Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Smart System : Dari Nol Jadi Jenius

Smart System : Dari Nol Jadi Jenius

Cainn44 | Bersambung
Jumlah kata
103.7K
Popular
299
Subscribe
39
Novel / Smart System : Dari Nol Jadi Jenius
Smart System : Dari Nol Jadi Jenius

Smart System : Dari Nol Jadi Jenius

Cainn44| Bersambung
Jumlah Kata
103.7K
Popular
299
Subscribe
39
Sinopsis
PerkotaanSekolahSi GeniusSistemCinta Sekolah
Dimas, seorang remaja kelas 1 SMP yang hidup sederhana dan sering menjadi korban bully di sekolah, menjalani hari-hari berat tanpa teman. Hidupnya berubah drastis saat suatu hari dia dihajar hingga pingsan oleh Aldi, ketua geng pembully di sekolahnya. Saat tersadar, Dimas mendapati dirinya mendapatkan sebuah sistem misterius yang akan meningkatkan IQ-nya setiap kali ia berhasil menyelesaikan misi tertentu.
1

Di sebuah kota kecil yang berada di pinggiran Jawa Tengah, tepatnya di daerah bernama Sukaraja, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Dimas Prasetyo. Dimas, atau biasa dipanggil Dim oleh teman-teman dekatnya, adalah seorang anak berusia 12 tahun yang baru saja duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Kehidupan Dimas bisa dibilang jauh dari kata mewah, tapi bukan berarti ia hidup dalam kekurangan yang menyakitkan. Ia adalah anak dari pasangan suami-istri sederhana yang sehari-hari harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keluarga kecil mereka.

Ayah Dimas, Pak Suyono, adalah seorang tukang kayu yang bekerja di sebuah bengkel mebel milik orang kaya di kampung sebelah. Sejak muda, Pak Suyono memang dikenal sebagai orang yang terampil dalam urusan mengolah kayu. Tangannya cekatan membuat berbagai macam perabotan rumah, mulai dari kursi, meja, hingga lemari. Walaupun begitu, penghasilannya tak seberapa. Kadang, jika sedang banyak pesanan, ia bisa membawa pulang sedikit lebih banyak uang untuk kebutuhan dapur. Tapi, jika sebaliknya, ia harus rela berutang ke warung Bu Sarti, warung kecil di pojok gang, tempat biasa orang kampung mengambil sembako dengan sistem bon yang dicatat di buku lusuh.

Sementara itu, ibu Dimas, Bu Rini, adalah seorang ibu rumah tangga yang juga membantu keuangan keluarga dengan berjualan gorengan di depan rumah. Setiap sore, selepas salat Ashar, ia akan menggelar dagangannya di atas meja kayu kecil yang sudah mulai rapuh di teras rumah. Ada tempe mendoan, bakwan, tahu isi, dan pisang goreng. Pelanggan Bu Rini kebanyakan anak-anak kecil yang baru pulang mengaji atau orang-orang kampung yang lewat sehabis kerja. Walaupun hasil jualannya tak banyak, paling banter hanya cukup untuk membeli beras atau lauk sederhana keesokan harinya, tapi itu sudah cukup membantu meringankan beban suaminya.

Rumah Dimas pun tak bisa dibilang besar. Bangunannya sederhana, berdinding tembok setengah bata dan papan di bagian belakang, dengan atap genteng merah yang sebagian mulai bocor saat musim hujan. Halaman depannya hanya selebar dua meter, ditanami beberapa pot tanaman lidah mertua dan bunga kertas milik ibunya. Dimas tidur sekamar bersama adiknya, Nisa, yang baru berumur lima tahun. Sementara orang tuanya tidur di kamar satunya lagi, yang letaknya berdempetan dengan dapur kecil di bagian belakang.

Meski hidup dalam kesederhanaan, keluarga Dimas adalah keluarga yang hangat. Mereka tak pernah melewatkan waktu makan malam bersama, meski hanya dengan lauk tempe goreng dan sambal terasi. Suasana rumah yang sederhana itu terasa hidup dengan canda tawa, obrolan ringan, dan saling bercerita tentang kejadian-kejadian seharian.

Dimas sendiri adalah anak yang cerdas dan pendiam. Di sekolahnya, ia jarang membuat keributan, tapi dikenal sebagai murid yang rajin dan suka membaca buku di perpustakaan. Cita-citanya adalah menjadi seorang insinyur, agar suatu saat bisa membangun rumah yang lebih layak untuk orang tuanya. Ia sering berkata dalam hati, “Kalau nanti aku sudah kerja, aku ingin beliin Bapak bengkel kayu sendiri, biar nggak kerja sama orang. Terus Ibu juga bisa jualan di kios, bukan di depan rumah kayak sekarang.” Impian-impian sederhana itu yang membuat Dimas tak pernah mengeluh, meski sering harus memakai sepatu bolong atau seragam yang mulai pudar warnanya.

Teman-teman Dimas di sekolah juga tahu betul bagaimana kondisi keluarganya. Tapi untungnya, di sekolah kampung itu, anak-anaknya tak pernah terlalu memandang harta. Dimas punya dua orang sahabat dekat, yaitu Andi dan Raka. Mereka bertiga selalu berangkat sekolah bersama dengan naik sepeda tua. Sepeda Dimas peninggalan pamannya yang sudah almarhum. Catnya sudah banyak yang mengelupas, dan belnya pun tak berbunyi lagi. Tapi bagi Dimas, itu bukan soal. Yang penting bisa dipakai buat berangkat sekolah.

Setiap pagi, Dimas membantu ibunya menyiapkan dagangan. Ia biasa mengupas pisang, memotong tempe, atau sekadar membersihkan meja kayu di teras. Setelah selesai, ia baru berangkat sekolah, biasanya pukul setengah tujuh pagi. Perjalanan ke sekolah membutuhkan waktu sekitar lima belas menit dengan bersepeda. Di sepanjang jalan, Dimas sering kali bertemu dengan petani-petani yang berangkat ke sawah, atau pedagang sayur yang mendorong gerobak.

Pelajaran favorit Dimas adalah Matematika. Ia suka hitung-hitungan dan soal-soal logika. Bahkan, di rumahnya, ia sering membuat soal sendiri di buku tulis bekas yang sudah terisi separuh. Guru Matematika di sekolahnya, Bu Yani, sering memujinya karena cepat tanggap dan teliti. “Dimas ini anaknya cermat. Kalau terus belajar, kamu bisa ranking satu, Mas,” begitu kata Bu Yani suatu kali di depan kelas.

Namun, meski demikian, Dimas juga punya sisi rapuh. Ia kadang merasa iri melihat teman-temannya yang bisa jajan di kantin sekolah tanpa harus berpikir dua kali. Ia hanya diberi uang saku lima ratus rupiah setiap hari, cukup untuk membeli sepotong gorengan di warung depan sekolah. Karena itu, Dimas lebih sering membawa bekal dari rumah, biasanya nasi bungkus sederhana berisi telur dadar atau tempe orek. Tapi anak itu tak pernah mengeluh, sebab ia tahu betapa susahnya orang tuanya mencari uang.

Ayahnya sering berpesan, “Hidup itu nggak perlu mewah, Mas. Yang penting hati kita bersih, kerja keras, dan jangan suka iri sama orang.” Kata-kata itulah yang selalu diingat Dimas saat hatinya mulai merasa kecil karena keterbatasan.

Selain itu, ada satu lagi yang membuat Dimas istimewa. Ia sangat suka menulis. Diam-diam, ia punya buku tulis khusus tempatnya menulis cerita-cerita pendek tentang kehidupan di kampungnya. Kadang tentang seorang anak kecil yang membantu ayahnya di ladang, kadang tentang seekor kucing liar yang ditolong anak-anak kampung, atau tentang petualangan anak sekolah di hutan belakang desa. Buku itu ia sembunyikan di bawah bantal, takut kalau ketahuan adiknya yang masih kecil dan suka mencoret-coret buku orang.

Dimas memang bukan anak yang suka banyak bicara, tapi pikirannya penuh dengan cerita dan impian. Ia membayangkan suatu hari, cerita-cerita buatannya bisa dibukukan, dan namanya tercetak di sampul depan. Ia ingin membuktikan bahwa anak dari keluarga sederhana pun bisa bermimpi besar, dan tidak selamanya kekurangan jadi penghalang untuk meraih sesuatu.

Malam hari adalah waktu favoritnya. Saat seluruh kampung mulai sepi, suara jangkrik terdengar dari halaman belakang, dan lampu minyak di dapur mulai redup. Di saat itulah Dimas duduk di atas dipan kayu kecil di kamarnya, menulis di bawah cahaya lampu temaram. Menuliskan cerita tentang hari itu, tentang mimpinya, dan tentang orang-orang yang ditemuinya. Sebuah kebiasaan yang membuatnya merasa dunia yang berat ini sedikit lebih ringan.

Itulah Dimas Prasetyo, anak kelas 1 SMP dari keluarga sederhana, dengan impian sederhana, dan hati yang besar. Seorang anak yang mungkin di mata orang lain hanyalah bocah kampung biasa, tapi di dalam dirinya, tersimpan keteguhan dan semangat yang tak kalah besar dari anak-anak kota yang lebih beruntung. Karena Dimas percaya, asal mau berusaha dan terus bermimpi, suatu hari nanti hidupnya pasti bisa berubah.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca