

Gilang tidak pernah punya harapan muluk setiap bangun tidur. Ia tidak berharap hari ini akan luar biasa atau penuh kejutan. Ia hanya ingin sesuatu yang sederhana seperti bisa keluar rumah tanpa kejadian aneh. Itu saja. Namun hidup sudah lama menolak memberi kemewahan itu.
Pagi ini Gilang berencana membeli roti tawar di minimarket depan gang. Hal sederhana yang bagi kebanyakan orang tidak memiliki risiko berarti. Tetapi Gilang selalu merasa seperti karakter yang dikutuk untuk memancing situasi memalukan. Ia melangkah santai menyusuri jalan, menikmati udara yang cukup tenang. Ia sempat berpikir mungkin hari ini akan berjalan normal. Pikiran itu adalah kesalahan besar.
Begitu ia menyentuh gagang pintu minimarket, tangannya langsung terpeleset karena basah. Ia tidak melihat siapa pun yang baru saja keluar dan meninggalkan jejak air di gagang itu. Gilang refleks menarik tangan tetapi sudah terlambat. Tubuhnya terdorong ke depan, membuat kepalanya menyundul rak permen. Seketika seluruh permen mint berjatuhan seperti hujan yang terlalu bersemangat turun ke dunia.
Suara jatuhnya permen membuat karyawan kasir yang sedang mengisi laporan kaget setengah mati.
“Mas tidak apa apa” tanyanya panik.
Gilang berdiri sambil memegang jidat yang mulai berdenyut.
“Sudah biasa Mas” jawabnya lirih sambil mengedipkan mata untuk mengusir rasa sakit yang menusuk.
Karyawan itu hanya bisa mengangguk bingung.
Namun sebelum Gilang sempat merapikan sisa kehormatan yang jatuh bersamaan dengan permen mint itu, terdengar suara tawa dari lorong sebelah kiri. Bukan tawa kecil atau sopan. Tawa itu pecah begitu keras hingga membuat Gilang menoleh otomatis.
Di dekat rak tepung terigu berdiri seorang perempuan berambut panjang yang digulung asal di belakang kepala. Ia memakai kaos oversized biru muda dan celana jeans sederhana. Tidak ada yang aneh darinya kecuali cara ia tertawa yang sangat lepas seperti baru menemukan video lucu terbaik dalam hidupnya. Perempuan itu memegangi perut sambil berusaha mengontrol napas.
“Aduh maaf” katanya sambil tersengal. “Aku bukan mau ketawa soal kamu jatuh tapi tadi itu kayak film komedi banget.”
Gilang menegakkan punggung berusaha tidak tersinggung.
“Tidak apa apa” katanya. “Aku juga bertanya kenapa selalu begini.”
Perempuan itu mencoba menahan sisa tawanya tetapi matanya tetap menunjukkan betapa ia sangat terhibur.
Gilang ingin cepat pergi mencari roti tawar agar tidak jadi tontonan lebih lama. Ia baru menapak dua langkah ketika seekor kucing tiba tiba masuk lewat pintu minimarket. Kucing itu bulunya putih bercampur coklat dengan pola acak. Ia berjalan santai seperti pelanggan tetap. Gilang tidak peduli sampai kucing itu meloncat memanjat kakinya.
“Astaga” ucap Gilang spontan.
Kasir panik.
“Mas hati hati itu kucing liar suka nyakar.”
Gilang ingin mengibaskan kucing itu tetapi hewan itu lebih cepat. Ia naik ke bahu Gilang lalu duduk di sana seperti sedang menilai kualitas pelayanan toko.
Perempuan tadi menatap pemandangan itu dengan ekspresi campuran geli dan tidak percaya.
“Sepertinya kucing itu sudah menetapkan pilihan” katanya. “Dia yakin kamu adalah pohon yang bagus untuk dipanjat.”
“Aku bahkan bukan pohon” jawab Gilang putus asa.
Perempuan itu mendekat sambil memiringkan kepala menatap hewan itu. Tanpa rasa takut ia meraih kucing itu dari bahu Gilang. Ajaibnya kucing itu patuh saja saat dipindahkan lalu ditempatkan di lantai.
“Kucing ini memang hobi masuk minimarket sepertinya” katanya pelan. “Dia pasti haus perhatian.”
Gilang menghela napas lega sekaligus bingung.
“Terima kasih. Aku kira aku akan pulang dengan kucing ini ikut sampai rumah.”
Perempuan itu tersenyum. “Nama kamu siapa”
“Gilang.”
“Gilang yang punya keberuntungan unik.”
“Kalau itu bisa disebut keberuntungan.”
Perempuan itu terkekeh. “Aku Santi.”
Gilang mengangguk sekali sambil menata ulang emosinya yang masih kacau. Ia mencoba terlihat wajar padahal ia sadar Santi memperhatikan setiap perilakunya. Santi tidak terlihat seperti orang yang bermaksud jahat atau menghina. Justru ia terlihat menikmati momen absurd itu tanpa sedikit pun niat merendahkan.
Gilang berusaha mencari roti tawar. Ia berjalan sambil tetap waspada karena ia khawatir sesuatu lagi akan tiba tiba jatuh dari langit. Santi mengikuti dari belakang seolah penasaran apakah ada kejadian tambahan yang bisa dijadikan hiburan pagi.
Gilang mengambil roti tawar dari rak lalu berjalan menuju kasir. Namun ketika ia hendak membayar, roti itu terjatuh tanpa alasan. Gilang memungutnya dengan raut lelah.
“Ini contoh kenapa aku tidak percaya sama yang namanya hidup normal.”
Santi nyengir. “Aku baru lihat lima menit dan sepertinya aku setuju.”
Gilang membayar roti dan kantong plastik. Saat ia keluar dari minimarket, Santi ikut keluar. Gilang memperhatikan bahwa ia tidak membawa belanjaan apa pun.
“Kamu tidak belanja apa apa” tanya Gilang.
“Aku tadinya mau beli tisu” jawab Santi santai. “Tapi setelah liat kamu kejadian absurd lebih menarik daripada tisu.”
Gilang mengernyit. “Itu kalimat yang sangat jujur.”
Santi mengangkat bahu. “Kalau boleh jujur lagi kamu ini seperti karakter utama drama komedi yang selalu dikejar insiden. Roti jatuh. Rak tumbang. Kucing naik ke bahu. Semua dalam waktu kurang dari lima menit. Siapa yang tidak terpukau.”
“Aku. Aku tidak terpukau sama sekali.”
Santi menatap wajah Gilang yang jelas masih menahan malu. “Tapi kamu lucu. Bukan lucu seperti bahan ejekan. Lebih seperti lucu yang membuat orang ingin tahu apa yang akan terjadi berikutnya.”
Gilang merasa wajahnya panas. Ia tidak terbiasa mendengar komentar seperti itu apalagi dari perempuan yang baru ditemui.
Santi menghela napas kecil seolah sedang mengambil keputusan.
“Kamu mau pulang ke arah mana”
“Ke gang sebelah.”
“Aku juga lewat situ.”
“Kamu tinggal di sini”
“Tidak. Aku sering lewat sini karena ada kerjaan di daerah belakang.”
Gilang berjalan. Santi berjalan di sebelahnya sambil mengayunkan tangan secara santai. Gilang mencoba bersikap biasa namun sulit ketika ia tahu seseorang memperhatikan langkahnya.
Mereka melewati rumah seseorang yang habis menyirami halaman. Masalahnya selang air itu menjulur ke jalan. Ketika Gilang melangkah tanpa melihat, kakinya tersangkut selang itu. Ia tidak jatuh tetapi kehilangan keseimbangan cukup lama sehingga terlihat seperti orang menari patah.
Santi berusaha keras untuk tidak tertawa. Bibirnya sudah bergetar. Matanya berkaca karena menahan tawa yang belum keluar.
“Kamu baik baik saja” tanya Santi sambil memalingkan wajah agar tidak meledak tawa tepat di depan Gilang.
“Aku mulai curiga ada yang ngikutin aku dari alam lain.”
Santi kini tidak bisa menahan tawa lagi. Ia tertawa sambil memegang tiang listrik untuk bertahan.
Gilang menatap langit dengan pasrah. Ia tahu betul hidupnya memang seperti itu. Namun entah mengapa ketika Santi ada di situ, kejadian itu tidak terasa sepenuhnya menyedihkan. Masih memalukan tentu saja, tetapi ada sesuatu yang membuat suasana lebih mudah diterima.
Mereka terus berjalan sampai mencapai tikungan. Santi berhenti lalu menatap Gilang.
“Aku sampai sini” katanya.
“Oh.”
“Terima kasih untuk hiburan pagi ini.”
“Itu bukan hiburan. Itu tragedi.”
“Buat kamu mungkin. Buatku itu tontonan premium.”
Gilang menghela napas sambil menggaruk tengkuk. “Aku sih cuma berharap tidak ketemu kejadian aneh lagi besok.”
“Kalau aku berharap ketemu kamu lagi.”
Gilang terpaku. Santi tersenyum tipis lalu melangkah pergi. Saat ia sudah agak jauh, ia menoleh sebentar.
“Jaga diri kamu. Kamu rawan kecelakaan kecil.”
Gilang berdiri cukup lama di pinggir jalan tanpa bergerak. Ia memegang roti tawar yang kini terasa seperti oleh oleh dari perjalanan absurd itu. Ia tidak tahu apakah ia akan bertemu Santi lagi atau tidak. Namun ia tahu sesuatu baru saja dimulai. Sesuatu yang mungkin akan membawa kejadian lebih aneh daripada kucing naik ke bahu atau roti jatuh tanpa alasan.
Gilang memutar pandangan ke jalan yang kosong. Ia menarik napas panjang kemudian melangkah pulang. Dalam hati ia merasa ada perubahan kecil. Tidak besar. Tidak dramatis. Hanya titik kecil yang muncul begitu saja tanpa ia rencanakan.
Ia tidak tahu apakah itu pertanda baik atau buruk.
Namun yang jelas, ia tidak bisa menghilangkan satu hal dari pikirannya.
Santi berharap bertemu lagi.