Malam itu, seluruh kota diguyur hujan deras. Pemadaman listrik terjadi di mana-mana, tidak terkecuali di rumah besar keluarga Alexander.
Zenjiro, anak tunggal Tuan Alexander menyeret langkahnya ketika suara ketukan dengan jeda berulang sangat cepat terdengar di daun pintu kamarnya.
Ketika pintu dibuka oleh Zen, pemuda bertubuh tinggi itu terkejut melihat ayahnya berjalan sempoyongan masuk ke dalam kamarnya dengan kedua tangan menekan perutnya.
Situasi yang tidak terlalu terang karena listrik padam membuat Zenjiro segera membantu sang ayah untuk duduk dengan benar di salah satu kursi yang ada di dalam kamar mewahnya.
"Ayah, ada apa?" tanya Zen yang merasa sikap ayahnya terlihat aneh di matanya.
Bau amis darah tercium di hidung mancung Zen, dan Zen jadi mengerutkan keningnya.
Karena tidak bisa melihat dengan leluasa, Zenjiro segera berinisiatif untuk memakai senter yang ada di atas meja belajarnya, namun, ketika ia ingin bangkit, tangannya dicekal oleh sang ayah hingga gerakannya terhenti seketika.
Zen merasa lengannya yang dipegang oleh sang ayah, terasa licin dan basah. Sementara bau anyir darah itu semakin menguat, hingga membuat Zen menjadi mual.
"Zen, dengarkan Ayah. Kau harus pergi. Bawa brankas yang ada di kamar Ayah, pergilah ke pelabuhan, ada seseorang menunggumu di sana, sekarang!"
Suara ayahnya terdengar, terbata-bata, disertai napas yang tersengal, seolah sang ayah kesulitan untuk sekedar bernapas.
"Kenapa aku harus ke pelabuhan, Ayah? Brankas apa yang Ayah maksud?"
Zenjiro yang tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh sang ayah melontarkan pertanyaan tersebut, dan sang ayah semakin kesulitan untuk sekedar menjelaskan kembali.
"Brankas hitam. 303. Bawa ke pelabuhan, dan pergi...."
Suara Tuan Alexander semakin lemah, dan akhirnya tubuhnya merosot lunglai bersamaan dengan itu, listrik yang semula padam,menyala kembali hingga Zenjiro bisa melihat dengan jelas keadaan sang ayah yang terkulai di hadapannya bersimbah darah!
"Ayah!! Apa yang terjadi padamu?"
Dengan panik, Zen memeriksa keadaan sang ayah, dan alangkah terkejutnya Zen melihat dua luka tusukan menembus bagian jantung dan hati sang ayah, hingga luka tusukan itu mengeluarkan banyak darah, dan darah itulah yang sejak tadi tercium hidung Zen sangat anyir.
Zenjiro yang tidak pernah melihat darah sebanyak itu gemetar dan panik. Rasa mual bercampur perasaan khawatir sekaligus takut bercampur jadi satu.
Tangannya yang sempat dipegang oleh ayahnya berlumuran darah pula. Membuat pria berusia 20 tahun itu semakin gemetar.
Dalam rasa panik dan takutnya, Zen berusaha untuk menghubungi ambulans agar bisa membawa ayahnya ke rumah sakit terdekat meskipun ia melihat sang ayah terkulai seolah sudah tak bernyawa lagi di hadapannya namun, Zen masih berharap sang ayah hanya pingsan saja hingga ia berkeinginan untuk membawa ayahnya segera ke rumah sakit.
Belum lagi Zenjiro berhasil menghubungi ambulance, beberapa keluarganya, termasuk kakak angkatnya masuk ke dalam kamarnya.
Melihat keadaan ayah angkatnya, Jaden, kakak angkat Zenjiro terkejut bukan main dan langsung mendekati tubuh sang ayah angkat.
"Zen! Lu apain bokap?" tanya Jaden pada sang adik angkat dengan nada suara yang meninggi.
Semua mata langsung mengarah pada Zenjiro yang mundur dengan kepala digelengkan berkali-kali.
"Kau membunuh ayahmu sendiri, Zen?"
Pertanyaan kedua dilontarkan oleh Akash, kakak ayahnya yang memang tinggal satu rumah dengan Zen dan ayahnya berserta sang istri, Endah, yang juga masuk ke dalam kamar Zen untuk melihat apa yang terjadi di kamar keponakannya tersebut.
"Membunuh?" ulang Zenjiro tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh sang paman.
"Ya! Ayahmu tewas di kamarmu, lihat, ada dua tusukan bersarang di tubuhnya, kau sengaja membunuh ayahmu karena kau sekarang sedang dihukum oleh Alexander, kan? Dasar keponakan tidak berguna!!"
Akash mendorong tubuh Zenjiro hingga pemuda itu tersungkur di lantai kamarnya. Zen yang memang tidak pandai bicara dengan lugas lantaran ia seorang pria introvert berusaha untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Namun, kata-katanya tidak bisa ia keluarkan dengan baik, bahkan hanya tertahan di kerongkongan, hingga akhirnya Zen justru tidak bisa melakukan pembelaan dan akhirnya diseret ke kantor polisi atas tuduhan pembunuhan pada ayahnya sendiri.
"Kak! Gue kagak membunuh bokap! Percaya sama gue!"
Kalimat itu masih bisa dilontarkan Zen pada Jaden, ketika ia sudah ada di kantor polisi dan sang kakak angkat membesuknya.
Pria yang diberikan kepercayaan oleh ayah Zen untuk membantunya di kantor itu menatap wajah adik angkatnya dengan tatapan mata seperti tidak bisa melakukan apapun.
"Bokap sudah meninggal, Zen. Apa yang bisa lu jelaskan sekarang?" katanya dengan nada suara yang lemah.
"Apa? Bokap meninggal?"
Seolah disambar petir, Zen merasa sekujur tubuhnya menjadi kaku seketika mendengar kabar yang dibawa oleh Jaden.
"Sudah dimakamkan, lu baik-baik di sini, jangan bikin ulah lagi, sudah cukup lu bikin masalah sampe bokap harus tewas macam itu."
Jaden bicara lagi, dan Zen tidak mengerti mengapa ia yang difitnah membunuh ayahnya.
"Gue emang bukan anak kebanggaan bokap karena gue kagak pintar macam lu, tapi gue kagak sesadis itu, Kak! Mana mungkin gue membunuh bokap gue sendiri!"
"Ada barang bukti ditemukan polisi di kamar lu! Pisau yang pernah lu beli dan lu pamerkan sama gue waktu itu, pisau itu berlumuran darah, semua udah diperiksa, darah itu darah bokap! Pisau itu punya lu, mau menjelaskan apa lagi sekarang lu?"
Zenjiro terperangah mendengar apa yang dibeberkan oleh sang kakak angkat. Benar-benar tidak paham dengan apa yang didengarnya, terlebih lagi ia yang dikatakan menjadi seorang anak yang tega membunuh ayahnya sendiri.
Bagaimana Zenjiro bisa menerima itu semua?
"Gue udah bilang, lu itu sakit, Zen, lu harusnya ke psikiater, tapi lu kagak mau menurut sama gue, sekarang nyawa bokap taruhannya."
Suara Jaden terdengar kembali hingga membuat Zenjiro mengangkat wajahnya dan memandang sang kakak angkat yang juga melakukan hal yang sama padanya.
"Gue kagak gila, Kak! Gue waras! Gue cuma introvert! Gue kagak pandai bergaul macam lu, tapi bukan berarti gue gila!"
"Terus kenapa lu beli pisau antik itu segala? Orang sehat kagak mungkin mengoleksi pisau, Zen!"
"Pisau itu cuma gue jadikan alat untuk melindungi diri! Setiap malam gue selalu merasa ada yang ingin membunuh gue! Gue beli pisau itu bukan untuk dikoleksi!"
"Lu terobsesi dengan tokoh fiksi lu sendiri, Zen, gue tau lu bermimpi menjadi seorang komikus, lu menciptakan seorang tokoh yang mahir menggunakan pisau terbang, padahal bokap ingin lu belajar bisnis agar lu bisa jadi penerus, tapi apa yang lu lakukan? Lu justru melakukan sesuatu yang kagak disukai oleh bokap."
Telapak tangan Zenjiro mengepal mendengar apa yang dikatakan oleh sang kakak angkat. Darimana Jaden tahu apa yang selama ini dilakukannya diam-diam? Zenjiro merasa tidak pernah menceritakan masalah itu pada siapapun, tapi kenapa sang kakak angkat mengetahui masalah tersebut?