

Di kota Batavia, hiduplah seorang pemuda tampan bernama Alex.
Kini usianya telah menginjak 25 tahun, dan tahun ini menjadi awal langkahnya menapaki karier sebagai agen detektif swasta.
Alex tinggal serumah bersama ibu tirinya, Luna, sejak kepergian ayah kandungnya beberapa tahun lalu.
Suatu ketika, Alex pernah bertanya pada Luna dengan nada heran, “Mama… kenapa masih mau merawatku? Ayah sudah tiada. Untuk apa Mama masih bertahan bersamaku?”
Luna hanya tersenyum lembut, lalu menjawab penuh kasih, “Alex, kau adalah peninggalan ayahmu, suamiku. Bagiku, kau adalah harta paling berharga yang masih kumiliki.”
Kasih sayang Luna kepada Alex begitu tulus, bahkan sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Namun, ada satu hal yang diam-diam kerap mengganggu pikiran Alex, usia Luna.
Sejatinya, Luna baru berusia 30 tahun. Ia dinikahi oleh ayah Alex ketika masih berumur dua puluh tahun, dan selama pernikahan itu mereka tidak dikaruniai keturunan.
Selain usianya yang tergolong muda, Luna juga memiliki pesona yang memikat. Tubuhnya ideal, proporsional, dan keanggunannya selalu mencuri perhatian siapa pun yang melihatnya.
Rambutnya hitam panjang, terurai lembut seperti sutra. Wajahnya menawan, lembut, dan nyaris tak menunjukkan tanda kedewasaan seorang ibu.
Kadang kala, pesona itu membuat Alex sulit menenangkan pikirannya sendiri, meski ia selalu berusaha menahan diri dan tetap menghormati Luna sebagai ibu tirinya.
.
.
.
Pagi itu, di hari pertamanya bekerja sebagai detektif swasta, Alex tengah bersiap di teras rumah.
Ia mengenakan sepatu pantofel hitam dengan sikap tenang dan penuh percaya diri.
Dari dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara lembut namun tergesa, “Alex…!”
Luna berlari kecil keluar sambil membawa sebuah kotak bekal makan siang.
Alex menoleh dan menghela napas kecil. “Mama, sudahlah… jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Aku sudah dewasa, Ma. Bukan pelajar sekolah lagi. Aku malu kalau terus diperlakukan seperti ini.”
Alih-alih tersinggung, Luna justru tersenyum manis. Ia berjongkok di hadapan Alex, mengusap lembut rambut putra tirinya itu. “Hmm… anak Mama sudah dewasa, ya?” katanya lembut, suaranya penuh kasih sayang.
“Tapi Mama tidak mau kamu jajan sembarangan di luar. Jadi… biar Mama bawakan bekal ini, ya.”
Tanpa memberi kesempatan untuk menolak, Luna menaruh kotak bekal itu di tangan Alex.
Sesaat, pandangan Alex tak sengaja terarah pada belahan dada Luna yang tampak samar dari balik daster yang dikenakannya.
Wajahnya seketika menegang, ia buru-buru mengalihkan pandangan dan menepis pikiran yang mulai mengusik benaknya. “Sudahlah… aku berangkat dulu,” ucapnya cepat, lalu melangkah pergi meninggalkan teras.
Luna hanya terdiam menatap punggung Alex yang menjauh.
Dalam hatinya, ia bergumam lirih, “Selama ini… Alex tak pernah sungkem kepadaku.”
Namun senyum kecil kembali menghiasi bibirnya. “Mungkin dia hanya malu,” bisiknya pelan, sebelum akhirnya berbalik masuk ke dalam rumah.
.
.
.
Kantor detektif swasta.
Sesampainya di kantor detektif swasta tempatnya bekerja, Alex langsung disambut oleh sahabat lamanya, Doni.
Meskipun usia Doni satu tahun lebih tua, keduanya sudah berteman sejak kecil. Hubungan mereka bahkan sudah seperti saudara sendiri.
“Pagi, Brother!” sapa Doni sambil menepuk bahu Alex dengan santai.
“Pagi, Don,” jawab Alex sambil tersenyum.
“Sudah siap untuk hari pertamamu?” tanya Doni dengan nada menggoda.
“Tentu saja. Aku harus selalu siap,” balas Alex mantap.
Mereka berdua berjalan menuju ruang kerja, berbincang ringan sambil menikmati suasana pagi kantor yang belum terlalu ramai.
Kantor detektif tempat mereka bekerja itu tidak besar, hanya diisi oleh beberapa personel, tapi setiap orang memiliki keahlian khususnya masing-masing.
“Doni, meski kau baru dua tahun bekerja di sini, namamu sudah cukup terkenal, ya,” puji Alex tulus.
Doni tersenyum kecil, lalu menjawab, “Aku berusaha keras untuk sampai di titik ini, Lex. Aku yakin kau juga bisa. Kau punya insting bagus.”
Alex tertawa ringan. “Kau memang sahabat terbaikku. Bukan cuma mengenalkanku pada pekerjaan ini, tapi juga terus memberi arahan yang berguna.”
“Tenang saja, Bro,” sahut Doni sambil kembali menepuk bahunya. “Kita satu tim.”
Belum sempat percakapan mereka berlanjut, pintu ruangan terbuka.
Seorang wanita melangkah masuk. Lexi, detektif senior di kantor itu.
Usianya sekitar tiga puluh tahun, namun pesonanya sama sekali tidak pudar. Rambut panjang berwarna perak-putih terurai lembut di bahunya, menambah kesan anggun sekaligus memikat. Penampilannya rapi, tapi tetap menyiratkan daya tarik yang sulit diabaikan.
Lexi berjalan mendekat, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit di depan Alex.
Gerakannya membuat Alex gugup, wajahnya langsung memanas saat matanya menangkap sedikit lekuk dari belahan dada wanita itu.
Dengan senyum tipis dan nada lembut menggoda, Lexi berbisik, “Kau… anak baru di sini, ya?”
Sebelum Alex sempat menjawab, Doni segera menimpali, “Lexi, jangan mengintimidasi anak baru.”
Lexi menoleh padanya dan tersenyum genit. “Mengintimidasi? Aku tidak pernah mengintimidasi pria manis yang menarik perhatianku,” ujarnya santai, lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan dengan aroma parfumnya yang samar.
Alex hanya bisa diam mematung, menatap punggung Lexi yang menjauh. Jantungnya masih berdebar cepat.
“Kalau kau butuh sesuatu, datang saja ke ruanganku,” ucap Doni, memecah keheningan. “Kantorku di bagian belakang.”
“Baik, Don,” jawab Alex singkat.
Setelah Doni juga pergi, Alex menghela napas panjang. Ia bersandar di kursi kerjanya sambil menatap langit-langit. “Baru hari pertama… tapi jantungku sudah dibuat berdebar oleh senior secantik itu,” gumamnya pelan.
.
.
.
Pukul 18.30.
Alex berjalan pelan menyusuri kompleks perumahan menuju rumahnya.
“Baru hari pertama kerja saja… rasanya sudah sangat melelahkan,” gumamnya lirih sambil menghela napas panjang.
Begitu tiba di depan rumah, suasananya terasa sunyi.
Ia lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
“Kenapa sepi? Di mana Mama?” katanya pelan, sembari menatap ke arah ruang yang temaram.
Tiba-tiba, Luna muncul dari arah kamar mandi. Tubuhnya hanya dibalut handuk mini putih yang nyaris tidak menutupi tubuhnya. Uap lembap masih melekat di kulitnya yang putih mulus, dan rambutnya yang basah menjuntai hingga ke dada besarnya yang menyembul.
Alex refleks terdiam. Seketika napasnya terasa berat, dan ia berusaha keras mengalihkan pandangan.
“Anak Mama sudah pulang?” sapa Luna lembut dengan senyum yang hangat. Lalu mendekati Alex.
Ketika Luna berdiri tepat di hadapannya. Alex segera menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Ma… aku sudah bilang, aku ini sudah dewasa,” ucapnya cepat, berusaha terdengar tenang.
Luna hanya tersenyum kecil, seolah tak memahami kegugupan itu. Ia mengambil kotak bekal dari tangan Alex, lalu berkata lembut, “Kau pasti lelah. Mandi dulu, ya. Mama siapkan makan malam untukmu.”
Sebelum berbalik, ia sempat mencium pipi Alex dengan lembut, yang justru membuat dada Alex semakin sesak. Tanpa ia sadari ada sesuatu yang bangkit dari balik celananya.
Setelah Luna berlalu, Alex hanya berdiri mematung. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah menuju kamarnya.
Di dalam kamar, ia langsung merebahkan diri di atas kasur, menatap kosong ke langit-langit.
“Kalau terus begini… aku tidak akan bisa menahan diri lagi,” batinnya bergolak.
“Tidak… dia itu Mamaku. Aku harus bisa menahan diri.”
Kepalanya terasa penuh, jantungnya berdegup kencang, sebuah dilema yang menyesakkan antara batas dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh.