Lima orang perempuan warga desa Kedhung Jati nampak duduk berbaris di teras rumah Yu Marni sambil petan(mencari kutu), saat sebuah mobil pick up melintas di jalanan depan rumah itu. Seperangkat sofa tersusun di bak belakang. Sementara di jok depan, nampak Mbah Soma duduk disamping pengemudi. Asap tebal mengepul dari debu debu jalanan yang berterbangan saat dilintasi oleh mobil itu, untuk kemudian hinggap di rambut para perempuan yang sedang petan di teras rumah Yu Marni.
"Wah, Mbah Soma mborong lagi tuh," celetuk Yu Darmi, salah satu dari perempuan itu.
"Iya. Enak dia itu. Duitnya banyak. Hampir tiap bulan ngeborong. Belum lama kemarin beli lemari, sekarang sudah mborong sofa lagi," sahut Yu Menuk.
"Iya, enak banget ya hidupnya Mbah Soma. Dia itu nganggur, tapi duitnya banyak," Yu Sumi ikut menimpali. "Aku jadi curiga, jangan jangan...."
"Jangan jangan apa Yu?" tanya yang lain hampir serempak.
"Jangan jangan Mbah Soma itu miara pesugihan," jawab Yu Sumi setengah berbisik.
"Hush! Jangan sembarangan kalau ngomong Yu! Ndak enak kan kalau kedengaran orang," tukas Yu Marni mengingatkan.
"Iya, bisa jadi kasus kalau Mbah Soma denger dan ndak terima," timpal Yu Sunthi.
"Ya aku curiga saja sih," Yu Sumi masih kekeuh dengan pendapatnya. "Coba kalian pikir, Mbah Soma itu kerja enggak, punya sawah atau ladang juga enggak, buruh macul juga ndak pernah. Kerjanya tiap hari cuma ongkang ongkang dirumah, dengerin uyon uyon sambil nyethet'in perkutut perkutut piaraannya. Dapat duit darimana coba, sampai tiap bulan mborong perabotan gitu, kalau nggak hasil dari ngepet!"
"Lha kan anak anaknya yang kerja di kota sana udah pada kaya Yu," ujar Yu Sumi. "Pasti tiap bulan juga kirim duit buat bapaknya."
"Halah Yu Yu, anak jaman sekaeang lho, kalau udah sukses, mana ada yang ingat sama orang tua. Apalagi udah pada berkeluarga. Kalaupun kirim duit juga paling sekedarnya saja, cuma cukup buat makan," Yu Sumi yang memang berlidah tajam itu membantah.
"Eh, tapi kalau dipikir pikir, ada benarnya juga sih kata kata sampeyan itu Yu," Yu Sunthi sepertinya mulai termakan ucapan Yu Sumi. "Belakangan ini kan desa kita mulai ndak aman. Banyak warga yang bilang kalau sering kehilangan uang secara misterius."
"Misterius gimana maksudnya Yu?" lagi lagi hampir serempak para perempuan itu bertanya.
"Ya misterius. Misalnya nih ya, kita naruh uang tiga lembar di dompet, nah, tiba tiba yang dua lembar ndak ada, ilang ndak tau kemana. Padahal uang dan dompet itu kita simpan di lemari. Kan aneh itu namanya. Kalau orang yang nyolong, pasti diambil semua to uangnya, bahkan mungkin sama dompet dompetnya dibawa. Lha ini cuma sebagian saja yang ilang."
"Nah, itu. Sudah jelas itu. Pasti itu ulah pesuguhan piaraan Mbah Soma," seru Yu Sumi penuh semangat.
"Hush! Jangan keras keras Yu ngomongnya!"
"Iya, ndak enak kalau didrngar orang."
"Tapi gawat juga ya kalau beneran begitu. Aku jadi khawatir."
"Iya, mulai sekarang harus hati hati kalau nyimpen duit."
"Betul itu. Kalau enggak, bisa bisa raib uang kita digondol pesugihannya Mbah Soma."
"Kalau bisa sih, kalau nyimpen duit dikasih syarat Yu, biar ndak diambil sama makhluk yang begituan."
"Syarat apa yu?"
"Kata orang sih, di dalam dompet tempat kita naruh uang harus dikasih bla bla bla......"
Obrolan emak emak itu terus berlanjut hingga sore menjelang, sebelum akhirnya mereka membubarkan diri karena suami suami mereka yang baru pulang dari sawah berteriak teriak memanggil nama mereka.
Tak jauh berbeda dengan para emak emak desa Kedung Jati yang petan di teras rumah Yu Marni, obrolan bapak bapak yang mendapat jatah ronda di poskamling malam itu juga tak jauh jauh dari isu hilangnya uang beberapa warga yang misterius. Dan lagi lagi, kata 'pesugihan' kembali beberapa kali diucapkan, meski kali ini tanpa embel embel nama Mbah Soma.
"Sepertinya percuma saja kita ronda tiap malam Kang, toh masih saja ada warga yang mengaku kecolongan," kata Kang Dikin memulai percakapan.
"Lha iya, wong namanya pesugihan itu kan makhluk halus. Mau kita rondain tiap malam juga percuma. Tetep saja mereka bisa beraksi," sahut Kang Sukri sambil meracik rokok tingwenya.
"Sepertinya kita harus memikirkan cara lain untuk menjaga keamanan desa kita ini Kang," Lik Mukri ikut menimpali.
"Cara lain gimana maksudmu Lik?" tanya Kang Darmo penasaran.
"Kita cari orang pintar saja Kang," celetuk Kang Bejo.
"Orang pintar? Dukun gitu maksudmu?" tanya Kang Dikin.
"Ya semacam itulah, pokoknya orang yang bisa mengatasi masalah gaib seperti ini," jawab Kang Bejo.
"Jaman sekarang, mau nyari kemana orang yang seperti itu Kang," kata Lik Mukri pesimis.
"Halah, gampang kalau cuma soal seperti itu. Serahkan saja padaku. Ditanggung beres pokoknya," Lik Mitro yang semenjak tadi hanya diam ikut bicara.
"Memangnya sampeyan bisa?" hampir serempak bapak bapak itu bertanya.
"Weh, jangan meremehkan saya Kang. Sampeyan lupa to siapa saya? Mitro Nggedebus, dukun yang sudah kesohor di seantero Kedhung Jati!" ujar Kang Mitro membanggakan diri.
"Halah, kesohor apanya, lha wong dulu aja sampeyan ngobatin Mbah Marto yang kata sampeyan kena guna guna itu, bukannya sembuh malah mati gitu kok," Kang Darmo setengah meledek.
"Itu bukan salah saya," Kang Mitro membela diri. "Syarat yang disediakan keluarga Mbah Marto yang nggak lengkap, mangkanya saya gagal."
"Itu kan alesan sampeyan saja to Kang. Kalau memang sampeyan bisa, ndak usah banyak omong deh. Buktikan saja kalau sampeyan bisa ngatasin masalah pesugihan di desa ini, baru kami akan percaya," ujar Lik Mukri.
"Bener tuh, sampeyan buktikan saja. Kalau bener sampeyan bisa ngatasi masalah pesugihan ini, kambing saya yang jantan itu boleh sampeyan tuntun pulang," imbuh Kang Darmo.
"Wah, sampeyan ini semua sepertinya meremehkan saya ya. Lihat ya, lihat saja, besok saya buktikan, kalau saya bisa nangkep pesugihan yang meresahkan warga itu. Dan kamu Kang Darmo, kuingat kata katamu ya, kambing jantanmu itu nanti bakalan jadi milik saya," Kang Mitro yang kesal karena merasa diremehkan lalu beranjak pergi.
"Weh, malah mutung!" celetuk Kang Dikin, yang segera disambut dengan gelak tawa oleh yang lain, membuat hati Kang Mitro semakin panas.
"Asem tenan! Pada meremehkan aku ya kalian. Lihat saja, akan kubuktikan besok," gerutu Kang Mitro sambil berjalan menjauh. Sebuah ide lalu melintas di kepalanya, membuat laki laki itu tersenyum samar.