Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Jalan Pulang Selalu Terbuka

Jalan Pulang Selalu Terbuka

L Shava 132 | Bersambung
Jumlah kata
122.3K
Popular
100
Subscribe
9
Novel / Jalan Pulang Selalu Terbuka
Jalan Pulang Selalu Terbuka

Jalan Pulang Selalu Terbuka

L Shava 132| Bersambung
Jumlah Kata
122.3K
Popular
100
Subscribe
9
Sinopsis
FanficFanficTeknologiZero To HeroPahlawan
Raka Adinata. Nama besar di dunia event organizer, kehidupan malam, dan pesona duniawi. Segala yang ia inginkan—uang, wanita, dan pengaruh—berada dalam genggamannya. Tapi satu malam, di sebuah lorong sepi seusai pesta mewah, ia nyaris mati. Dan di ambang kematian itulah ia mendengar: "Belum terlambat untuk pulang..." Perjalanan hijrah Raka dimulai dari luka, kehilangan, dan kehampaan. Tapi jalan menuju kebaikan bukan jalan mulus. Ia harus meninggalkan dunia lamanya, menghadapi pandangan sinis dari sahabat sendiri, godaan cinta yang salah arah, hingga ujian keimanan paling menyakitkan: kehilangan ibu yang selama ini diam-diam mendoakannya agar kembali pada Tuhan. Namun, saat langit terasa runtuh dan jalan terasa gelap, satu hal tetap menyala: harapan.
1. JPST 01

JALAN PULANG SELALU TERBUKA

Bab 1: Sang Raja Panggung dan Maut di Lorong Sepi

---

Langit malam Jakarta memeluk gedung-gedung pencakar langit dengan cahaya gemerlap. Musik menggelegar dari ballroom hotel bintang lima yang dipenuhi manusia berpakaian mahal dan minuman berkelas. Di tengah pesta bertema "Heaven is Here", satu nama mendominasi: Raka Adinata.

Ia berdiri di atas panggung seperti dewa pesta. Setelan hitamnya rapi dan mahal, rambutnya licin, senyumnya penuh percaya diri, seolah-olah semua orang di ruangan itu terhipnotis oleh karisma yang terpancar dari dirinya. 

“Ladies and gentleman! Malam ini kita buktikan bahwa surga bisa kita ciptakan di dunia!” teriaknya, disambut sorakan meriah dan gelas yang diangkat tinggi oleh para tamu yang berbahagia.

Raka bukan sekadar Event Organizer. Ia adalah legenda hidup dalam industri ini. Setiap acara mewah yang digelar di kota Jakarta seakan tidak lengkap tanpa sentuhan tangan terampilnya. Ia telah membangun reputasi tak tergoyahkan, dan malam ini adalah perayaan dari semua kerja keras itu. Selama bertahun-tahun, ia telah membangun jaringan yang luas, menjalin hubungan dengan berbagai orang berpengaruh, dan mengatur banyak pertemuan penting. Semua orang mengetahui namanya, dan semua orang ingin hadir di acara yang dia kelola.

Ia punya segalanya: uang, kekuasaan, wanita, dan popularitas. Ruangan tersebut dipenuhi aroma parfum mahal dan suara tawa yang bersenandung, menciptakan suasana magis di tengah kilauan lampu. Di sisinya, wanita-wanita menawan berjejer, semua ingin menjadi bagian dari kehidupannya yang glamor. Namun, di balik segala gemerlap itu, tak seorang pun tahu bahwa jiwanya perlahan kosong. Di tengah kemewahan yang melimpah, Raka merasa terasing. 

Setiap senyuman yang ia tunjukkan terasa seperti topeng yang menutupi kedalaman kesepian. Meskipun dikelilingi oleh begitu banyak orang, rasa sepi itu terus menggerogoti hatinya. Ia sering merenung setelah pesta berakhir, bertanya-tanya apakah semua ini akan meninggalkan jejak di dunia, ataukah ia akan dilupakan seperti hiasan sementara dalam sorotan yang redup. 

Malam itu, saat pesta mereda dan cahaya redup, Raka melangkah menjauh dari keramaian, mencari ketenangan dalam kesunyian. Di luar ballroom, udara malam yang segar menggantikan kebisingan, dan ia menatap langit berbintang, bertanya-tanya apakah cahaya-cahaya itu bisa memberikan jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya. Apakah surga benar-benar bisa diciptakan, atau justru surga itu selalu ada, menunggu untuk ditemukan di dalam diri sendiri?

---

Pukul 2 dini hari. Pesta usai. Raka berjalan sendiri di lorong basement hotel untuk mengambil mobilnya. Langkahnya sedikit goyah—efek alkohol dan kelelahan. Lorong itu gelap, sunyi, dan dingin. Hanya terdengar suara sepatunya yang menggema, melawan kesunyian yang menekan. Di sekelilingnya, dinding-dinding beton seolah menyimpan cerita ribuan malam yang penuh kemewahan, tetapi kini hanya menampakkan kesepian yang menyelimuti jiwanya.

Pikirannya melayang ke semua yang ia capai. Tak terhitung jumlah pesta yang telah ia atur, tawa yang telah ia hasilkan, dan pujian yang melimpah. “Ini hidup yang sempurna, kan? Lalu kenapa... aku merasa makin kosong?” tanyanya pada diri sendiri, suara batin itu menggaung dalam kepalanya.

Raka mengingat saat-saat berharga yang seharusnya membahagiakannya. Mobil-mobil mewah yang diparkir di depan, gaun-gaun indah yang dikenakan para wanita, dan sorotan kamera yang selalu mengincar setiap gerakannya. Namun, rekan-rekan sejawat yang biasanya mengelilinginya kini terasa jauh, seakan semua hanya mengejar citra dan bukan koneksi yang tulus. 

Ia mencapai parkiran dan melihat mobilnya, mengusap setir sebelum membuka pintu. Suara pintu mobil yang berdentang memenuhi lorong sepi, mengingatkannya pada ketidakupayaan untuk meninggalkan perasaan hampa itu. Di saat itu, Raka merindukan sesuatu yang lebih dari sekadar kesenangan sementara; ia merindukan keterhubungan, kehadiran orang-orang yang tulus dalam hidupnya.

Setelah duduk di dalam mobil, ia menyandarkan kepala di kursi, menatap langit-langit cabang senja yang memudar. “Apakah semua ini berharga?” pertanyaannya menggantung di udara, tidak ada jawaban yang jelas. Cita-citanya untuk mencapai puncak membuatnya melupakan hal-hal mendasar, seperti cinta, persahabatan, dan keintiman manusia yang sejati.

Malam itu, Raka merasa lebih dari sekadar seorang pengatur acara manja; ia merasa seperti seorang pejalan yang tersesat dalam lorong-lorong kehidupan yang glamor, namun kosong. Dengan jalan pikiran yang membingungkan, ia bersiap untuk memulai perjalanan pulang, berharap bisa menemukan cahaya yang menerangi jalan keluar dari kegelapan ini.

Tiba-tiba, dari arah kiri lorong, sebuah mobil melaju kencang. Raka tak sempat menghindar.

BRAK!

Tubuhnya terpental. Segalanya menjadi kabur. Suara hilang. Dunia memudar. Dalam detik-detik terakhir sebelum kehilangan kesadaran, wajah-wajah yang tersenyum, suara tawa, dan cahaya gemerlap dari pesta-pesta yang telah ia selenggarakan melintas cepat di pikirannya—semuanya terasa di ambang perpisahan.

---

Gelap. Sunyi.

Lalu, suara itu datang. Lembut tapi menusuk. Tak dari luar. Dari dalam jiwanya sendiri.

> “Belum terlambat untuk pulang...”

“Siapa...?” gumam Raka dalam kesadarannya yang memudar. Suara itu datang bukan dari dunia fisik yang biasa ia kenali, tetapi dari kedalaman sanubarinya yang selama ini terabaikan. Raka merasa seolah dibawa jauh dari kesakitan dan hampa yang mengejarnya, menuju suatu tempat yang tenang.

> “Kamu sudah terlalu jauh. Tapi Aku masih di sini.”

Raka terhanyut dalam suara tersebut, seakan membawa setiap ketidakpastian dan kebingungan yang selalu menyelimuti hidupnya. Dalam kegelapan, ia merasakan kehadiran yang akrab, seolah suara itu sudah mengenalnya lebih baik dari dirinya sendiri. 

“Siapa kamu?” tanyanya dengan nada bingung, meskipun ia tahu jawabannya mungkin sudah ada di dalam hatinya sendiri. Di balik semua kesusahan dan kemewahan yang tak berarti, ia mulai merasa seolah ada bagian dari dirinya yang masih utuh, menunggu untuk ditemukan.

> “Aku adalah suara yang berbisik ketika kamu kesepian. Kenangan saat kamu merasa dicintai. Semangat yang menuntunmu kembali.”

Rasa menyakitkan akibat tabrakan mulai surut, berganti dengan refleksi terhadap semua pilihan hidupnya. Ketika semua harapan dan pencapaian menggantung layu, suara itu menawarkan secercah keyakinan bahwa perjalanan Raka belum sepenuhnya terputus.

Seolah dari kejauhan, dia mendengar jalan pulang yang tertutupi kabut. “Pulangkan aku... Biarkan aku menemukan diriku kembali,” bisiknya penuh harap.

> “Itu yang ingin aku tunjukkan padamu. Semua keindahan dalam hidupmu telah tertutupi. Saatnya membuka matamu dan melihat kembali.”

Dalam keheningan itu, Raka merasa seolah ia sedang melakukan perjalanan ke dalam jiwanya, menyusuri lorong-lorong yang selama ini ia abaikan. Penuh dengan kerinduan, dan meski tidak ada lagi cahaya gemerlap di sekelilingnya, dia mulai merasakan kehangatan rasa harap. Harapan untuk kembali, untuk menemukan makna di balik semua kemewahan yang pernah dimilikinya. Mungkin, hanya dengan kembali, ia bisa menciptakan surga bukan hanya di luar, tetapi di dalam hatinya sendiri.

---

Beberapa jam kemudian.

Raka terbangun dengan alat infus menancap di tangannya. Ruangan putih, bau antiseptik, dan suara monitor detak jantung yang ritmis. Di sebelah ranjang, seorang wanita tua berjilbab duduk menunduk, menggenggam tasbih dengan gerakan lembut. Matanya berkaca-kaca saat melihat anaknya membuka mata.

“Raka... nak, kamu sadar?” suara Bu Rahmah bergetar, penuh harapan dan kelegaan.

Raka menatapnya. Bibirnya terasa kaku, dan kepalanya berat dengan bayangan masa lalu yang masih membayang. Ia ingat lorong yang menakutkan. Ia ingat mobil yang melaju kencang, suara BRAK! yang menghancurkan segalanya, dan suara lembut yang menuntunnya kembali ke dalam kesadarannya. “Ibu... aku hampir... mati ya?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.

Bu Rahmah menahan tangis, hanya mengangguk perlahan. Air mata yang menetes dari pelupuk matanya menambah ketegangan dalam ruangan sunyi itu. Raka melihat ketulusan di wajah ibunya, dan sesuatu di dalam hatinya mulai terkoyak. Semua kesedihan dan penyesalan yang terpendam dalam hidupnya, semua yang ia coba sembunyikan di balik kehidupan glamor dan kesuksesan, kini menyeruak keluar.

Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Raka menangis. Bukan karena sakit di tubuhnya—tapi karena sesuatu dalam dirinya terasa runtuh. Air mata yang mengalir deras adalah representasi dari segala beban yang selama ini ia bawa sendirian. Ia menangis untuk segala hal yang tidak pernah ia ucapkan, untuk semua keputusan bodoh yang membawanya sampai pada titik ini. 

> “Mungkin... hidupku memang perlu dihancurkan dulu... supaya aku bisa bangun dari awal.” Pikiran itu melintas dalam benaknya, seperti suatu pencerahan. Raka menyadari bahwa kesuksesan yang ia cari-cari hanya sebuah ilusi tanpa substansi. Dalam kebisingan kehidupan malam yang gemerlap, ia telah kehilangan dirinya sendiri.

Saat air matanya mengering, Raka merasakan sebuah keinginan yang baru bersemi dalam hatinya. Keinginan untuk berbenah dan memulai kembali, membangun kembali hidupnya dengan fondasi yang lebih kokoh. Ia ingin berjuang lebih keras untuk menemukan apa yang benar-benar berarti—keluarga, cinta, dan diri yang utuh. 

Dengan tatapan penuh tekad, ia menatap ibunya. “Ibu, aku akan berusaha memperbaiki semuanya. Aku janji.” Suaranya kini lebih pasti, meski masih tergetar. 

Bu Rahmah mengelus kepalanya dengan lembut, senyumnya penuh harapan. “Aku tahu kamu bisa, Nak. Kita akan melalui ini bersama-sama.” 

Raka merasakan kekuatan baru dalam kata-kata itu. Mungkin, di tengah kegelapan yang ia alami, ia akhirnya menemukan arah baru untuk hidupnya—sebuah kesempatan untuk menciptakan surga yang sejati, bukan hanya di luar, tetapi juga dalam diri.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca