

Asap gorengan menari di udara. Aroma kopi sachet yang terlalu manis menempel di angin.
Arga mengulurkan uang lusuh.
"Bang, kopi satu. Di sini ya."
Gerakannya pelan namun pasti. Kertas di tangannya diremas, bukan karena marah—karena takut membacanya lagi.
Ia duduk di pinggir jalan besar. Deru kendaraan meraung hanya sejengkal dari sol sepatunya yang hampir putus.
Hari ini usianya genap delapan belas. Dan untuk pertama kalinya, ia berani berharap.
Lima puluh tahun lalu, portal muncul di seluruh dunia. Cahaya ungu. Retakan udara. Lalu monster keluar seolah mereka selalu berhak menginjak bumi.
Kota runtuh. Negara hilang dari peta. Manusia dimangsa tanpa belas kasihan.
Senjata api bekerja—namun jumlah monster selalu lebih cepat daripada jumlah peluru.
Sampai orang-orang berkekuatan muncul. Hunter. Raksasa kecil yang menahan kiamat.
Tapi dunia sudah terlanjur patah. Banyak negara runtuh. Sebagian hanya tinggal nama.
Negara Garuda—negara kepulauan dengan ribuan pulau—selamat setengah. Sebagian wilayahnya hilang ditelan portal, sebagian lain selamat berkat laut dalam yang memutus jalur monster.
Jayakarta—tempat Arga duduk sekarang—hanyalah kota darurat yang mencoba terlihat seperti kota sungguhan.
"Ini mas, kopinya." Pedagang itu menyerahkan gelas plastik yang masih hangat.
"Makasih, Mas." Arga tersenyum seadanya. Gelas itu ia letakkan di samping kaki.
Ia membuka kertas itu lagi.
Hitam-putih. Seperti putusan hakim.
Nama: Arga Wiranata
Rank: F
Skill: —
Traits: Devil’s Luck (SSS)
Deskripsi:
1% experience dari membunuh monster
1% kemungkinan loot drop
1% hit chance
"Tahu begini, lebih baik kerja tadi…," gumamnya. Napasnya berat. Kesal bercampur malu.
Arga teringat jelas saat masuk ke gedung Asosiasi Hunter Garuda. Dadanya penuh harapan—harapan yang baru bisa ia punya di hari ulang tahunnya.
Resepsionis menyambutnya hangat. "Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?"
Arga menjelaskan maksudnya.
"Saya mau daftar menjadi Hunter mbak, Saya baru berusia 18 Tahun hari ini."
Suaranya gugup, tapi resepsionis tetap tersenyum, tetap ramah, tetap profesional.
"Silakan, Mas Arga. Kita lakukan pengecekan dulu, ya."
Arga menaruh tangannya di atas alat kristal. Cahaya biru menyala.
Hasilnya keluar.
Resepsionis tercengang. Matanya membesar. "A—Astaga… S–SSS?!" Suaranya pecah sedikit, cukup keras untuk membuat beberapa orang mengalihkan pandangan.
Arga ikut kaget—bahkan sempat bangga. "Eh? Saya… saya SSS?" Napasnya seolah melayang.
Bisik‑bisik mulai terdengar. "SSS? Serius?" "Di Negara Garuda cuma tiga orang yang punya bakat SSS, kan?" "Gila… bocah ini yang keempat?"
Beberapa orang mendekat, pura‑pura antre tapi sebenarnya ingin melihat hasil tes Arga. Ada yang ternganga, ada yang bersiul kagum.
"Anak ini jagoan masa depan, nih!" seseorang berbisik.
Tapi resepsionis kembali membaca kertas hasil tes. Perlahan. Teramat perlahan.
Ekspresinya berubah. Wajah yang tadi hangat dan penuh kekaguman… melunak menjadi tatapan belas kasihan.
Tatapan yang biasanya orang berikan pada anak yatim atau korban bencana.
Arga bingung. "Kenapa, Mbak? Ada yang salah?"
Resepsionis menghela napas panjang. "Talent‑mu… Devil’s Luck. Deskripsinya… ya begini." Ia menjelaskan dengan pelan, seolah takut melukai seseorang yang baru saja diberi harapan.
Kerumunan yang awalnya penuh kekaguman mendadak hening. Lalu pecah.
"HAHAHA! SSS tapi isinya sampah?!" "Pertama kali lihat trait SSS yang nggak ada gunanya!" "Parah sih… Devil’s Luck? Itu mah bukan bakat, itu kutukan!"
Arga terdiam. Shock. Semua yang tadi terangkat di dadanya runtuh dalam sekejap. Dunia terasa mengecil.
Resepsionis buru‑buru menegur. "Mas jangan begitu! Ini tempat umum!" Lalu ia berbalik ke Arga, mencoba tersenyum. "Jangan sedih ya… semua trait… e‑emm… pasti ada sisi baiknya!" Suaranya dipaksa ceria, tapi matanya tetap memancarkan rasa kasihan.
Komentar lain menyerang dari samping. "Bayangin deh, SSS tapi nggak bisa apa‑apa. Malu banget kalau aku jadi dia." "Udah bangga duluan, ternyata isinya gitu!"
Arga menunduk. Tidak berani balas. Tidak tahu harus berkata apa.
Ia keluar dari gedung dengan langkah berat. Semua harapan yang tadi memenuhi dadanya terasa jatuh satu per satu, seperti kaca jatuh dari lantai sepuluh.
"Sial," gumamnya sambil memijit pelipis. "Rank SSS tapi nasibnya sial level SSS."
Ia menyeruput kopi. Rasanya lebih mirip air panas berdebu.
"Aku cuma mau jadi hunter. Bunuh monster. Dapat uang. Jadi pahlawan…" Nada suaranya makin mengecil. "Tapi ini… ini malah kutukan."
"Pasti tidak mungkin lebih sial dari ini, kan?" Ia menunduk, menatap kertas itu seperti menatap musuh.
Craaaak.
Suara itu memecah udara.
Arga mendongak. Udara bergoyang. Ruang retak seperti kaca dipukul dari dalam.
Dan dunia, sekali lagi, mulai tidak masuk akal.
Orang-orang terpaku. Termasuk Arga.
Retakan di udara melebar seperti kaca ditekan dari dalam. Cahaya hijau bocor dari celah-celahnya.
Sesuatu meraih pinggiran retakan. Tangan besar. Kulit hijau lumut. Jari tebal seperti akar pohon.
Lalu kepala itu keluar—bertaring, bermoncong babi, mata merah menyala.
"Aaaaaaaaa! Ada Orc!" Jeritan seorang wanita tepat di samping Arga membelah kebisuan itu.
Jeritan itu menarik manusia kembali ke dunia nyata. Lalu semuanya pecah berantakan.
Orang berlari tanpa arah. Ada yang menjerit. Ada yang jatuh. Ada yang mendorong. Suara klakson bertubi-tubi menelan segala logika.
Retakan semakin terbuka. Orc lain merangkak keluar—satu… dua… lima… delapan… terlalu banyak.
Mobil-mobil berhenti mendadak, ban berdecit keras. Aroma karet terbakar memenuhi udara.
Arga tersentak. Ia bangkit, ingin ikut kabur.
Namun ketika menjejak—
Kakinya menginjak gelas kopinya sendiri.
"Eh—"
Ia terpeleset.
Tubuhnya jatuh terlentang.
Dan dari posisi itu, semuanya terlihat terlalu jelas.
Gelas kopi itu terpental. Terbang slow-motion. Melayang seperti proyektil murahan.
Ia menabrak wajah seorang pria yang sedang berlari.
"AARGH! Panas!" Pria itu memekik, reflek membelok.
Tubuhnya menabrak orang di samping. Orang itu terdorong, tidak siap, terjungkal ke jalan.
Di saat yang sama sebuah mobil memutar setir ke kiri, menghindari tubuh yang jatuh itu—
Lalu menghantam tiang besi.
Tiang itu bergetar. Miring. Jatuh.
Dan menimpa sebuah truk.
Sopir truk panik, menginjak gas terlalu keras. Truk itu melesat maju seperti banteng buta, menghantam mobil di depannya.
Mobil yang ditabrak adalah mobil pengangkut bahan bakar.
Tabrakan itu membuatnya bergoyang liar. Onggokan baja itu berbelok tak terkendali…
…dan langsung mengarah ke portal yang masih memuntahkan orc.
Sopirnya melompat keluar tepat sebelum mobil itu menabrak.
Mobil masuk ke kerumunan orc.
Lalu—
BOOOOOOM!
Ledakan menyapu jalan. Api menyembur seperti lidah naga. Dua puluh orc berukuran besar terlempar seperti boneka.
Retakan dimensi bergetar. Cahaya hijau meredup. Lalu portal itu… menutup.
Begitu saja.
Api meredup perlahan. Aroma besi terbakar memenuhi udara.
Arga masih terbaring, mulut terbuka.
"Astaga…A-Apa… apaan tadi itu…?” Suara sendiri terdengar asing di telinganya.
Ia menatap sisa-sisa kekacauan yang baru saja ia picu… dengan gelas kopi lima ribu rupiah.