Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Journey of Heiden: The Frostfang

Journey of Heiden: The Frostfang

Joel Usagi | Bersambung
Jumlah kata
104.4K
Popular
182
Subscribe
27
Novel / Journey of Heiden: The Frostfang
Journey of Heiden: The Frostfang

Journey of Heiden: The Frostfang

Joel Usagi| Bersambung
Jumlah Kata
104.4K
Popular
182
Subscribe
27
Sinopsis
FantasiIsekaiMisteriPertualanganSihir
Di ujung dunia yang tertutup es, di Pulau Tigrit, suku Azmut hidup dalam keharmonisan. Namun, kehidupan sederhana mereka mulai berubah ketika seorang anak laki-laki bernama Elkan mendengar kisah tentang Pulau Heiden sebuah tanah hijau. Elkan, yang selalu penasaran dengan dunia di luar desanya, mulai merasa bahwa pulau itu bukan sekadar legenda. Elkan memutuskan untuk memulai perjalanan berbahaya demi menemukan Pulau Heiden.Dalam perpaduan antara mitos, petualangan, dan pencarian jati diri. Journey of Heiden membawa pembaca dalam kisah epik tentang keberanian, persahabatan, dan tekad seorang anak yang ingin membuktikan bahwa legenda bisa menjadi kenyataan.
Chapter 1 Prolog

Di ujung utara dunia, di tempat di mana angin menusuk tulang dan salju menutupi setiap jengkal tanah, hiduplah sebuah suku kuno bernama Azmut. Pulau terpencil yang mereka huni dibalut es abadi, di mana matahari hanya menyapa selama beberapa bulan sebelum menghilang di balik cakrawala untuk digantikan oleh malam panjang yang kelam. Bagi orang luar, tempat itu tampak tak ramah, tetapi bagi suku Azmut, pulau itu adalah rumah, tanah yang telah diwariskan oleh leluhur mereka sejak ribuan tahun lalu.

Suku Azmut hidup dari alam dengan kesederhanaan yang luar biasa. Mereka tidak mengenal pertanian, sebab tanah yang mereka pijak selalu membeku. Tidak ada tanaman yang bisa tumbuh, kecuali lumut-lumut kecil yang kadang muncul di sela-sela batu karang. Kehidupan mereka sepenuhnya bergantung pada laut dan hewan-hewan yang mendiami wilayah beku itu. Buruan utama mereka adalah anjing laut, ikan, dan sesekali paus yang tersesat dekat pesisir. Berburu adalah napas kehidupan mereka, sebuah keterampilan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap anak laki-laki Azmut, sejak usia delapan tahun, sudah diajarkan cara memegang tombak, membaca jejak di salju, dan mengenali pergerakan es yang dapat mematikan jika salah langkah.

Namun, berburu bukan sekadar aktivitas mencari makan. Bagi suku Azmut, berburu adalah ritual yang dipenuhi dengan rasa hormat kepada alam. Mereka percaya bahwa segala yang mereka ambil dari alam harus dikembalikan dalam bentuk penghormatan. Sebelum memulai perburuan, para pemburu akan berkumpul di tepi pantai, menghadap laut luas yang membeku. Seorang tetua, yang sering kali adalah pemburu paling senior, akan memimpin doa, memanggil roh pelindung mereka—Beruang Putih, sang dewa roh yang diyakini menjaga mereka dari marabahaya.

“Oh, Dewa Beruang Putih, penjaga lautan dan daratan beku, kami datang dengan kerendahan hati. Izinkan kami mengambil sebagian dari kehidupan yang Kau jaga untuk mengisi perut anak-anak kami. Kami berjanji akan berbagi denganmu, sebagai tanda terima kasih atas berkah yang Kau limpahkan.”

Setelah berburu, setengah dari hasil tangkapan pertama akan dilemparkan ke laut sebagai persembahan. Suara ikan atau potongan daging yang jatuh ke air dingin terdengar seperti bisikan lembut, seolah lautan itu sendiri sedang menerima hadiah mereka. “Berbagi dengan dewa,” kata mereka, “berarti berbagi kehidupan.” Keyakinan ini tertanam kuat dalam hati setiap anggota suku, menjaga hubungan harmonis mereka dengan alam yang keras namun penuh berkah.

Secara fisik, anggota suku Azmut memiliki ciri khas yang mencolok. Kulit mereka putih pucat, hasil dari minimnya paparan sinar matahari. Udara dingin membuat pipi mereka selalu kemerahan, seolah-olah mereka terus-menerus tersipu. Rambut mereka hitam bergelombang, tebal untuk melindungi kepala dari hawa dingin yang ekstrem. Mata mereka sipit, menyesuaikan diri dengan kilauan salju yang menyilaukan, sementara hidung mereka mancung tetapi melebar di ujungnya—sebuah adaptasi alami agar udara dingin yang mereka hirup tidak terlalu menusuk paru-paru.

Kehidupan sosial mereka diwarnai dengan kebersamaan yang erat. Rumah-rumah mereka, yang disebut karu, terbuat dari balok es yang dipotong rapi dan disusun membentuk iglo. Di dalamnya, kulit-kulit hewan yang tebal digunakan sebagai alas tidur dan selimut. Meski tampak sederhana, rumah-rumah ini hangat berkat teknik membangun yang telah disempurnakan selama berabad-abad. Ketika malam panjang tiba—yang bisa berlangsung selama berbulan-bulan—anggota suku akan berkumpul di satu karu besar di tengah pemukiman. Mereka duduk melingkar, saling berbagi cerita sambil mengunyah daging kering. Anak-anak mendengarkan kisah-kisah petualangan para leluhur, tentang pertempuran melawan badai salju atau perburuan paus yang nyaris berujung maut.

Di antara mereka, ada seorang perempuan tua bernama Ibu Maluha. Meski tubuhnya kecil dan tangannya keriput, suaranya masih lantang saat bercerita. “Beruang Putih pernah menampakkan diri pada kakek buyutku,” katanya suatu malam, suaranya bergema di dalam karu. “Ia berdiri di atas gunung es, matanya menyala seperti api. Kakekku yang sedang berburu hampir saja mati kedinginan, tetapi Beruang Putih membawanya pulang. Sejak itu, keluarga kami selalu menjadi pemimpin doa persembahan.”

Setiap tahun, ketika es di perairan mulai retak, suku Azmut mengadakan Musim Berburu Besar. Inilah waktu di mana semua pemburu dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, turun ke laut untuk menangkap paus. Perburuan ini bukan hanya soal makanan, melainkan juga ajang pembuktian keberanian. Mereka menggunakan perahu kecil yang terbuat dari tulang paus dan kulit anjing laut yang dijahit dengan benang serat tanaman langka. Masing-masing perahu dikayuh oleh tiga hingga empat orang.

Hari itu, langit mendung dan laut tenang, seolah menunggu sesuatu yang besar terjadi. Di kejauhan, semprotan air terlihat—seekor paus muncul ke permukaan. Para pemburu segera mendayung, mendekati raksasa lautan itu. Tombak-tombak dilemparkan dengan kekuatan penuh, menancap ke tubuh paus yang mengamuk, memercikkan air es ke udara. Setelah perjuangan panjang, paus itu akhirnya menyerah. Tangis haru dan teriakan kemenangan pecah. Mereka tahu, daging dan lemak paus itu akan menghidupi seluruh suku selama berbulan-bulan.

Sebelum pulang, seperti tradisi yang tak pernah terlewatkan, setengah dari bagian kepala paus dipotong dan dilemparkan ke laut. “Terima kasih, Beruang Putih. Terima kasih, laut yang agung,” bisik mereka.

Hidup di ujung dunia bukanlah perkara mudah. Angin dingin yang menggigit, malam yang tak berkesudahan, serta ancaman dari alam selalu mengintai. Namun, suku Azmut telah membuktikan bahwa dengan kebersamaan, rasa hormat pada alam, dan keyakinan pada kekuatan yang lebih besar, mereka bisa bertahan. Mereka bukan hanya hidup di tanah beku itu; mereka adalah bagian dari es, angin, dan laut yang mengelilingi mereka. Dalam kesunyian salju yang abadi, suku Azmut terus berjalan, melanjutkan kisah mereka yang tertulis di jejak-jejak salju yang tak pernah benar-benar hilang.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca