Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Eclipsia: Mereka yang Bangkit dari Kematian

Eclipsia: Mereka yang Bangkit dari Kematian

Semesta Yoru | Bersambung
Jumlah kata
48.6K
Popular
100
Subscribe
10
Novel / Eclipsia: Mereka yang Bangkit dari Kematian
Eclipsia: Mereka yang Bangkit dari Kematian

Eclipsia: Mereka yang Bangkit dari Kematian

Semesta Yoru| Bersambung
Jumlah Kata
48.6K
Popular
100
Subscribe
10
Sinopsis
FantasiSci-FiZombieMayatSci-Fi
Eclipsia, kota metropolitan paling maju di benua Elyndor, diserang dalam semalam oleh makhluk-makhluk tak bernyawa setengah membusuk yang dulunya adalah manusia. Namun mereka bukan zombie biasa. Mereka dikendalikan oleh kekuatan kuno, bangkit dari reruntuhan sejarah masa lalu. Di tengah kekacauan ini, Julius Randle, mantan jenderal perang dari abad pertengahan yang hidup kembali berkat eksperimen cryostasis pemerintah, terbangun. Ia adalah bagian dari proyek rahasia bernama Legacy Unit, yang menyimpan para prajurit masa lalu untuk “jaga-jaga”. Dunia tak pernah menyangka bahwa mereka akan dibutuhkan. Dunia modern tak lagi mengenal taktik perang kuno. Tapi Julius tahu: ini bukan hanya serangan biologis, tapi kutukan perang lama yang belum selesai.
Malam Kematian Eclipsia

Malam itu, Eclipsia tidak dibungkus bintang atau bulan, tapi oleh hujan abu yang jatuh seperti salju kelam.

Langit menggantung seperti lembaran besi cair, menekan kota futuristik yang tak lagi terasa hidup. Lampu-lampu jalan meredup satu per satu, berkedip seolah tak sanggup menahan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar gangguan listrik—seolah menyadari apa yang sedang turun dari langit.

Di distrik Southspire, layar hologram raksasa yang biasa menampilkan iklan mode terbaru dan berita politik meledak mendadak. Suaranya kecil, seperti letusan popcorn, tapi cukup untuk membungkam ratusan orang yang tengah menikmati festival malam itu.

Warna-warna terang padam, menyisakan suara gemuruh rendah yang menggema entah dari mana.

Seorang wanita tua menjatuhkan permen gula yang baru dibelinya. Anak-anak berhenti berlari. Para penjaga pasar saling memandang, bingung, gelisah.

Lalu, terdengar suara. Seperti jeritan. Bukan dari manusia.

“Apaan itu?” gumam seorang bocah lelaki sambil menunjuk ke langit, matanya membelalak, tubuhnya menggigil meski suhu masih hangat.

Dari kelam di atas awan, tubuh pertama jatuh.

BRUK!

Suara tulang yang remuk menghantam batu. Kepala yang terpelintir aneh. Tubuhnya utuh, tapi posisinya salah—persendian terbalik, dada terbuka seolah diremukkan dari dalam.

“Ya Tuhan…” bisik seorang ibu sambil mundur, menarik anaknya menjauh.

"Ibu ... aku takut!" Seorang bocah berlari dalam pelukan ibunya yang tak kalah menunjukkan kengerian yang sama.

Lalu, seperti hujan yang memecah bendungan, tubuh-tubuh lain mulai berjatuhan. Sepuluh. Dua puluh. Ratusan.

Makhluk-makhluk itu tidak hanya mati. Mereka kembali.

Beberapa masih mengenakan seragam. Beberapa telanjang dengan kulit yang hangus, seperti baru keluar dari kobaran api. Tapi yang paling mengerikan adalah mata mereka—menyala kehijauan, seperti lentera dari dunia lain.

Mereka berdiri perlahan. Tidak terhuyung. Tidak mengerang. Menuju pusat keramaian yang kacau-balau dalam sekejap.

Mereka bernyanyi.

Bukan lagu dengan kata. Tapi suara rendah yang menggetarkan dada, seolah tulang rusuk beresonansi bersama nyanyian itu.

Beberapa orang langsung berlutut, memegangi telinga mereka sambil menangis. Yang lain terpaku, mata kosong, berdiri seperti boneka rusak.

Lagu itu tidak butuh melodi. Lagu itu adalah pemanggilan.

*/*/

Tiga blok dari sana, Naomi Varrin baru saja turun dari transportasi udara pribadinya. Rambutnya yang diikat tinggi tampak rapi, meski mata lelahnya menyiratkan shift kerja yang terlalu panjang.

Ia baru hendak mengaktifkan pintu otomatis apartemen ketika notifikasi berwarna merah menyala di lensa digitalnya.

“PERINGATAN BIOLOGIS.”

“SEMUA WARGA DIHARAPKAN TETAP DI TEMPAT DAN MENUNGGU TIM PENGAMAN.”

Naomi menggertakkan gigi. “Apa lagi ini?” gumamnya, sambil men-tap panel pengaman. Layar menunjukkan error. Sinyalnya kacau.

Pemberitahuan dari pusat kota menyusul. Satu suara rekaman, terdengar terputus-putus:

“Tidak ada lagi yang tersisa di Gedung Pemerintahan. Mereka… masuk dari bawah tanah. Kami tidak—”

Klik.

Layar mati. Kehilangan sinyal.

Naomi menahan napas. Lalu, dari ujung lorong, terdengar sesuatu.

Bukan langkah manusia. Tapi cakaran. Gesekan.

Bau tanah basah dan besi memenuhi udara.

“Ada orang di sana?” suara seorang pria terdengar lirih dari unit sebelah.

“Diam!” bisik Naomi tajam, menekan tombol pintu berulang-ulang, panik.

Terlambat.

Suara dentuman datang dari balkon tetangganya. Kaca pecah. Teriakan pendek. Lalu sunyi.

Naomi membalik badan. Sosok itu melompat ke balkon miliknya—makhluk kurus, matanya menyala, tubuhnya memar hitam dengan darah yang mengalir seperti lumpur.

Refleks, Naomi berlari ke dapur. Tangannya gemetar saat mengambil pisau laser. “Jangan dekat-dekat! Aku—AKU PERINGATKAN!”

Makhluk itu mendesis. Rahangnya patah, terbuka ke arah yang tak mungkin. Naomi menusukkan pisau laser ke dadanya—sekali, dua kali, sampai suara terbakar terdengar.

Makhluk itu roboh… lalu merangkak lagi. Dari punggungnya, tulang mencuat seperti sayap patah. Mulutnya tidak mengerang—tapi menyanyikan nada rendah yang membuat Naomi ingin muntah.

Dia menjerit. Dan lari.

Tangga darurat. Lorong. Bayangan. Mayat hidup lain mulai muncul di ujung gang, merayap keluar dari celah-celah tak masuk akal—saluran air, celah lift, bahkan dari bawah lantai kayu yang retak.

Kota itu mulai dimakan dari dalam.

*/*/

Jauh di bawah tanah, di bawah bangunan penelitian tua yang ditinggalkan, silinder besi seukuran kontainer kapal mulai menyala. Cahaya redup menari di dinding, menyinari ukiran kuno dengan simbol-simbol yang tak bisa dibaca manusia.

Alarm mekanik aktif.

PROSEDUR: DARURAT KELAS SIGIL MERAH.

Desisan uap terdengar, diikuti suara logam yang beradu.

Pintu silinder bergetar. Lalu terbuka. Perlahan.

Dari dalamnya, sosok itu muncul.

Julius Randle.

Tinggi. Tegap. Kulitnya ditutupi bekas luka yang tidak pernah sembuh sempurna. Napas pertamanya seperti menyedot seluruh udara dalam ruangan. Matanya tertutup, namun jantungnya berdetak pelan—kuat. Teratur.

Sistem mulai membisikkan data:

TANGGAL PENGAKTIFAN: 400 TAHUN TERLAMBAT.

STATUS: STABIL.

MISI: PENGHENTIAN ENTITAS SIGIL.

Uap es memenuhi ruangan. Simbol-simbol di dinding bergetar samar.

Lalu, mata Julius terbuka.

Tidak ada kebingungan. Tidak ada ketakutan.

Hanya kesadaran. Bahwa perang belum selesai. Bahwa dunia di luar sana memanggilnya kembali, bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai satu-satunya penjaga dari kehancuran yang pernah dibangkitkannya sendiri.

Tangannya meraih baju lapis besi di samping tabung. Di balik sakunya, satu benda kecil bersinar: sebuah liontin dengan simbol naga bercakar enam.

Ia menoleh ke dinding terminal.

Dalam bahasa kuno yang telah punah, satu kalimat terpampang, menyala merah:

“KETIKA YANG TERKUBUR BANGKIT, SANG PENGGENGGAM SIGIL HARUS BERDIRI KEMBALI.”

Julius berjalan ke arah pintu baja yang mulai terbuka otomatis.

Dan di kejauhan, dari dunia yang telah berubah, lagu itu masih terdengar… semakin kuat.

Perang ini bukan antara hidup dan mati. Tapi antara jiwa dan kehampaan.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca