaja laki laki yang sedang asyik tertidur.
"Ryo Arata! Bangun! Sudah jam masuk, kau masi saja asyik tidur! Dasar pemalas!" suara guru paruh baya itu menggema di seluruh kelas.
Sontak semua murid menoleh. Di pojok ruangan, seorang remaja berambut hitam acak-acakan membuka mata pelan. Ia menguap tanpa rasa bersalah.
"Ah, maaf, Bu… Saya lagi menghitung domba di alam mimpi." ujar Ryo santai.
Tawa kecil terdengar di kelas. Beberapa murid menatap sinis dan beberapa murid pria berceletuk.
"Dasar Ryo, otak kosong!"
"Sudah bodoh, masih berani ngelawan guru."
Ryo hanya tersenyum tipis. Ia tidak membalas, karena baginya itu hal yang tidak penting. Lagi pula mau mereka berkata apa tidak akan mengubah hidupnya.
Bagi mereka, Ryo hanya anak gagal yang malas belajar dan suka bikin masalah karena kelakuan nakalnya. Tapi mereka tidak tahu satu hal semua itu adalah pura-pura.
Di balik tatapan malas dan nilai merahnya, Ryo Arata sebenarnya memiliki ingatan luar biasa dan kemampuan analisis di atas rata-rata. Ia hanya memilih diam.
.........
Ryo berada di kantin sekolah, sambil menikmati makan siang bersama sahabatnya sejak kecil.
"Kau tadi tidur lagi di kelas?" tanya Ren Dhipa.
Ryo hanya terdiam lalu menatap ke dua orang gadis yang berjalan sambil tertawa, fokusnya hanya ke seorang gadis cantik yang dikagumi oleh banyak pria, Hana Aruna.
"Ryo...kok aku dikacangin," ujar Ren lalu membalikkan tubuhnya melihat apa yang sedang Ryo lihat.
"Astaga... anak ini selalu saja menatap Hana, si primadona sekolah," gumam Ren sambil memutar bola matanya.
"Tadi, kau berbicara apa Ren?" tanya Ryo sambil menikmati makanannya lagi.
"Sudahlah tidak usah dibahas, kau masih menyukai Hana?" tanya Ren, sambil menatap sahabatnya itu yang tengah asyik makan.
"Ya" jawab Ryo singkat.
Ren menatap Ryo dengan ekspresi kesal tetapi di dalam hatinya ia kesal menatap sahabatnya itu.
"Ryo, dengarkan perkataanku" katanya sambil menyandarkan punggung ke kursi.
"Mana mungkin si primadona sekolah mau sama pria bodoh dan nakal sepertimu? Semua orang di sekolah ini tahu siapa Hana Aruna seorang gadis pintar, sopan, cantik, dan selalu jadi juara kelas. Sementara kau? Anak paling malas yang kerjaannya tidur."
"Kau sadar nggak? kalau semua orang di sekolah ini bahkan semua guru sudah capek dengan kelakuanmu?" ujar Ren pelan.
Ryo mendengar itu hanya diam, tanpa menggubris perkataan sahabatnya dan asyik mengunyah makanannya.
Ren melanjutkan, "Aku cuma bilang ini karena aku sahabatmu, bukan karena aku ingin meremehkanmu dan merendahkanmu. Aku cuma tidak mau kau kecewa. Kadang, suka sama orang seperti Hana cuma bikin kau terluka, Ryo."
Ryo tersenyum tipis, menaruh sendoknya di atas meja. Ia menatap sahabatnya lekat lekat.
"Aku tidak peduli mau dia suka aku atau tidak. Menyukainya dari jauh saja sudah cukup menyenangkan buatku. Aku juga tidak minat untuk menjadi pacarnya," ujar Ryo santai.
Ren menggeleng tak percaya mendengar perkataan sahabatnya itu.
"Bukannya setiap orang menyukai seseorang menginginkan orang itu untuk menjadi kekasihnya? kenapa orang dihadapannya ini sangat berbeda?" Ren berpikir keras tentang pemikiran sahabatnya itu.
"Kau ini benar-benar aneh. Tapi… ya aku tahu, itu kau, Ryo Arata," ujar Ren sambil menyuap makanan ke mulutnya.
Hening sesaat menyelimuti kantin itu, suasana ramai di kantin terasa jauh di telinga mereka berubah menjadi ketegangan. Ren menatap sahabatnya itu lekat lekat.
"Padahal aku tahu kau bukan anak bodoh seperti yang semua orang pikirkan."
Ryo berhenti sejenak, menatap Ren dengan tatapan malas. "Kau mulai lagi."
Ren menghela napas sejenak lalu berkata pelan, sambil menatap ke arah Ryo. "Kau pikir aku tidak tahu? Aku lihat sendiri waktu kelas dua SMP — kau bisa menyelesaikan soal fisika yang bahkan guru kita tidak tahu. Kau ngerti rumus, kode komputer, bahkan hafal pola pikir orang lain. Tapi di sekolah ini, kau sengaja pura-pura tidak tahu apa-apa."
Ryo tersenyum samar, kali ini dengan nada dingin.
"Ya, memang benar. Terus mengapa?"
"Kenapa?" tanya Ren pelan.
"Kenapa kau memilih pura-pura bodoh?"
Ryo memalingkan pandangannya ke luar jendela sejenak. Lalu kembali menatap ke arah sahabatnya yang menunggu jawaban darinya.
"Karena aku benci ayahku."
Ren terdiam, ia tahu persi perselisihan Ryo dengan ayahnya. Ayah Ryo sering sekali menuntut Ryo untuk menjadi murid pintar dan berprestasi seperti dirinya. Bahkan Ryo rela tidak bermain waktu kecil demi belajar, karena tuntutan sang ayah.
"Dia selalu bilang, aku harus jadi yang terbaik. Nilai tertinggi, menjadi juara, aku harus hidup tanpa kesalahan. Aku bukan anak baginya melainkan alat untuk pamer ke orang lain."
Ryo menunduk, suaranya mulai memelan. "Waktu aku kalah sekali di lomba sains, dia marah. Katanya aku mempermalukan keluarga."
Ren menatap sahabatnya itu, tak tahu harus berkata apa.
"Jadi," lanjut Ryo lirih.
"Aku pikir, kalau aku jadi anak bodoh dan nakal, mungkin kali ini aku bisa bikin dia malu."
Ren terdiam lama, sebelum akhirnya berkata pelan,
"Kau menyakiti dirimu sendiri hanya untuk mempermalukan ayahmu… Itu gila, Ryo."
Ryo tertawa kecil, lalu berkata santai. "Aku senang seperti ini, karena aku bebas menjadi diriku sendiri."
Ren menatapnya dengan tatapan iba. Ryo kembali melanjutkan makan siangnya, seolah pembicaraan tadi tak pernah terjadi. Namun di balik wajah datar itu, Ren tahu sahabatnya sedang menyimpan banyak hal yang tak pernah ia ceritakan.
.......
Keesokan harinya Ryo terbangun dari tidurnya, ia menatap ke arah jam sekilas. Lalu melanjutkan tidurnya lagi, selang beberapa menit suara dari ponselnya berbunyi berkali kali.
"Siapa dia? Ganggu tidurku saja!"
Ryo mengambil ponselnya di nakas, ia menatap ponsel itu yang memperlihatkan dua telepon dari Hana dan sepuluh telepon dari Ren.
"Hana?meneleponku?ada apa?" gumam Ryo matanya memicing ke arah ponselnya.
Ryo mencoba menelepon ulang nomor Hana, tetapi nomor itu tidak tersambung. Lalu saat ia ingin menelepon Hana sekali lagi, Ren sudah duluan meneleponnya.
"Ada apa Ren, ganggu aku tidur saja!" ujar Ryo cepat sebelum Ren berbicara.
"Gawat Ren! buruan ke sekolah ada berita heboh," teriak Ren dari balik telepon.
"AKU TIDAK PEDULI! aku hanya ingin tidur, lagi pula masih jam setengah tujuh," ujar Ryo lalu ingin memutuskan panggilan itu.
Tetapi sebelum Ryo memutuskan panggilan terdengar suara Ren pelan. "Hana, dia sudah meninggal jatuh dari atap Ryo," ujar Ren.
Mendengar wanita yang ia cintai, meninggal membuat dada Ryo sedikit sakit.
"Hana..." ujar Ryo lirih.
Ryo cepat cepat berlari ke luar rumah, menuju ke sekolah. Ia tidak peduli bahwa ia belum mengenakan seragam, bahkan ia masi mengenakan kaos dan celana pendek.