Di tengah desa Sukamencekam, berdiri sebuah pohon beringin tua yang sudah berusia ratusan tahun. Orang-orang desa percaya kalau pohon itu dihuni oleh makhluk tak kasat mata. Namanya macam-macam, ada yang bilang hantu, ada yang bilang siluman, ada pula yang yakin itu cuma cerita orang tua biar anak-anak nggak keluyuran malam-malam.
Suatu malam, Ucok dan Sahat, dua pemuda desa yang terkenal iseng, nekat bertaruh untuk membuktikan bahwa semua itu cuma mitos. "Kalau kau berani, kita duduk di bawah pohon beringin itu sampai ayam berkokok!" tantang Ucok.
"Ah, gampang kali itu! Hadiahnya apa?" Sahat mengangkat alisnya.
"Sepuluh bungkus nasi goreng dari warung Mak Siti!"
Mata Sahat berbinar. "Setuju!"
Tanpa banyak pikir, mereka pun pergi ke bawah pohon beringin itu dengan membawa tikar dan termos kopi. Awalnya, suasana terasa biasa saja. Angin malam berhembus pelan, suara jangkrik bersahutan *krik... krik... krik...*, dan lampu-lampu rumah di desa mulai padam satu per satu.
Namun, baru saja mereka duduk, tiba-tiba ada suara cekikikan halus. *Hihihihi...*
"Eh, kau dengar itu?" bisik Sahat.
"Dengar, tapi mungkin itu si Rina, adiknya Bang Tompel. Kadang-kadang dia ketawa sendiri kalau main HP," jawab Ucok, berusaha tetap santai.
Tapi suara cekikikan itu makin lama makin dekat. Lalu tiba-tiba, ranting pohon beringin bergerak sendiri *krek... krek...*, dan ada sesuatu yang jatuh tepat di depan mereka.
"DUARR!"
Ucok dan Sahat melonjak kaget. Ternyata cuma buah beringin yang jatuh. Mereka saling pandang dan tertawa, menertawakan ketakutan mereka sendiri.
"Halah, cemen kali kita ini!" kata Sahat.
Baru saja mereka mau menyesap kopi, tiba-tiba angin bertiup kencang *wuuussshh...* dan suara seretan kaki terdengar dari belakang mereka *sret... sret...* Seketika bulu kuduk berdiri.
"Ucok... itu siapa di belakang kita?" tanya Sahat dengan suara bergetar.
Ucok melirik pelan, dan matanya langsung membelalak.
Di belakang mereka, berdiri sosok tinggi besar dengan rambut panjang menjuntai, matanya merah menyala, dan senyumnya... lebar sekali!
Tanpa pikir panjang, mereka langsung lari secepat kilat sambil menjerit, "Makkkk! Tolonggggg!"
Mereka berlari tanpa arah, napas tersengal-sengal, jantung hampir copot. Kaki Sahat tersandung akar pohon *bruk!* dan ia jatuh berguling-guling.
"Ucok, tolong aku!" teriaknya.
Ucok menoleh, tapi bukannya menolong, dia malah ikut jatuh karena menginjak batu licin *gubrak!*
Sahat yang sudah setengah panik menarik baju Ucok. "Cepat bangun!"
"Mana bisa bangun kalau kau pegang bajuku begini!" Ucok menggerutu sambil mencoba berdiri.
Dari belakang, suara seretan kaki semakin dekat *sret... sret... sret...* disertai suara napas berat *huhhh... huhhh...*.
"Kita mati, Cok!" Sahat hampir menangis.
Ucok memejamkan mata, mencoba mengingat ajaran kakeknya tentang ilmu kebatinan. Dia menggenggam tanah dan melemparkannya ke belakang sambil berteriak, "Pergi kau, setan!"
Hening. Tidak ada suara.
Mereka membuka mata pelan-pelan dan menoleh ke belakang.
Makhluk itu masih ada! Tapi sekarang lebih dekat, dan…
"EH, ITU PAK SABARUDIN!" Ucok menjerit.
Ternyata sosok menyeramkan itu hanyalah Pak Sabarudin, tetua desa yang tertidur di bawah pohon beringin. Karena lampu senternya rusak, matanya tampak merah terkena pantulan cahaya.
Pak Sabarudin menguap lebar. "Kenapa kalian teriak-teriak tengah malam begini? Ganggu orang tidur saja!"
Ucok dan Sahat saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak. "Astagaaa... kirain hantu beneran!"
Tapi sebelum mereka bisa lega, dari dalam pohon beringin terdengar suara tangisan halus. *Hiks... hiks... hiks...*
Ucok langsung berhenti tertawa. "Eh, Pak, kau yang nangis?"
Pak Sabarudin menggeleng. "Bukan aku. Aku nggak suka drama."
Sahat menggigit bibir. "Jadi… siapa yang nangis di dalam pohon?"
Mereka bertiga diam. Angin bertiup kencang lagi *wussshh...* dan suara tangisan itu berubah menjadi tawa melengking *hihihihihi...*
Tanpa pikir panjang, mereka bertiga kabur sekencang-kencangnya! Sahat bahkan lari lebih cepat dari motornya sendiri.
Dari dalam rumah, Mak Siti yang sedang menggoreng nasi goreng cuma geleng-geleng kepala. *Cesss...* suara minyak panas menyambut gorengannya. "Ah, paling itu dua bocah kampung kena karma karena suka ngutang di warung!"