

Bayangan Tirani dan Cahaya Fajar
Fajar pertama yang menembus celah benteng Kerajaan Angkara selalu membawa dua hal: harapan bagi rakyat, dan rasa takut bagi mereka yang hidup di bawah bayang-bayang Raja Tiran. Bagi seorang ksatria seperti diriku—Ardhan, putra dari keluarga yang tak pernah dikenal sejarah—fajar hanya berarti satu hal: satu hari lagi dalam pengabdian pada seorang tiran yang mampu memberikan kejayaan sembari menebar ketakutan.
Namun hari itu berbeda. Ada sesuatu dalam udara. Seolah semesta berbisik pelan di telingaku—sebuah panggilan yang tidak berasal dari dunia ini.
Aku terbangun lebih cepat dari biasanya, bahkan sebelum gong penjaga dibunyikan. Tenda para ksatria masih diselimuti kabut tipis, sementara api unggun semalam hanya menyisakan bara merah yang nyaris padam. Aku duduk, menatap kedua telapak tanganku. Dalam mimpi tadi malam, aku melihat mereka berubah menjadi cahaya, terpecah menjadi debu berwarna emas, lalu tersedot ke pusaran angin. Ketika bangun, telapak itu masih terasa hangat.
“Aneh…” gumamku.
Suara langkah mendekat. “Ardhan? Sudah bangun rupanya.”
Itu suara Rei, teman seperisai yang paling cerewet. Wajahnya bulat, namun seluruh tubuhnya kokoh seperti batu karang. “Kau selalu bangun lebih awal kalau mimpi buruk.”
“Aku tidak bilang aku punya mimpi buruk,” jawabku sambil berdiri.
“Ekspresimu membuktikannya,” katanya sambil menguap dan duduk di sebelahku. “Apa kali ini? Mayat di medan perang? Atau kau bertarung dengan iblis berapi lagi?”
Aku menggeleng. “Tidak. Justru lebih aneh dari itu…”
Tapi aku tidak melanjutkan. Sebab bagaimana menjelaskan mimpi yang terasa terlalu nyata, mimpi di mana aku berdiri di dunia yang asing—dengan bangunan tinggi yang menyentuh langit, cahaya-cahaya aneh, suara-suara logam yang melaju cepat? Dunia itu seperti masa depan, namun aku tidak pernah membayangkan bentuknya.
Rei menepuk bahuku. “Sudahlah. Hari ini Raja Tiran memanggil seluruh ksatria. Katanya akan ada pengumuman besar.”
“Pengumuman?” alisku terangkat. “Tentang apa?”
“Mana aku tahu?” Ia tertawa kecil. “Kau kira aku tangan kanan raja? Yang jelas, suasana istana kemarin tegang. Ada rumor bahwa seorang putri dari negeri jauh datang membawa ramalan.”
Rumor seperti itu bukan hal aneh. Dunia kini diliputi banyak ketakutan: pertanda langit merah, hujan meteor kecil, dan makhluk-makhluk gaib yang konon mulai terlihat di hutan utara. Namun Kerajaan Angkara tetap berdiri megah, terutama karena tangan besi Raja Tiran. Ia begitu keras hingga banyak yang membencinya, tapi ia jugalah yang membuat kita hidup dalam kejayaan.
Kami berdua bergegas menuju lapangan istana. Para ksatria sudah berkumpul, pedang mereka berkilau terkena cahaya fajar. Namun ketika Raja Tiran muncul, semuanya sunyi. Matanya tajam, auranya berat, dan seperti selalu—ada sesuatu dalam sorotnya yang membuat jantungku ingin mengecil.
Di belakangnya berjalan seorang perempuan. Rambutnya hitam jatuh seperti air malam, wajahnya halus, dan sorot matanya memancarkan kesedihan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Saat pandangannya bertemu pandanganku, aku merasakan gelombang aneh merambat melalui tubuhku—seolah aku mengenalnya. Padahal aku yakin belum pernah bertemu.
“Siapa dia…?” bisikku.
Rei menjawab pelan, “Itu Lyra. Putri dari Kerajaan Mudra. Katanya datang membawa pesan penting.”
Raja Tiran mengangkat tangannya. “Wahai para ksatria. Hari ini aku memperkenalkan Putri Lyra dari Mudra, pembawa ramalan langit merah. Ia datang dengan pesan yang tak boleh diabaikan.”
Pasanganku merinding. Ramalan? Langit merah? Aku teringat mimpiku.
Lyra maju dua langkah. Suaranya lembut namun bergetar. “Raja dan Para ksatria Angkara. Langit merah bukan sekadar pertanda. Dalam lima bulan ke depan, kerajaan ini akan menghadapi bencana—dan hanya satu jiwa yang mampu mencegahnya.”
Ia berhenti. Matanya kembali menatapku.
Tubuhku seolah membeku.
Ia kemudian menunduk pada Raja Tiran. “Jiwa itu… adalah seseorang yang terikat dengan waktu. Seseorang yang sudah hidup lebih dari satu kehidupan.”
Sorak-sorai kecil muncul. Rei menatapku. “Apa maksudnya? Reinkarnasi?”
Aku tidak menjawab. Napasku mulai berat. Perasaanku kacau.
Lyra melanjutkan, “Orang itu akan mengalami mimpi-mimpi dari masa depan, melihat kehidupan yang belum dijalani. Ia akan menjadi kunci.”
Raja Tiran mengepalkan tangan. “Dan siapa orang itu?”
Lyra mengangkat tangannya… menunjuk lurus padaku.
Seluruh lapangan hening.
“Aku?” bisikku.
Raja Tiran menatapku dengan mata yang tak dapat kubaca. “Ardhan, putra tanpa nama. Majulah.”
Aku melangkah dengan jantung berdenting seperti genderang perang.
Saat aku berdiri di hadapan Raja Tiran dan Putri Lyra, angin fajar bertiup. Rambut Lyra bergerak lembut. Dalam sedetik itu, matanya seperti menunjukkan kenangan yang bukan milikku: citra masa depan, kota-kota yang asing, perang-perang yang tidak pernah terjadi di kerajaanku, dan… kematianku. Banyak sekali. Berkali-kali.
Lyra berbisik begitu dekat, suaranya hanya untukku:
“Waktumu tidak linear, Ardhan. Kau sudah melalui lebih banyak kehidupan daripada yang kau bayangkan. Dan semua itu membawamu ke sini.”
Aku menelan ludah. “Siapa… aku… sebenarnya?”
Ia menatapku dengan mata yang berkabut namun penuh kasih. “Seseorang yang akan patah berkali-kali, mati berkali-kali, dan tetap hidup untuk mencari jawaban.”
Suara Raja Tiran menggema, “Ardhan! Mulai hari ini, kau akan menjadi pengawal pribadi Putri Lyra.”
Gelombang kejut memenuhi lapangan.
Aku memandang Lyra. Ia tersenyum tipis, seolah tahu apa yang akan datang.
Dan saat fajar naik sepenuhnya, aku merasakan sesuatu di dalam diriku terbangun—sebuah kekuatan kuno, sebuah takdir yang menunggu selama ribuan tahun.
Hari itu, tanpa aku ketahui… perjalanan panjang kehidupanku baru saja dimulai.