Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Dihina, Diceraikan, Kini Aku Pewaris Harta Tak Terhitung

Dihina, Diceraikan, Kini Aku Pewaris Harta Tak Terhitung

Akina | Bersambung
Jumlah kata
31.3K
Popular
408
Subscribe
176
Novel / Dihina, Diceraikan, Kini Aku Pewaris Harta Tak Terhitung
Dihina, Diceraikan, Kini Aku Pewaris Harta Tak Terhitung

Dihina, Diceraikan, Kini Aku Pewaris Harta Tak Terhitung

Akina| Bersambung
Jumlah Kata
31.3K
Popular
408
Subscribe
176
Sinopsis
PerkotaanSlice of lifeMiliarderMenantuPria Miskin
Suatu malam musim hujan yang larut, udara di luar begitu menusuk. Jaka Wiratama baru saja pulang ke rumah dengan setangkai bunga di tangan. Hari itu adalah ulang tahun pernikahannya yang ketiga. Ia lelah, namun bahagia, membayangkan malam yang hangat bersama istrinya. Namun, begitu masuk, ia melihat ibu mertua dan adik iparnya sudah duduk di ruang tamu. Sebelum sempat menyapa, sebuah dokumen dilempar ke arahnya—Surat Perjanjian Cerai. Jaka tertegun, membeku di tempat. Ibu mertuanya langsung menjelek-jelekkan dirinya, sementara sang adik ipar hanya duduk menonton TV dengan tatapan meremehkan. Jaka menolak menandatangani kecuali istrinya sendiri yang mengatakan langsung. Lalu adik iparnya menunjuk tanda tangan pada dokumen itu—tanda tangan Amanda. Jaka terdiam. Ia mengenali tulisan tangan itu. Beberapa hari lalu, Amanda masih bermesraan dengannya… Bagaimana mungkin sekarang ia menggugat cerai?
1

Malam itu sarat dengan rasa gelisah. Jaka melangkah di jalanan yang temaram, membawa erat seikat bunga lili putih di tangannya. Bunga itu adalah favorit Amanda—lembut, anggun, dan abadi, sama seperti cinta yang ia kira masih mereka miliki. Ia merapikan kerah mantel panjangnya saat angin dingin menyapu, namun pikirannya sama sekali bukan pada udara yang menusuk.

Malam ini adalah hari jadi pernikahan mereka.

Ia melirik arloji di pergelangan tangan—pukul 20.45. Ia terlambat. Pekerjaan menahannya lebih lama dari rencana, tapi Jaka yakin Amanda akan mengerti. Dia selalu mengerti. Atau… setidaknya, dulu.

Cahaya keemasan dari jendela rumah mereka tampak hangat dan mengundang. Untuk sesaat, Jaka membiarkan dirinya membayangkan reaksi Amanda. Dia akan mengomel karena Jaka pulang terlambat, tentu saja, tapi lalu ia akan tersenyum—lembut dan memaafkan. Mereka akan bersulang untuk satu tahun lagi bersama, satu tahun lagi janji-janji yang mereka pegang.

Namun saat ia melangkah masuk, ada sesuatu yang… berbeda.

Rumah itu terlalu sepi. Terlalu sepi untuk malam yang seharusnya dipenuhi perayaan. Aroma parfum Amanda masih samar di udara, tetapi terasa dingin, jauh, seolah dia sudah pergi selama berjam-jam.

Jaka meletakkan bunga di meja dekat pintu masuk dan memanggil.

"Amanda?" Suaranya bergema pelan di sepanjang lorong.

Tidak ada jawaban.

Ia berjalan masuk ke ruang tamu, derit lembut lantai kayu mengikuti setiap langkahnya. Di sanalah ia melihatnya—sebuah amplop tunggal tergeletak di meja kopi, putihnya begitu mencolok di atas permukaan kayu gelap. Seketika, hatinya terasa tenggelam, simpul tak nyaman mengencang di dadanya.

Meski begitu, ia meraih amplop itu, beratnya seperti menambah beban di perutnya, dan membukanya.

Di dalamnya, ada selembar surat cerai. Sudah ditandatangani.

Jaka menatap dokumen itu, matanya berkunang-kunang saat kata-kata di depannya mulai kabur. Cerai. Kata itu terdengar asing, bahkan konyol. Perlahan ia duduk, pikirannya berpacu mencari alasan. Ini tak mungkin terjadi. Bukan malam ini. Bukan pernah.

Namun, kenyataannya, inilah yang terjadi.

Bunyi ketukan sepatu hak di lantai ubin memecah pikirannya. Ia menoleh tepat saat Yuli Moore, ibu Amanda, muncul di ambang pintu. Wajahnya setajam jas mahal yang dikenakannya, dengan senyum sinis yang membuat rasa tak nyaman Jaka semakin dalam.

"Well, well," ujarnya lambat, suaranya dipenuhi nada merendahkan. "Akhirnya kau menemukannya juga."

Jaka berdiri cepat, rahangnya mengeras. "Di mana Amanda?"

Yuli mengangkat alis, menyilangkan tangan di dada. "Jelas bukan di sini." Ia melirik dokumen yang masih Jaka genggam. "Tapi dia sudah membuat keinginannya jelas, bukan?"

"Keinginan?" Suara Jaka rendah, mengancam. "Dia bahkan tidak bilang apa-apa—"

"Dia tidak berutang penjelasan padamu." Nada Yuli berubah dingin. "Kau sudah diberi kesempatan, Jaka. Jujur saja, aku heran dia bisa tahan selama ini."

Tangan Jaka mengepal di sisi tubuhnya. Ia melangkah maju, suaranya tenang tapi dibalut amarah. "Di mana dia?"

Senyum Yuli melebar. "Keluar. Bersama seseorang yang benar-benar pantas untuknya. Kau seharusnya berterima kasih. Akhirnya dia bisa move on dari—" ia berhenti sebentar, menatap Jaka dari ujung kepala sampai kaki dengan jijik, "—ini."

Sebelum Jaka sempat menjawab, suara lain menyelip di antara ketegangan.

"Ibu, jangan buang napas untuk dia."

Jaka menoleh dan melihat Olivia, adik Amanda, masuk dengan santai. Ia mengenakan pakaian kasual, ponsel di satu tangan, dan senyum mengejek di wajahnya. "Dia tidak sepadan."

Ucapan Olivia terasa seperti tamparan. Jaka menegakkan tubuhnya, tatapannya mengeras. "Aku tidak ke sini untuk bertengkar denganmu," ujarnya datar. "Aku hanya ingin bicara dengan istriku."

Olivia tertawa pendek, menggeleng. "Istri? Maksudmu mantan istri. Dia sudah selesai denganmu, Jaka. Sudah move on. Kau juga harus begitu."

Simpul di dada Jaka semakin mengencang, tapi ia menolak menunjukkan celah di pertahanannya. "Aku mau dengar itu darinya," katanya mantap. "Bukan dari kalian."

Yuli mendesah panjang, memutar bola mata. "Astaga, Jaka. Kenapa kau membuat ini sulit? Amanda sudah memutuskan. Tandatangani saja surat itu dan lanjutkan hidupmu."

Jaka menatapnya lama. Wanita yang pernah menyambutnya hangat dalam keluarga ini, kini berdiri di hadapannya seolah dia hanyalah beban.

Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kata-katanya. Melainkan kenyataan bahwa Amanda tidak akan kembali.

Jaka melangkah keluar rumah dengan langkah cepat, napasnya berat dan tersengal. Udara malam yang tajam menusuk kulitnya, tapi tidak mampu menjernihkan pikirannya. Ia merogoh ponsel dari saku, jemarinya sedikit bergetar saat menekan nama Amanda di layar, lalu memanggilnya.

Nada sambung terdengar sekali. Dua kali. Lalu—

“Halo?”

Suaranya lembut, familiar… tapi terasa jauh.

“Amanda,” ucap Jaka, suaranya tegang dipenuhi emosi. “Kita perlu bicara.”

Ada jeda sejenak. Lalu, di latar belakang, ia mendengarnya—tawa rendah seorang pria.

Jaka terdiam, genggamannya pada ponsel semakin erat. “Siapa yang bersamamu?”

Hening lagi. Saat Amanda kembali bicara, nadanya datar, hampir kesal. “Jaka, ini bukan waktu yang tepat.”

“Siapa yang bersamamu?” ulangnya, suaranya meninggi.

“Bukan urusanmu,” balasnya tajam.

Jaka merasakan sesuatu di dalam dirinya retak, rasa sakit yang mentah dan membakar tak bisa ia abaikan. “Amanda, kumohon,” katanya lebih lembut kini, hampir memohon. “Katakan saja di mana kamu. Aku harus menemuimu.”

Tawa itu terdengar lagi di latar, kali ini lebih keras. Rahang Jaka mengeras, gelombang amarah dingin membanjiri dadanya.

“Amanda,” ucapnya lagi, suaranya kini lebih tegas. “Katakan di mana kamu.”

Sejenak, hening kembali. Lalu, dengan helaan napas, Amanda menyerah. “Baiklah. Aku di Hotel Harris. Tapi, Jaka—”

Ia tak menunggu Amanda menyelesaikan kalimatnya. Ia menutup telepon, pikirannya sudah berpacu.

Saat Jaka melaju menembus kota, buket lili putih itu masih tergeletak di kursi penumpang. Pikirannya berkecamuk. Suara tawa pria itu terus bergema di kepalanya, mengejek, membakar bara di dadanya.

Ia menggenggam setir erat-erat hingga buku jarinya memutih. Amanda adalah segalanya baginya. Dia alasan Jaka bekerja lembur, alasan dia mendorong dirinya menjadi lebih baik. Dan sekarang, dia mulai menghilang dari genggaman, tawanya dicuri orang lain.

Tapi tidak malam ini.

Malam ini, ia akan menemuinya. Malam ini, ia akan mendapat jawaban.

***

Hotel Harris menjulang di depan, fasadnya yang ramping dan modern bersinar di bawah langit malam. Jaka memarkir mobil dan turun, jantungnya berdetak kencang saat ia melangkah menuju pintu masuk. Petugas pintu memberi anggukan sopan, tapi Jaka nyaris tak memperhatikan.

Di dalam, lobi hotel ramai—pasangan yang tertawa, pebisnis yang bergegas—namun Jaka merasa seperti berjalan di dalam kabut. Ia menuju meja resepsionis, suaranya tenang tapi tegas.

“Saya mencari Amanda Moore,” katanya.

Resepsionis itu ragu, matanya menatap Jaka penuh rasa ingin tahu. “Maaf, Pak, tapi kami tidak bisa memberikan—”

“Itu penting,” potong Jaka, nadanya tajam. “Sebutkan saja nomor kamarnya.”

Resepsionis itu kembali menatap Jaka, lalu melirik layar komputernya. Akhirnya, ia menyerah. “Kamar 1408.”

Jaka mengangguk dan berbalik menuju lift, langkahnya cepat dan mantap. Saat pintu lift menutup, ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

Namun pikirannya terus berputar.

Apa yang akan ia temukan di balik pintu itu? Apakah Amanda akan mau bicara dengannya? Atau ia akan disambut dengan lebih banyak tawa… lebih banyak pengkhianatan?

Bunyi ding lembut terdengar saat lift tiba di lantai empat belas. Jaka melangkah keluar, jantungnya berdebar kencang saat ia menyusuri lorong.

Kamar 1408.

Ia berhenti di depan pintu, tangannya menggantung di atas gagang. Sesaat ia ragu. Lalu, dengan tarikan napas dalam, ia mengetuk.

Suara ketukan itu bergema di lorong, dan untuk beberapa detik, tak ada yang terjadi. Lalu, perlahan, pintu itu mulai terbuka.

Dunia Jaka pun terguncang.

“Amanda!”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca