

Hujan rintik pagi itu membuat lapangan SMA Mentari Nusantara berkilau, seperti memberi efek spotlight alami pada gerbang sekolah. Orang tua menunggu, motor berjejer, dan bendera OSIS berkibar pelan. Di tengah arus siswa yang saling bergesekan, muncul sosok yang bukan tipe orang yang mudah dilihat: jaket sederhana, sepatu yang entah merek apa, dan senyum yang sejuk--Rin’s Zayn.
Rin’s Zayn menyapa satpam dengan sopan, menunduk hormat, lalu berjalan masuk. Ada sesuatu pada caranya yang membuat beberapa siswa menoleh sedikit--bukan karena penampilannya, melainkan karena aura tenang yang menyelip di balik bibir polos itu.
Di lorong, dua kakak kelas sedang mencegat anak kelas X yang baru. Mereka menaruh tugas “traktir” dipaksa, seperti ritual pendahuluan bagi anak baru yang “belum tahu posisi”. Anak itu gemetar.
Kakak 1: “Ayo, bayar. Aturan di sini begitu.”
Anak X: “Tapi aku nggak bawa uang…”
Anteseden itu hampir rutin. Namun sebelum ejekan berlanjut, langkah ringan seorang remaja menyela.
Rin’s Zayn: “Biar saya saja bantu, Kak. Biar anaknya nggak malu.”
Kedua kakak menatap, menilai. Ada bisik-bisik kecil di antara kerumunan.
Kakak 2 (mengejek): “Anak baru sok baik? Hah, lain kali jangan sok sokan.”
Rin’s Zayn tetap tersenyum. “Nggak apa-apa. Biar dia tenang masuk kelas.”
Keduanya akhirnya tertawa sinis dan pergi. Anak kelas X itu menatap Rin dengan mata seperti mau menangis sekaligus lega.
Seorang siswi berambut pendek yang berdiri tak jauh dari situ menahan tawa lalu maju.
Naya Salsabila: “Kamu baru, ya? Aku Naya. Keren, kamu langsung jadi ‘pahlawan kantin’.”
Rin’s Zayn: “Nama saya Rin’s Zayn. Senang bertemu, Naya. Hanya biasa saja.”
Ada suara tawa lembut dari belakang. Seorang cowok dengan postur atletis dan kemeja rapi lewat, sorot matanya seperti statistik yang menghitung peluang. Dia adalah legenda kecil sekolah: Kael Wirawan, pentolan kelas X-1, juara akademik dan atlet sekaligus.
Kael Wirawan: “Anak baru, ya? Semoga bisa bertahan. Mentari bukan tempat buat yang setengah-setengah.”
Nada Kael datar, sedikit menusuk. Beberapa siswa menoleh, sebagian lagi memberi anggukan hormat--begitulah kuasa nama besar.
Rin’s Zayn mengangguk sopan. “Terima kasih, Kael. Saya akan berusaha.”
Naya menyenggol bahu Rin, matanya berkilat. “Santai aja. Kalau kamu beneran care kayak tadi, orang bisa suka cepat.”
Setelah upacara, wali kelas memperkenalkan murid baru. Bu Laras, guru yang ramah tapi tegas, memperkenalkan sebaris nama. Ketika sampai pada Rin’s Zayn, suasana kelas sedikit berubah—wajah-wajah penasaran menatapnya.
Bu Laras: “SMA ini punya tradisi: setiap angkatan ada 12 kelas, tiap kelas punya ‘pentolan’--anak yang mewakili gaya dan kekuatan kelas. Tugas kalian: tunjukkan prestasi, bukan hanya pamer. Ingat, pengaruh bukan selalu berarti benar.”
Beberapa siswa saling bertukar pandang. Sistem yang resmi itu ternyata juga arena tak resmi. Ada yang hebat karena prestasi, ada yang mendominasi karena uang orang tua, ada pula yang populer karena pesona primadona mereka. Di sinilah permainan kekuasaan sosial berbentuk--dengan trophy akademik, pesta, dan tawa di kantin sebagai token.
Dito Ramadhan, anak yang selalu duduk paling belakang, menyodorkan senyum kikuk pada Rin. Dito punya riwayat: keluarga sederhana, sering dijadikan target buli tapi punya hati besar. Dari balik kacamata tebalnya, ia melihat Rin sebagai kesempatan: bukan untuk naik pangkat, tapi untuk punya teman yang tak menghakimi.
Dito: “Eh, Rin… kalau mau, ikut gabung di pertemuan kecil kita jam istirahat. Kami ada grup belajar. Biar nggak asing.”
Rin’s Zayn: “Boleh. Terima kasih, Dito.”
Makan siang menjadi acara observasi. Di pojok, Primadona--yang wajahnya seperti iklan kosmetik--bersandar santai ditemani dua pengikut. Mereka memandangi kerumunan seperti memilih baju di rak.
Tiba-tiba, papan pengumuman menarik perhatian semua. Poster besar: “Kompetisi Cendekia Nusantara--Ajang Adu Cerdas Semua Bidang.” Warna neon, logo sponsor, dan daftar cabang lomba yang lengkap. Sekolah bergemuruh.
Kael Wirawan tersenyum tipis ketika melihat poster itu, seperti anjing pemburu yang mencium medan. “Ini kesempatan. Siapa berani bersaing?”
Percakapan di koridor berubah jadi politik mikro. Ada yang berbisik tentang beasiswa, ada yang membuka aplikasi pendaftaran. Tiba-tiba, ide kolaborasi muncul sebagai strategi--bukan hanya kemampuan, tapi jaringan.
Malamnya, setelah pulang, Rin melewati gang kecil saat pulang. Sebuah pengepungan--bapak tua diserang dua preman--muncul di depan matanya. Tanpa berteriak, Rin bergerak.
Gerakannya halus: bukan pamer, bukan mencari perhatian. Tendangan, sapuan, teknik yang terlihat sederhana tapi hasilnya efektif. Dua preman bubar, warga menatap dengan mata membulat. Bapak tua menatap Rin seolah baru melihat pahlawan di drama viral.
Bapak Tua: “Nak… kamu baik-baik saja?”
Rin’s Zayn: “Saya hanya ingin membantu, Pak.”
Dia pergi seperti biasa--tenang, sopan, senyum yang tidak sensasional. Hanya sepasang mata di kejauhan yang mengikutinya, heran sekaligus tertarik.
Keesokan hari di sekolah, rumor mulai menyalak. Ada yang melihat, ada yang cuma dengar. Di antara bisik-bisik itu, satu hal jelas: Rin’s Zayn bukan sekadar anak polos yang suka menolong. Ada sesuatu di balik senyum itu--sesuatu yang membuat Kael menaruh pandangan berbeda, membuat Naya penasaran, dan membuat Dito merasa sedikit lebih aman.
Di akhir pelajaran, ketika matahari mulai menurun, Rin dan teman barunya berdiri di depan papan pengumuman lagi. Naya melihat wajah Rin yang tenang dan bertanya sambil setengah menggoda.
Naya Salsabila: “Jadi, serius mau ikut lomba ‘Cendekia’ itu?”
Rin’s Zayn: (tersenyum polos) “Kalau ada kesempatan untuk belajar dan membantu orang, kenapa tidak?”
Naya menoleh, matanya penuh misteri. “Hati-hati. Di sini bukan cuma soal belajar. Di sini juga soal siapa yang berkuasa.”
Rin menatap poster, lalu menatap ke arah aula di mana Kael dan kelompoknya sedang berdiskusi. Sebuah rasa ingin tahu yang lembut dan tekad membara bersatu di dadanya.
Rin’s Zayn: “Kalau begitu, kita mulai dari nol.”
Lampu-lampu koridor berkedip, menutup hari pertama dengan nuansa yang sama seperti awal sebuah novel viral: tenang di permukaan, penuh arus di bawahnya. Dan di antara arus itu, seseorang mulai merajut jejak yang tak akan mudah dihapus.