Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
BALAS DENDAM JEAN

BALAS DENDAM JEAN

Dranyyx | Bersambung
Jumlah kata
28.1K
Popular
100
Subscribe
28
Novel / BALAS DENDAM JEAN
BALAS DENDAM JEAN

BALAS DENDAM JEAN

Dranyyx| Bersambung
Jumlah Kata
28.1K
Popular
100
Subscribe
28
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of lifeBalas DendamKonglomeratMiliarder
Jean Tinggal bersama Ibu dan ayah tirinya. Tersiksa, terhina, dan tak mendapatkan kasih sayang. Suatu ketika adik tirinya datang, membawa penderitaan yang lebih lagi. Kisah cinta yang rumit. Pendidikan yang berantakan. Keluarga yang tak harmonis. Jean pun memilih mengambil sebuah keputusan yang berat.
Bab 1

Suara itu—teriakan Ibu dan bentakan Ayah—masih jelas di kepalaku, padahal sudah tujuh tahun berlalu. Dalam mimpiku, Ibu masih berteriak, “Jangan tinggalkan kami, Arif!” dan Ayah masih membentak, “Kamu pikir aku mau hidup seperti ini?”

Aku meremas pelipisku. Cahaya pagi yang suram menyelinap melalui jendela, menyoroti retakan-retakan di langit-langit kamarku yang sempit. Kamar berukuran 3×3 meter ini selalu membuatku merasa terkurung.

Kutendang selimut dan berjalan ke kamar mandi. Air dingin yang kuyupkan ke wajah tidak mampu menghapus rasa hampa di dada. Di bawah pancuran, dengan mata terpejam, pikiranku melayang kepada Lia.

Kubayangkan dia di sini, bersamaku, menenangkanku saat gelisah. Tapi seperti biasa, bayangan itu justru membuat kesepianku semakin dalam.

“Lia…” gumamku pelan.

Yang menjawab hanya derasnya air dingin.

Setelah mandi, aku mengenakan kaus oblong dan celana jeans lamaku. Bau gorengan sudah tercium dari dapur. Ibu pasti sudah bangun sejak lama.

“Aduh, Jean, kok pucat sekali?” tanya Ibu begitu aku memasuki dapur kecil itu. Tangannya masih memegang spatula. Matanya sembap, seperti habis menangis diam-diam.

“Aku nggak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk,” jawabku sambil duduk di kursi kayu yang bergoyang tidak stabil.

Ibu meletakkan sepiring nasi goreng di hadapanku. “Mimpi apa lagi?”

“Biasa… masa kecil,” jawabku singkat.

Ibu menghela napas panjang. “Jean, kamu harus move on. Itu sudah lama sekali.”

Kutatap kerutan di sudut matanya yang semakin dalam. Rambutnya yang dulu hitam berkilau kini sudah diselipi uban. “Gampang bilang move on, Bu. Tapi tiap hari kita harus hadapi ini.”

Kami makan dalam diam. Hanya suara sendok berdenting di piring yang memecah kesunyian. Aku bisa merasakan ketegangan menggantung di udara.

Tiba-tiba langkah berat terdengar dari luar. Budi, ayah tiriku, masuk dengan wajah masam. Bau rokok dan alkohol masih melekat kuat pada bajunya.

“Loh, anak emas udah bangun?” katanya dengan suara seraknya yang khas. Tangannya yang besar meraih termos kopi. “Daripada duduk bengong, mending bantu bersihin gudang. Banyak barang berantakan.”

Kugepalkan tanganku di bawah meja. “Aku ada kuliah pagi ini, Pak.”

“Alasan!” bentaknya sambil mendekatkan wajahnya. Aku mencium bau mulutnya yang tidak sedap. “Kuliah melulu! Uang kuliahmu dari mana? Dari keringat ibumu yang kerja dari pagi sampai malam!”

Ibu berdiri, mencoba menengahi. “Budi, tolong… dia memang ada jadwal kuliah hari ini. Nanti sore aku yang bantu bersihkan gudang.”

Budi memutar badan dan menatap Ibu dengan mata merah. “Kamu selalu bela dia! Dari dulu selalu begitu! Dia udah besar, Sin! Umur 22 tahun! Masa masih numpang hidup di sini?”

Aku berdiri, dan kursiku terjatuh ke belakang. “Aku nggak numpang hidup! Aku juga yang bayar listrik dan air bulan ini!”

“Oh, pinter?” Budi mendekat lagi, kali ini lebih mengancam. “Dengan uang siapa? Uang dari ayahmu yang brengsek itu? Atau uang hasil nyuci piring di kafe?”

Ibu menarik lenganku. “Jean, jangan…”

Kutarik napas dalam. Kuingat janjiku pada diri sendiri untuk tidak memperburuk keadaan. Tapi setiap kali Budi mulai, rasanya ingin sekali kuhancurkan semua barang di rumah ini.

“Budi, dia anakku,” kata Ibu dengan suara gemetar.

“Dan aku suamimu!” teriak Budi sambil menunjuk-nunjuk. “Tapi kamu selalu prioritaskan dia! Kapan kamu prioritaskan aku?”

Kupungut tasku yang terjatuh. “Aku pergi dulu.”

“Lari lagi? Dasar pengecut!” teriak Budi.

Aku berjalan cepat keluar rumah, meninggalkan suara pertengkaran yang semakin menjadi. Dadaku terasa sesak. Aku ingat betul hari di pengadilan dulu, ketika hakim bertanya ingin ikut siapa. Saat itu, tanpa ragu aku memilih Ibu. Aku membenci Ayah karena mengkhianati kami.

Tapi sekarang, setelah lima tahun hidup dengan Budi, aku mulai bertanya-tanya apakah pilihanku itu salah.

Kampus adalah pelarianku. Setidaknya di sini aku bisa bernapas lega.

“Jean!” teriak seseorang.

Aku menoleh. Lia sedang berdiri di depan gedung fakultas, tersenyum. Rambutnya yang panjang dikepang rapi. Matanya yang hitam berbinar-binar.

“Kamu kenapa? Muka kayak orang kesetrum,” katanya sambil memegang tanganku.

“Aku baik-baik aja,” bohongku.

Lia memiringkan kepalanya. “Jangan bohong. Budi lagi-lagi?”

Aku mengangguk pelan. “Dia marah pagi-pagi. Bilang aku pemalas, numpang hidup…”

Lia menarik tanganku ke bangku taman terdekat. “Dengarlah, Jean. Kamu bukan pemalas. Kamu kerja paruh waktu, bayar sendiri uang kuliah, dan masih bantu Ibu di rumah. Budi itu yang tidak bisa melihat kebaikanmu.”

Dia meraih kedua tanganku. Sentuhannya terasa hangat. “Sabarlah, Jean. Kamu kan tinggal beberapa bulan lagi lulus. Nanti kita cari apartemen kecil, kita tinggal bersama. Jauh dari semua masalah ini.”

Kutatap matanya yang jujur. “Kamu yakin mau sama aku? Aku cuma anak broken home yang tidak punya masa depan jelas.”

Lia menepuk pundakku. “Jangan bicara begitu. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Ingat waktu pertama kita ketemu? Kamu yang bantu aku waktu ada masalah dengan mantan pacarku. Kamu yang temani aku sampai jam tiga pagi.”

Aku tersenyum kecil. “Iya, tapi waktu itu aku cuma dengar kamu curhat berjam-jam.”

“Dan itu yang membuatku sembuh,” katanya dengan suara lembut. “Kamu pendengar yang baik, Jean. Kamu perhatian. Kamu berbeda dengan ayahmu.”

Mendengar kata “ayah”, raut wajahku langsung berubah. Lia tampak menyadari kesalahannya.

“Maaf, aku tidak seharusnya…”

“Tidak apa,” potongku. “Aku harus bisa menghadapi kenyataan bahwa Ayahku memang pengkhianat.”

Lia mendekatkan wajahnya. “Jean, dengar. Tidak semua laki-laki seperti ayahmu atau Budi. Kamu buktinya.”

Dia mencium pipiku pelan. Bau wangi shamponya membuatku tenang. Untuk sesaat, aku melupakan semua masalahku.

Tapi kemudian kenangan itu datang lagi.

“Bu, HP Ayah ketinggalan,” kataku waktu itu, saat usiaku masih 15 tahun.

Kuraih ponsel ayah yang bergetar di meja makan. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal: “Sayang, aku kangen. Kapan kita ketemuan lagi?”

Jantungku berdetak kencang. Dengan tangan gemetar, kubuka percakapan lainnya. Pesan-pesan mesra bertebaran. Foto-foto wanita cantik yang bukan Ibu. Janji-janji pertemuan di hotel.

“Jean, siapa yang SMS?” tanya Ibu dari dapur.

Aku tak bisa berkata-kata. Tanganku gemetar memegang ponsel itu. Saat itulah duniaku runtuh.

“Apa ini, Yah?” tanyaku ketika Ayah pulang.

Dia melihat ponsel di tanganku, wajahnya pucat. “Jean, berikan itu pada Ayah.”

“Ibu! Ibu!” teriakku.

Ibu datang berlari. Kutunjukkan ponsel itu padanya. Kulihat bagaimana wajahnya hancur berantakan. Air matanya mengalir deras.

“Arif… bagaimana bisa kau…”

Ayah hanya diam. Dia tidak menyangkal. Bahkan tidak meminta maaf.

“Untuk bisnis,” katanya akhirnya. “Dia partner bisnis…”

“Jangan bohong!” teriak Ibu. “Dia sekretarismu, kan? Aku tahu dari dulu!”

Itulah hari terakhir kami bersama sebagai keluarga.

“Jean? Kamu lagi di mana?” Lia menggoyang pundakku.

“Aku ingat waktu ketahuan selingkuh,” kataku pelan. “Aku yang tunjukkan bukti pada Ibu.”

Lia memelukku erat. “Kamu tidak bersalah, Jean. Kesalahan ada di ayahmu, bukan di kamu.”

“Tapi Ibu menderita karena aku yang buka semuanya.”

“Lebih baik tahu kebenaran daripada dibohongi seumur hidup,” kata Lia tegas. “Ibumu pasti bersyukur kamu yang buka semuanya.”

Aku menghela napas. “Sekarang dia jadi CEO sukses. Hidup mewah di apartemen mewah. Sementara kami… begini.”

Lia mengangkat wajahku. “Kekayaan bukan segalanya, Jean. Lihat Budi, dia kaya tapi hatinya miskin. Kamu lebih kaya dari dia, karena kamu masih punya hati nurani.”

Kami duduk diam beberapa saat. Hanya suara angin berhembus yang kudengar.

“Jean, kamu harus bicara dengan ibumu. Kasih ultimatum. Atau kita cari kos-kosan untukmu,” kata Lia.

Aku menggeleng. “Aku tidak bisa tinggalkan Ibu sendirian dengan Budi. Dia semakin kasar akhir-akhir ini.”

“Tapi kamu tidak bisa mengorbankan dirimu terus-menerus.”

Aku tahu Lia benar. Tapi meninggalkan Ibu sendirian? Aku tidak tega.

Malam hari ketika aku pulang, suasana sudah seperti perang. Dari luar rumah saja, aku sudah mendengar teriakan Budi.

“Uangku hilang 500 ribu! Pasti kamu kasih ke anakmu itu!”

“Budi, aku tidak ambil uangmu! Itu uang hasil kerjaku!” balas Ibu.

“Bohong! Perempuan pembohong! Dari dulu kamu lebih sayang anakmu daripada aku!”

Aku berdiri di depan pintu, tak bisa bergerak. Dadaku sesak. Tanganku berkeringat. Ingin rasanya aku masuk dan melabrak Budi, tapi aku tahu itu hanya akan membuat Ibu semakin susah.

“Kamu pikir aku tidak tahu? Kamu masih kontak dengan mantanmu itu! Aku lihat di HP!” teriak Budi.

“Ibu tidak…” suara Ibu terisak. “Dia yang telepon aku… mau kasih uang untuk Jean…”

“Dasar pelacur! Mau dijagain sama mantan yang kaya? Pergi sana! Tinggalin aku seperti istri pertamaku!”

Aku mendengar suara barang pecah. Ibu menjerit.

Tidak tahan lagi. Kubuka pintu.

Budi berdiri dengan wajah memerah, memegang vas bunga yang pecah. Ibu terduduk di lantai, menangis.

“Keluar dari rumahku!” teriak Budi padaku.

“Ini juga rumah Ibu!” bentakku.

Budi melangkah mendekat. “Kamu pikir kamu siapa? Selama ini aku yang bayar semuanya! Makan yang kamu makan, listrik yang kamu pakai, dari keringatku!”

Ibu berdiri di antara kami. “Tolong… berhenti…”

“Kamu pilih siapa, Sin?” teriak Budi. “Aku atau anakmu?”

Ibu menatapku, matanya penuh air mata. “Budi… dia anakku…”

“Kalau begitu, kalian berdua bisa pergi dari sini!”

Kutarik napas dalam. Inilah yang selalu kutakuti. Aku membuat Ibu harus memilih.

Tiba-tiba, ponsel di saku celanaku bergetar. Kuabaikan, fokusku tertuju pada Budi yang masih melotot.

Tapi ponsel itu berdering lagi. Dan lagi.

Kukeluarkannya. Nama “Ayah” berkedip di layar. Jantungku serasa berhenti berdetak.

“Siapa? Pacarmu?” ejek Budi.

Kupandang Ibu yang masih terisak, lalu Budi yang wajahnya penuh kebencian. Dengan tangan gemetar, kutekan tombol hijau.

“Halo?” suaraku serak.

“Jean,” suara di seberang sana dalam dan tenang, persis seperti yang kuingat. “Ayah di sini. Dengarlah, Nak. Sudah waktunya kamu tinggal bersamaku. Aku punya sesuatu untukmu. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.”

Aku terdiam. Mataku masih tertuju pada Ibu yang sedang ditatap penuh kebencian oleh Budi.

“Ayah…” kataku, suaraku hampir tidak keluar.

“Besok pagi Ayah jemput jam delapan. Bawa barang-barangmu. Selamat tinggal untuk Ibumu.”

Telepon ditutup.

Aku masih memegang ponsel, tidak percaya dengan apa yang baru terjadi. Dunia seakan berhenti berputar. Suara pertengkaran Budi dan isakan Ibu seperti sayup-sayup saja.

Kutatap Ibu yang sedang berusaha menenangkan Budi. Kulihat rumah tua ini yang penuh dengan kenangan pahit. Lalu kulihat ponsel di tanganku.

Sebuah dunia baru. Mewah, misterius, penuh dengan luka lama yang belum sembuh. Tapi mungkin… mungkin ini jalan keluarnya.

Atau jebakan yang lebih dalam?

Aku tidak tahu. Yang aku tahu, besok pagi hidupku akan berubah selamanya.

Lanjut membaca
Lanjut membaca