Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Jodohku Teman Iparku Reborn

Jodohku Teman Iparku Reborn

MHK28 | Bersambung
Jumlah kata
32.9K
Popular
118
Subscribe
39
Novel / Jodohku Teman Iparku Reborn
Jodohku Teman Iparku Reborn

Jodohku Teman Iparku Reborn

MHK28| Bersambung
Jumlah Kata
32.9K
Popular
118
Subscribe
39
Sinopsis
18+PerkotaanSlice of lifeDokterUrban
dokter Indra, adalah seorang dokter ahli bedah saraf. Ia memilih untuk tidak menikah lagi setelah istrinya tiada, namun nasib membawanya bertemu dengan seorang wanita yang merupakan teman dari adik iparnya. dokter Indra akhirnya melepas masa dudanya dan menikah dengan teman dari adik iparnya. Awalnya rumah tangga mereka berjalan lancar, hingga suatu saat badai mulai datang menerjang rumah tangga mereka. mampukah dokter Indra dan sang istri melewati badai itu, atau akankah salah satu dari mereka harus mengalah dan menyerah?
Bab 1

Sore itu, Bandung diguyur hujan deras. Butiran air menabrak kaca jendela, menciptakan irama lembut yang menemani sepi di ruang praktik seorang dokter bedah saraf bernama Indrawan Warja Dinata.

Pria itu duduk termenung di kursinya. Jas putih yang ia kenakan tampak kontras dengan suasana redup di ruangan itu. Di atas meja kerjanya, sebuah bingkai foto berdiri rapi, foto dirinya bersama seorang wanita yang sudah tiga tahun pergi meninggalkannya untuk selamanya.

“Huh… sudah tiga tahun kamu pergi, sayang,” ucap Indra pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan di luar sana.

Ia tersenyum samar, senyum yang dipaksakan.

Setiap hari, Indra menyibukkan diri dengan pasien, operasi, dan jadwal rumah sakit yang padat. Seolah dengan begitu, ia bisa melupakan rasa kehilangan itu. Tapi nyatanya, setiap kali dia berusaha semuanya terasa sia-sia.

Tok.. tok.. tok..

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Indra. Indra menyimpan kembali foto itu. "Masuk!"

Setelah di persilahkan oleh Indra, seorang perawat wanita masuk ke dalam ruangan dengan senyum cerahnya. "Kak, aku ikut pulang bareng kakak yah." pinta wanita itu.

Indra mengerutkan kening, "mobilmu?"

"hehehe, aku gak bawa mobil, kak."

"Astaga, Syifa. Selalu saja merepotkan." Ucap Indra sambil memasang wajah kesal.

wanita yang bernama Syifa itu cemberut, "issss... cuma numpang dikit doang, pelit amat sih."

Indra menghela napasnya. "Bukan pelit Gianatul Syifa, masalahnya kakak harus putar balik kalau kakak nganterin kamu dulu."

"Perhitungan banget sama adik sendiri."

"Bukan perhitungan, tapi rumah kamu jauh dan kita berlawanan arah." Terang Indra.

Syifa semakin cemberut, "ya udah iya, aku naik bis aja. Awas nanti kalau minta tolong, aku gak bakal mau bantuin."

Indra tersenyum mengejek, "dih, siapa juga yang butuh bantuan kamu."

Syifa memutar bola matanya, ia menghentakkan kakinya pelan sebelum berbalik menuju pintu.

Namun baru dua langkah, Indra akhirnya bersuara dengan nada lebih lembut.

“Udah deh, kakak anterin kamu. Kalau ada apa-apa sama kamu kan nanti kakak yang repot."

Syifa langsung menoleh, senyum lebar mengembang di wajahnya. “Nah, gitu dong, Dokter Indra yang baik hati!”

“Cerewet, tunggu lima menit. Kakak beresin dulu berkas," Kata Indra, sudut bibirnya terangkat kecil. Sesuatu yang jarang muncul di wajahnya sejak beberapa tahun terakhir.

Sambil merapikan berkas di meja, Indra sempat melirik ke luar jendela. Hujan masih deras, jalanan mulai dipenuhi lampu kendaraan yang memantul di genangan air.

"Hujannya makin deras aja," gumam Indra pelan.

Selesai merapikan berkasnya, Indra dan Syifa segera keluar dari ruangan itu. Indra berjalan di belakang Syifa, sesekali ia tersenyum karena melihat tingkah Syifa yang menyapa setiap stap medis.

Sesampainya di parkiran basement rumah sakit, Syifa segera berlari kecil ke arah mobil, sedangkan Indra berjalan santai di belakangnya sambil menekan tombol kunci mobil.

“Kamu lari kaya gitu keliatannya kaya orang di kejar pinjol, tau gak." Ledek Indra.

Syifa menoleh, "tau banget kayaknya soal pinjol, kakak pernah jadi nasabahnya, ya."

Indra menggeleng tak terima, "enak aja. Kamu kali nasabahnya." Indra segera membuka pintu mobil, "udah cepet masuk." Lanjutnya yang meminta Syifa masuk.

Syifa mengangguk, ia segera membuka pintu belakang mobil dan masuk.

"Heh, kamu pikir kakak sopir. duduk di depan," tegur Indra yang melihat Syifa membuka pintu belakang mobil miliknya.

Syifa menggaruk kepalanya sambil cengengesan tidak jelas, "hehehe... maaf kak, aku lupa."

"Lupa-lupa. cepet duduk di depan,"

Syifa segera menggeser tubunya sedikit, dia segera membuka pintu depan di susul oleh Indra yang membuka pintu kemudi.

Begitu mereka duduk di dalam mobil, aroma parfum vanilla lembut dari Syifa memenuhi kabin. Suasana sempat hening sejenak, hanya suara hujan yang masih deras di luar sana. Indra menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil perlahan keluar dari area parkir.

“Eh Kak,” Syifa tiba-tiba bersuara, memecah keheningan. “Hari Sabtu besok kamu ada jadwal operasi nggak?”

Indra meliriknya sekilas. “Kayaknya sih nggak ada, kenapa?”

Syifa tersenyum kecil. “Aku ada reuni kecil sama teman-teman kuliah. Boleh nggak aku ajak kakak sebentar? Tenang aja, bukan acara formal kok. Cuma ngopi-ngopi santai aja.”

“Kamu ngajak kakak?” Indra menaikkan alis. “Ngapain? kakak kan bukan teman kuliah kamu.”

Syifa cengar-cengir. “Iya sih… tapi ada satu temen aku yang pengen banget kenalan sama dokter keren ini. Namanya Putri.”

Indra mendengus pelan. “Syifa, kamu ini beneran pengen kakak datang, atau jangan-jangan kamu mau jadiin kakak umpan buat temen kamu itu?”

Syifa tertawa. “Dua-duanya!”

Indra hanya menggeleng, memang selalu ada aja tingkah adik iparnya ini. Mulai dari menyebarkan nomor nya di grup WhatsApp, dan sekarang dia akan di jadikan umpan perjodohan.

satu jam berlalu, Indra akhirnya sampai di rumah Syifa sekaligus rumah dari almarhumah istrinya.

Mobil berhenti di depan rumah bergaya minimalis dua lantai yang masih tampak sama seperti tiga tahun lalu. Lampu teras menyala, menyoroti taman kecil yang ada di sana.

Indra menatap rumah itu beberapa detik tanpa berkata apa-apa. Ada rasa sesak yang tiba-tiba muncul bercampu dengan rindu dan kehilangan yang belum benar-benar pulih.

Syifa melepas sabuk pengamannya, menoleh pelan. “Kak…” panggilnya lembut. “Jangan terlalu dipikirin, ya. Mbak Fatimah pasti pengen lihat kakak bahagia lagi.”

Indra tersenyum samar, tapi matanya masih menatap ke arah taman yang basah oleh hujan. “Iya, kakak tahu…” jawabnya pelan. “Cuma kadang, ada hal yang nggak mudah dilupakan begitu aja.”

Syifa mengangguk, tak ingin memaksa. Ia membuka pintu mobil, tapi sebelum keluar, sempat berucap pelan, “ikhlas itu memang berat, kak. Tapi aku yakin, kakak bisa. kuncinya hanya satu, berdamailah dengan masalalu dan maafkanlah diri kakak sendiri."

Setelah mengatakan itu, Syifa segera keluar dari mobil dan melangkah menuju rumah.

Indra kembali menghela napasnya, kali ini terasa lebih berat. "Apa aku bisa?"

Setelah beberapa saat terdiam dan merenung, Indra kembali menyalakan mobilnya. Ia segera pergi dari sana, namun tujuannya bukan apartemen tempat dirinya tinggal.

****

Di tempat lain, seorang wanita sedang asik mendengar musik lewat earphonenya. Dia menari, bernyanyi, bahkan berteriak tidak jelas.

Wanita itu tampak menikmati dunianya sendiri. Rambutnya yang hitam dan panjang tergerai indah, sesekali ikut berayun mengikuti gerakan yang wanita itu lakukan.

"Putri Maira Anandyia Gunawan," panggil seorang wanita paruh baya yang bernama Nadira Pramanta.

Putri yang sedang menggunakan earphone tidak dapat mendengar panggilan wanita paruh baya yang merupakan ibunya itu.

Karena kesal, Nadira segera menghampiri Putri dan menarik earphonenya. "Putri, kamu dari tadi Mami panggilin loh."

Putri langsung terlonjak kaget. “Astaga, Mami! Bikin kagetin aja!” serunya sambil memegang dada.

Wanita paruh baya itu melipat tangan di dada, menatap putrinya dengan ekspresi antara jengkel dan lelah. “Kamu tuh ya, umur udah dua puluh tujuh tapi kelakuan masih kayak anak SMA! Dari tadi Mami panggilin, malah joget-joget gak jelas begini.”

Putri hanya nyengir sambil menurunkan volume musik di ponselnya. “Hehehe, maaf Mam, lagunya enak banget soalnya. Lagi mood bagus nih.”

"Mood kamu bagus, mood Mami sekarang yang jelek karna kelakuan kamu." Dumelnya jengkel.

"Maaf Mam," ucap putri sambil mengedipkan matanya. "Ada apa Mami manggil aku?" lanjut putri pada ibunya.

"Mami mau minta tolong, tolong kamu beliin mami pecel lele Pak Yayat."

"Pak Yayat? Yang di depan Komplek itu, mih?" tanya Putri memastikan.

Nadira yang merupakan Mami dari putri ini segera mengangguk, " nah, itu kamu tau."

Putri memanyunkan bibirnya, ''kenapa gak nyuruh pak Karta aja, Mam."

"Pak Karta lagi gak ada, sayang. Makanya mami nyuruh kamu."

Putri akhirnya pasrah, "ya udah deh. Sini, mana uangnya?"

Nadira tersenyum girang, dia segera memberikan uangnya kepada Putri. Putri menerima uang itu, ia segera keluar dari kamar dan turun ke bawah.

Begitu sampai di lantai bawah, Putri langsung meraih payung lipat di dekat pintu. Hujan masih turun. Kali ini tidak begitu deras, membuat suasana sore itu terasa dingin dan lembap. Ia mendesah pelan sambil mengenakan jaket jeans kesayangannya.

“Pecel lele demi Mami tercinta,” gumamnya setengah malas, setengah geli sendiri.

Begitu membuka pintu, hembusan angin dan aroma tanah basah langsung menyambutnya. Ia melangkah cepat menuju gerbang depan.

Sebenarnya, di dalam garasi rumah Putri ada mobil mungil miliknya. Namun, Putri memilih berjalan kaki.

Putri berjalan menyusuri jalanan komplek, sebelum akhirnya...

Byurrrrrr

Sebuah mobil berwarna hitam melaju cepat melewati genangan air yang berada tepat di dekat Putri, baju Putri basah terkena genangan air itu. "Woiiii... hati-hati dong!" teriak Putri tak terima.

Mobil itu terus melaju. Putri semakin misuh-misuh, "dasar orang kaya."

Putri menatap kesal ke arah mobil hitam yang kini sudah menjauh. Ia mengibaskan ujung jaketnya yang basah sambil menggerutu pelan. “Baru juga keluar rumah, udah apes duluan,” rutuknya sambil menatap jalanan.

Namun beberapa detik kemudian, mobil hitam itu justru berhenti tak jauh di depan. Lampu mundurnya menyala, dan perlahan kendaraan itu berjalan mundur ke arah Putri.

“Eh? Jangan-jangan orangnya balik mau minta maaf?” gumam Putri dengan nada curiga, tapi tubuhnya refleks melangkah mundur selangkah.

Kaca mobil perlahan turun setelah berada tepat di samping Putri, memperlihatkan seorang pria dengan jas dokter yang masih melekat di tubuhnya. Tatapan mereka bertemu sesaat. Putri menatap tajam.

“Maaf, saya nggak sengaja,” ucap sang pengemudi datar namun sopan, nada suaranya tenang tapi dingin.

Putri berkacak pinggang, menatapnya dengan ekspresi kesal. “Nggak sengaja? Basah kuyup begini dibilang nggak sengaja?”

Pria menghela napas pendek, lalu menatap jam tangannya. “Kalau saya sengaja, kamu pasti udah bukan cuma basah, tapi nyebur sekalian.”

Putri terbelalak. “Apa maksudnya tuh?!”

"Saya gak ada waktu, saya udah minta maaf, jadi saya permisi." Ucap pria itu sambil tancap gas dan pergi begitu saja meninggalkan Putri yang berdiri sendiri.

“Dasar Dokter sombong!” geram Putri, menendang kerikil kecil di kakinya.

“Liat aja ya loe, kalau kita ketemu lagi…” Ia mendengus keras.

Lanjut membaca
Lanjut membaca