Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Sang Algojo Suci

Sang Algojo Suci

Dessy Kamal | Bersambung
Jumlah kata
77.7K
Popular
158
Subscribe
45
Novel / Sang Algojo Suci
Sang Algojo Suci

Sang Algojo Suci

Dessy Kamal| Bersambung
Jumlah Kata
77.7K
Popular
158
Subscribe
45
Sinopsis
PerkotaanSupernaturalGangsterMafiaKekuatan Super
Abhimana, seorang penjaga desa dengan masa lalu kelam sebagai Algojo Suci, berjuang menyeimbangkan sisi iblis dan kekuatan spiritualnya. Saat pasukan Surya Darah dan musuh legendaris Yama Pradipta muncul , ia harus melindungi desanya, warganya, dan kota dari kehancuran. Dengan api putih suci dan strategi brilian , Abhimana berubah menjadi Santo Api, simbol kekuatan, keadilan, dan penebusan. Namun, di balik kemenangan, bayangan misterius menanti, membuka jalan bagi ancaman baru yang lebih besar
Api yang Bangkit

Desa Asajaya adalah sebuah kebohongan yang Abhimana bisikkan pada dirinya sendiri setiap pagi.

Ia berbohong saat membelah kayu, berpura-pura kapak itu berat. Ia berbohong saat mengajari Raka, pemuda desa paling bersemangat, cara memasang perangkap, berpura-pura bahwa kesabaran adalah keahlian alaminya. Ia berbohong saat duduk di beranda, membiarkan angin lembah yang sejuk membersihkan keringatnya, berpura-pura ia merasa damai.

Tiga tahun ia hidup dalam kebohongan yang indah ini.

Tiga tahun sebagai Abhimana, si penjaga yang pendiam.

Malam ini, kebohongan itu terasa sangat nyata. Udara beraroma pinus dan asap dari balai desa, tempat para warga merayakan panen kecil. Suara tawa anak-anak terdengar seperti lonceng di kejauhan. Abhimana sedang memperbaiki jaring ikan di bawah cahaya bulan, ketika sebuah bayangan lembut jatuh di atasnya.

"Kamu melewatkan pestanya lagi," suara Saraswati terdengar.

Abhimana tidak perlu mendongak untuk tahu itu dia. Hanya Saraswati yang memiliki aura ketenangan seperti itu, aura yang terasa seperti air dingin di atas luka bakar. Ia adalah tabib desa, dan satu-satunya orang yang bisa menatap mata abu-abu Abhimana tanpa bergidik.

"Terlalu ramai," gumam Abhimana, jarinya yang tebal bekerja dengan simpul yang rumit.

"Kamu tidak bisa bersembunyi selamanya." Saraswati meletakkan mangkuk keramik di sebelahnya. Uap hangat beraroma jahe naik darinya. "Setidaknya minumlah ini. Angin malam semakin dingin."

Abhimana menatap mangkuk itu. Di dalamnya ada pantulan wajahnya: seorang lelaki berusia dua puluh delapan tahun dengan rambut hitam legam dan mata yang menyimpan terlalu banyak rahasia. Ia adalah seorang petani. Seorang penjaga.

"Terima kasih," bisiknya.

Saat itulah, suara siulan terdengar dari langit.

Itu bukan siulan burung malam. Itu adalah suara yang Abhimana kenal dari kehidupan lain. Suara sesuatu yang membelah udara dengan kecepatan mematikan.

Nalurinya berteriak sepersekian detik sebelum akal sehatnya bekerja.

"SARASWATI, TIARAP!"

Ia tidak mendorong. Ia menerjang perempuan itu, membanting tubuh mereka berdua ke tanah yang keras, tepat saat gerbang utama desa meledak.

BOOM.

Ledakan itu merobek malam. Kayu dan api terlontar ke udara. Tanah bergetar hebat. Mangkuk teh jahe pecah berkeping-keping. Jeritan tawa di balai desa berubah menjadi jeritan teror.

Melalui api di gerbang yang hancur, sosok-sosok hitam legam masuk. Mereka bukan perampok desa. Mereka bergerak dalam formasi, mengenakan pelindung tubuh, dan membawa senjata otomatis.

Dunia Abhimana terbelah menjadi dua: kebohongan yang damai, dan kebenaran yang berlumuran darah.

"Raka!" Abhimana melihat pemuda itu berlari keluar dari balai, membawa tombak berburu. Benda itu terlihat seperti senjata mainan melawan iblis.

"TIDAK! KEMBALI!" Abhimana berteriak.

Raka tidak mendengar. Ia melemparkan tombaknya. Senjata primitif itu memantul tak berbahaya dari pelindung dada seorang prajurit.

Prajurit itu bahkan tidak membidik. Ia mengangkat senapannya dari pinggul. Suara tembakan kering membelah udara.

TAK-TAK-TAK!

Dada Raka meledak dalam semburan darah. Mata pemuda itu melebar kaget, menatap Abhimana, seolah bertanya 'mengapa'. Ia jatuh ke lumpur.

Sesuatu di dalam dada Abhimana pecah. Kebohongan itu hancur.

"Abhimana ... apa ... siapa mereka?" Saraswati gemetar di bawahnya, wajahnya pucat pasi.

Abhimana bangkit. Ia mendorong Saraswati ke arah kegelapan di belakang rumah. "Bawa anak-anak. Bawa semua orang ke gua di belakang air terjun. JANGAN BERHENTI. LARI!"

"Bagaimana denganmu?"

Mata abu-abu Abhimana bertemu dengan mata cokelat Saraswati. Di matanya, perempuan itu tidak lagi melihat si penjaga yang pendiam. Ia melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang kuno dan dingin.

"PERGI!"

Tiga prajurit melihatnya. Mereka melihat target mudah, seorang lelaki tanpa senjata yang baru saja berteriak. Mereka berlari ke arahnya.

Abhimana tidak berpikir, bahkan ia tidak merasa. Tubuhnya mengambil alih. Eidetic Reflex yang telah ia tekan selama tiga tahun, kini bangkit memekik.

Dunia menjadi lambat.

Prajurit pertama mengayunkan popor senapan ke kepalanya. Abhimana menunduk, membiarkan momentum membawa prajurit itu ke depan. Tangan Abhimana melesat seperti ular, menyambar pisau tempur dari rompi si prajurit. Dalam satu gerakan cair, ia memutar tubuhnya, menggorok arteri di paha dalam prajurit itu.

Darah panas menyembur, membasahi tangan Abhimana.

Prajurit kedua menembak. Abhimana sudah bergerak, menggunakan tubuh prajurit pertama yang sekarat sebagai perisai. Peluru menghantam mayat itu. Abhimana menerjang ke depan, di bawah laras senapan, dan menghunjamkan pisau itu ke atas, menembus rahang bawah hingga ke otak.

Prajurit ketiga, melihat temannya mati dalam dua detik, mencoba mundur untuk mencari jarak.

Abhimana tidak memberinya kesempatan. Ia melemparkan pisau berlumuran darah itu. Pisau berputar sekali dan menancap tepat di celah pelindung leher. Prajurit itu jatuh, tercekik darahnya sendiri.

Tiga detik untuk tiga nyawa.

Abhimana berdiri di sana, terengah-engah. Darah menetes dari tangannya. Bau mesiu dan darah memenuhi hidungnya. Rasanya seperti pulang ke rumah yang sudah lama ditinggalkan. Sisi iblis di dalam dirinya tersenyum.

"BAKAR SEMUANYA!" sebuah teriakan terdengar dari alun-alun desa.

Api melahap rumah-rumah jerami. Pertempuran belum berakhir.

Abhimana merebut senapan serbu dari salah satu mayat. Logam dingin itu terasa pas di tangannya.

Ia memeriksa magasin senjata itu ayng ternyata masih penuh. Kini ia bukan lagi Abhimana, ia adalah Algojo Suci.

Ia bergerak menembus asap.

Dua prajurit sedang menendang pintu, mencoba menyeret keluar seorang ibu dan anaknya. Abhimana tidak berteriak. Ia mengangkat senapan. Dua tembakan terkontrol.

Bang bang

Dua lubang sempurna di belakang kepala mereka.

Sang ibu menatapnya dengan ngeri, tidak tahu apakah ia diselamatkan oleh manusia atau iblis.

Abhimana terus bergerak.

Desa Asajaya telah menjadi neraka. Darah menggenang di jalan setapak. Air mata para warga bercampur dengan debu. Ia melihat Atmara Saka, pemimpin pemuda desa, mencoba melawan dengan parang. Seorang prajurit mengarahkan senapan padanya.

BANG.

Abhimana menembak dari seberang lapangan. Peluru menghantam bahu si prajurit, memutarnya.

BANG. BANG.

Dua lagi di dada. Prajurit itu tumbang. Atmara Saka menatap Abhimana dengan bingung. Abhimana hanya mengangguk, sebelum menghilang kembali ke dalam bayang-bayang api.

Abhimana adalah hantu, dia adalah kematian dan dia ada di mana-mana. Dia membunuh dari atap, dari bawah lantai rumah panggung. Dia mematahkan leher di gang sempit di antara lumbung. Setiap gerakan adalah efisiensi brutal yang dipelajari dari Ordo Surya Hitam. Dia adalah mesin yang dibangun untuk satu tujuan: mengambil nyawa.

Para penyerbu, yang datang dengan persiapan militer, kini diburu oleh satu orang. Mereka mulai panik, mereka menembak bayangan.

"Dia di sana!"

"Dia di belakang kita!"

"Mundur! Mundur!"

Abhimana tak memberi kesempatan untuk mundur. Satu per satu, mereka tumbang di tangannya. Darah menodai kemeja petani itu, menjadikannya kain merah tua yang kaku. Tak ada rasa sakit, tak ada penyesalan, hanya api dingin yang terus membara di nadinya.

Dalam lima menit, keheningan kembali menyelimuti desa. Keheningan yang hanya dipecah oleh suara api yang melahap apa yang tersisa, dan tangisan pilu para korban selamat.

Dua belas penyerbu. Semuanya tewas.

Abhimana berdiri di tengah alun-alun desa yang hancur. Senapan di tangannya terasa berat. Asap mesiu menyesakkan. Dia melihat ke tangannya yang gemetar, yang berlumuran darah kental.

Tiga tahun kebohongan ... hancur dalam lima menit.

Lalu dia mendengarnya. Rintihan pelan dari dekat balai desa yang runtuh.

Itu bukan suara prajurit.

"Saraswati ..."

Jantungnya terasa seperti direnggut dari dadanya. Ia menjatuhkan senapan itu dan berlari.

Dia ada di sana. Tertimpa tiang kayu yang terbakar. Pakaian tabibnya robek, dan sepotong serpihan kayu besar yang tajam menancap di perutnya, menembus sisi tubuhnya. Darah menggenang di bawahnya.

Dia pasti terkena ledakan awal saat mencoba menolong para tetua di balai.

"Tidak ... tidak, tidak, tidak ..."

Abhimana berlutut, tangannya yang berlumuran darah gemetar hebat. Ia menggunakan kekuatan Algojonya untuk mengangkat tiang yang membara itu, melemparkannya seolah tak berbobot.

Wajah Saraswati pucat seperti mayat, bibirnya membiru. Mata indahnya meredup, tapi masih terfokus padanya.

"Abhimana ..." ia terbatuk, darah segar mengalir dari sudut bibirnya. "Anak-anak ... mereka aman ...?"

"Aku ... aku tidak tahu," Abhimana tergagap. Kepanikan dingin merayapinya, lebih menakutkan daripada dua belas prajurit tadi. "Jangan bicara. Aku akan mengobatimu. Kamu tabibnya, kamu tahu apa yang harus dilakukan ..."

Saraswati tersenyum lemah. Ia mengangkat tangannya yang gemetar, bukan ke lukanya, tapi ke wajah Abhimana. Jari-jarinya yang dingin menyentuh pipi Abhimana, menyeka noda darah Raka.

"Lihat dirimu ..." bisiknya, air mata menggenang di matanya. "Mereka ... mengubahmu kembali ... menjadi dia ..."

Kata-kata itu menghantam lebih keras dari peluru. Abhimana telah melepaskan iblis itu demi menyelamatkan mereka dan tetap gagal. Gagal melindungi satu-satunya orang yang pernah melihat manusia di balik dirinya.

Panas dan asin mulai membakar matanya, sesuatu yang asing, bahkan saat ia menuntaskan target terakhirnya untuk Ordo.

Satu tetes air mata jatuh dari mata abu-abunya. Lalu satu lagi.

Air mata Sang Algojo Suci jatuh ke wajah Saraswati yang pucat, bercampur dengan darahnya.

Kemarahan murni, liar, dan membakar lebih panas dari api yang melahap desa meledak dari dalam dirinya. Bukan kemarahan dingin milik pembunuh, melainkan amarah panas seorang lelaki yang telah kehilangan segalanya.

Dia merobek kemejanya, menekan luka Saraswati dengan putus asa, mencoba menahan kehidupan yang merembes keluar.

"Kamu tidak akan mati," geram Abhimana, suaranya rendah dan bergetar. Itu bukan doa. Itu adalah sumpah. "Dengar aku, Saraswati. Kamu tidak akan mati."

Dia memeluk perempuan itu erat, menatap api yang melahap desa yang seharusnya menjadi penebusannya. Di tengah darah dan air mata, Abhimana sang penjaga desa telah mati.

"Aku bersumpah," bisiknya pada angin yang berbau asap. "Aku akan melindungi tempat ini. Aku akan melindungimu."

Lanjut membaca
Lanjut membaca