Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Raga Pengganti

Raga Pengganti

Ahda Noor | Bersambung
Jumlah kata
24.3K
Popular
100
Subscribe
5
Novel / Raga Pengganti
Raga Pengganti

Raga Pengganti

Ahda Noor| Bersambung
Jumlah Kata
24.3K
Popular
100
Subscribe
5
Sinopsis
PerkotaanSupernaturalKekuatan SuperBela DiriSupernatural
Arman ‘Banteng’ Pradipta, pemimpin geng kriminal paling ditakuti, terjebak dalam koma setelah diracun. Saat tubuhnya terbaring tak berdaya, jiwanya justru terbangun di tubuh seorang remaja SMA bernama Raka Ardian Wicaksana, siswa lemah yang menderita kanker dan kerap dibully.Terperangkap di dunia yang asing, Arman menemukan jalan menuju 'padang rumput', tempat kultivasi jiwa dilakukan. Dibimbing oleh leluhurnya, Rakmadipra Pradipta, ia harus menyatukan tubuh dan roh untuk bertahan hidup.Jika gagal, jiwanya akan lenyap. Jika berhasil, Arman akan menghadapi pilihan, menjadi Raka dengan hidup baru, atau kembali sebagai dirinya yang lama, menuntaskan dendam dan masa lalu yang belum selesai.
Sinar yang Redup

Langit pagi tampak muram, seakan turut merasakan kegelisahan seorang anak laki-laki yang berjalan perlahan menyusuri trotoar menuju gerbang sekolah.

Raka. Siswa kelas satu SMA yang tubuhnya kurus seperti ranting kering, matanya sayu, dan langkahnya tertatih karena rasa lelah yang tak pernah benar-benar hilang dari tubuhnya. Penyakit kanker stadium lanjut telah menjadi bagian dari dirinya sejak dua tahun terakhir, menggerogoti tubuh dan semangat hidupnya pelan-pelan. Ia tahu waktunya tak banyak lagi, tapi tetap mencoba bertahan… walau hanya untuk sekedar menjalani satu hari lagi.

Seragamnya tampak kebesaran, bukan karena salah ukuran, melainkan karena tubuhnya terlalu kecil untuk anak seusianya. Rambutnya agak panjang, kulitnya pucat, dan wajahnya lebih sering tertunduk. Ia berjalan seolah memikul beban di bahunya, bukan hanya rasa sakit yang terus menghantui, tetapi juga tekanan yang datang dari tempat yang seharusnya menjadi ruang untuk belajar, sekolah.

Begitu ia melewati koridor, bisik-bisik pun mulai terdengar.

“Itu anak lemah itu, si zombie,” gumam seorang siswa di bangku dekat jendela.

“Eh, jangan deket-deket. Takut ketularan sakitnya,” sahut yang lain dengan tawa sinis.

Raka tidak menanggapi. Sudah terlalu sering ia menjadi sasaran hinaan, ejekan, bahkan kadang kekerasan kecil yang menyakitkan. Dorongan di pundak, sapuan kaki saat berjalan, buku yang disembunyikan, atau bahkan hanya tatapan jijik seolah ia bukan bagian dari dunia yang sama dengan mereka.

Di antara sekian banyak suara sumbang itu, hanya ada satu yang membuatnya bertahan.

“Nad, lihat si Raka lagi sendirian. Sapa dia dong, kamu kan sahabatnya,” celetuk Sarah, teman sekelas Nadine.

Nadine menghela napas, menaruh buku-bukunya ke loker, lalu melangkah ke arah Raka yang berdiri sendirian di sudut kelas, menunduk, seolah berusaha menjadi bagian dari tembok.

“Pagi, Raka,” sapanya lembut.

Raka mendongak perlahan. Matanya yang sendu sejenak memantulkan kilau cahaya yang begitu samar.

“Hai,” balasnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

“Kamu udah sarapan belum?” Nadine bertanya sambil mengeluarkan sepotong roti dari tasnya. “Aku bawa lebih. Mau?”

Raka ragu. Tapi saat perutnya bergemuruh, ia pun mengangguk pelan.

“Terima kasih,” ucapnya, menyambut roti itu dengan kedua tangan.

“Kalau butuh apa-apa, bilang ya,” kata Nadine lagi. Senyumnya tulus, tidak seperti kebanyakan orang lain di sekolah itu.

Nadine bukanlah sosok asing dalam hidup Raka. Mereka telah bersahabat sejak kecil, pernah bermain di halaman rumah, saling mengejar sambil tertawa, dan berbagi cerita tanpa beban. Namun, seiring waktu dan kesibukan masa remaja yang mulai menyita perhatian, kedekatan mereka perlahan memudar saat memasuki bangku SMA. Meskipun jarak terbentuk, Nadine tak pernah benar-benar melupakannya.

Ia tahu betul bagaimana hidup tak pernah ramah pada Raka. Ayahnya hanya seorang buruh pabrik, sementara ibunya harus bekerja sebagai asisten rumah tangga demi mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Di tengah kesulitan itu, cobaan yang lebih besar datang, kanker, penyakit yang tak pernah diundang, menyelinap diam-diam dan merenggut masa muda Raka. Penyakit itu menggerogoti tubuh yang masih terlalu rapuh untuk menanggung beban seberat itu, mencuri kekuatan dan keceriaan yang dulu selalu menghiasi wajah sahabat kecilnya.

---

Bel istirahat berbunyi. Siswa-siswa keluar dari kelas seperti burung-burung lepas dari sangkarnya. Raka tetap duduk di bangkunya, membuka bekal kecil dari rumah, hanya nasi putih dan telur dadar. Di meja lain, tawa dan obrolan riuh terdengar tanpa henti.

“Eh, si zombie belum mati, ya?” Suara itu datang dari Bayu, salah satu siswa paling populer di kelas mereka. Badannya tinggi, wajahnya tampan, tapi mulutnya sering lebih tajam dari belati.

Bayu melangkah ke arah Raka, diikuti dua temannya. Ia menepuk-nepuk bahu Raka keras, membuat tubuh kurus itu terhuyung.

“Gimana rasanya jadi mayat hidup?” ejek Bayu, tertawa keras.

Raka tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menahan amarah dan kesedihan yang bergelombang di dadanya.

“Udahlah, Bayu. Dia nggak pernah ngelawan juga,” sahut temannya, tertawa mengejek.

Tanpa alasan yang jelas, Bayu menumpahkan sebotol air mineral ke atas meja Raka. Bekalnya basah, nasi tumpah, dan telur dadarnya tergeletak di lantai.

“Oops. Sorry,” ucap Bayu sok polos, sebelum pergi dengan derai tawa.

Raka menatap lantai. Matanya mulai berkaca-kaca. Tapi ia tetap diam. Menangis pun rasanya percuma.

Beberapa saat kemudian, Nadine datang dan melihat bekal yang basah serta air yang menggenang di meja.

“Ya ampun, Raka…” katanya, segera mengambil tisu dari tas dan membantu membersihkan.

“Kenapa kamu nggak bilang ke guru?” tanya Nadine.

“Ngapain?” Raka berbisik. “Mereka cuma akan ketawa di belakangku.”

Nadine terdiam. Ada sesak yang ia rasakan. Sakit hati, marah, juga kasihan. Tapi ia tahu, Raka tidak butuh kasihan. Ia butuh teman. Ia butuh tempat aman.

“Nanti pulang bareng aku, ya?” ajak Nadine.

Raka menoleh. “Aku bisa sendiri.”

“Aku tahu kamu bisa. Tapi aku pengen nemenin.”

---

Sore itu, langit kembali diselimuti mendung. Hujan turun pelan, membasahi kaca mobil yang melaju perlahan di jalanan basah. Di dalam mobil Nadine, suasana hening namun hangat mengisi ruang di antara mereka berdua. Nadine sedang mengantar Raka pulang.

“Dulu kita sering main di sini ya, Ka,” ucap Nadine tiba-tiba, sambil tersenyum mengenang masa kecil mereka.

Raka mengangguk pelan. “Dulu… semuanya terasa lebih sederhana.”

“Kamu masih suka baca?” tanya Nadine, matanya sekilas melirik ke arah Raka.

“Masih,” jawab Raka lirih. “Tapi sekarang lebih sering baca buku tentang penyakit.”

Ia menghela napas pelan. “Kadang aku berpikir… kalau saja aku tahu dari awal, mungkin aku bisa lebih siap menghadapi semua ini.”

Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah Raka. Hujan mulai turun lebih deras, menciptakan irama lembut di atas kap mobil. Nadine menoleh padanya, suaranya terdengar lembut.

“Nggak ada yang benar-benar bisa siap untuk hal seperti ini, Ka. Tapi kamu luar biasa. Kamu masih ada di sini, masih berjuang.”

Raka menunduk, matanya menerawang ke luar jendela. Rintik hujan jatuh seperti gema dari pikirannya yang kacau. Seketika dunia di luar terasa semakin sunyi.

“Kadang aku capek,” bisiknya. “Bukan cuma karena rasa sakit… tapi karena dunia ini kadang terasa terlalu kejam.”

Nadine meraih tangannya, menggenggamnya erat.

“Kamu nggak sendiri, Ka,” katanya pelan. “Aku di sini.”

Dan untuk pertama kalinya, Raka merasakan sesuatu yang hangat di dalam hatinya. Bukan karena tubuhnya sehat, karena itu jelas tidak mungkin. Tapi karena ada seseorang yang tetap memandangnya sebagai manusia, bukan sebagai beban, bukan sebagai bahan tertawaan. Ia merasa dilihat.

---

Malam hari, di dalam kamarnya yang temaram, Raka duduk di kursi dekat jendela. Hujan mengguyur perlahan di luar, menciptakan irama lembut yang menemani kesendiriannya. Di tangannya, tergenggam erat sebuah buku harian yang lusuh, satu-satunya tempat ia bisa jujur tanpa batas.

Perlahan, ia membuka halaman kosong, lalu mulai menulis dengan goresan tangan yang hati-hati.

“Hari ini Nadine memberiku roti. Dan harapan.”

Tinta berhenti mengalir. Raka mengangkat kepalanya, memandang langit malam yang gelap di balik kaca jendela. Wajahnya hening, namun matanya menyimpan banyak hal yang tak terucapkan.

"Entah berapa lama lagi aku bisa melihat dunia ini," batinnya. "Tapi jika saat itu tiba… aku ingin wajah terakhir yang kuingat adalah dia."

Ia menutup buku itu perlahan, lalu memeluknya erat seakan memeluk sebuah kenangan yang ingin terus dijaga. Tanpa berkata apa pun, ia merebahkan tubuhnya yang lelah ke atas tempat tidur. Nafasnya dalam dan berat, namun di balik kesunyian itu, ada kedamaian yang mulai menyelimuti.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca