

Tubuh Aros terhempas ke lantai pabrik, darah hangat mengalir di wajahnya. Ratusan serpihan kaca berhamburan, dan sebagian menusuk matanya. Seketika pandangannya buram.
“Aku ... tidak bisa melihat,” gumamnya dengan suara serak, bergetar. Panik dan putus asa bercampur menjadi satu.
Beberapa rekan kerja berteriak memanggil pertolongan. Sirene ambulans meraung, lalu kesadaran Aros lenyap di tengah rasa sakit yang menyesakkan.
Ketika terbangun, bau obat menyengat hidungnya. Lampu putih rumah sakit terasa terlalu terang, Aros tidak bisa melihat. Dunia yang dulu penuh warna kini berubah menjadi kegelapan abadi.
“Pak Aros,” suara dokter terdengar hati-hati, “Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi serpihan kaca yang mengenai saraf matanya… sangat parah. Maaf, kemungkinan besar penglihatan Bapak tidak bisa kembali.”
Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari kaca yang menembus matanya. Buta. Selamanya.
Aros terdiam. Lidahnya kelu. Tangannya gemetar mencari-cari seolah berharap bisa meraba dunia yang hilang darinya. Yang Aros rasakan hanya dinginnya besi ranjang rumah sakit.
Hari demi hari berlalu. Ia menolak makan, menolak bicara, bahkan menolak dikunjungi keluarga. Malam-malamnya penuh tangisan tanpa suara. Hatinya terjerat putus asa, begitu dalam hingga Aros sempat berbisik lirih pada dirinya sendiri,
“Kalau begini ... untuk apa aku hidup?”
***
Namun pada suatu malam, sesuatu yang aneh terjadi.
Matanya yang hampa tiba-tiba terasa panas, seperti terbakar dari dalam. Rasa sakit itu tidak wajar—seolah ada pisau berputar dalam bola matanya. Ia menggigit lidah, menahan jerit, tapi rasa sakitnya makin mengganas.
“ARGHHHHH!!!” Aros meraung, suaranya menggema ke seluruh bangsal.
Perawat berlari panik, tapi Aros sudah berguling di lantai. Tubuhnya berkeringat deras, kedua tangannya menekan wajahnya dengan putus asa.
Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan, Aros melihat. Tapi bukan penglihatan normal—melainkan dunia yang terbelah. Ia melihat tubuh manusia transparan, tulang, aliran darah, bahkan percikan cahaya aneh yang menari di sekitar mereka.
“A ... apa ini?”Napasnya terengah. Ia bisa melihat menembus dinding rumah sakit, melihat detak jantung pasien di kamar lain, bahkan aura gelap samar yang bersembunyi di tubuh seorang perawat.
Di saat yang sama, suara berbisik menggema di kepalanya.
“Pandanganmu adalah anugerah, sekaligus kutukan. Mata iblis, pandangan dewa. Jika kau tak mampu mengendalikannya, kau akan hancur.”
Aros membeku. Tubuhnya gemetar hebat, antara takut sekaligus takjub
Aros terduduk di lantai rumah sakit, tubuhnya masih bergetar. Matanya yang semula hampa kini seperti memiliki kehidupan sendiri.
Aros mengangkat tangannya pelan. Urat nadi, aliran darah, bahkan denyut jantungnya sendiri terlihat jelas. Seolah dunia membuka diri dan menelanjangi semua rahasianya.
“Tidak ini tidak mungkin,” gumamnya dengan suara serak.
Tapi semakin Aros berusaha mengalihkan pandangan, semakin banyak hal aneh yang terlihat.
Perawat yang masuk ke kamar—seorang wanita berusia tiga puluhan—dilihatnya seakan transparan.
Aros bisa melihat paru-parunya yang menghitam, jelas karena kecanduan rokok. Tapi yang membuat bulu kuduknya berdiri bukan itu, melainkan bayangan hitam yang melingkar di sekeliling tubuh perawat, seperti kabut hidup yang berbisik-bisik.
“Dia berbohong, dia menyembunyikan sesuatu,” bisikan itu masuk langsung ke telinganya.
“Siapa kau?!” Aros menjerit, tapi perawat itu hanya terpaku kaget.
“Pak Aros, tenang, tolong tenang,” ucapnya gugup sambil menekan tombol darurat. Namun di mata Aros, kabut hitam itu makin padat, wajah perawat itu terlihat dua lapis, lapisan luar yang tersenyum palsu, dan lapisan dalam yang penuh kebencian.
“Jangan, jangan dekati aku!” Aros mundur, tangannya meraba-raba, tapi ia justru melihat semuanya terlalu jelas. Bahkan tembus dinding, tembus langit-langit, hingga ia bisa melihat kota di luar rumah sakit.
Ribuan cahaya melayang-layang, sebagian terang benderang, sebagian redup dan beberapa hitam pekat seperti api neraka.
Tubuh Aros semakin gemetar. Kepalanya seakan mau pecah.
Tiba-tiba, suara lain—dalam, berat, menyeramkan—bergema di kepalanya.
“Pandanganmu kini adalah mata iblis dan pandangan dewa. Kau bisa melihat kebenaran tapi kebenaran tidak selalu bisa diterima manusia. Jika kau lemah, mata ini akan melahapmu.”
Aros menjerit lagi, kali ini lebih keras. Kepalanya dihantam rasa sakit tak tertahankan, seolah bola matanya ditusuk dari dalam. Ia menghantamkan kepalanya ke ranjang besi, berharap rasa sakit itu berhenti.
“ARGHHHH!!!”
Darah merembes dari sudut matanya.
Tiba-tiba penglihatannya berubah lagi.
Rumah sakit lenyap. Perawat, ranjang, bahkan dinding sekitarnya sirna. Yang tersisa hanyalah lautan merah darah, dan di tengahnya berdiri sebuah pedang hitam raksasa yang memancarkan cahaya gelap.
Pedang itu bergetar, lalu suara bergema keluar.“Kau adalah Tuanku atau mangsaku. Pilih jalanmu, Aros.”
Jantung Aros berdegup kencang. Tangannya gemetar ketika ia melihat pedang itu berdenyut seperti jantung, seolah hidup dan lapar.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Aros akhirnya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, tapi matanya, matanya kini seperti memiliki kehidupan lain. Pandangan yang terlalu tajam, terlalu jelas, hingga ia harus berulang kali menunduk agar tidak gila melihat semua rahasia orang di sekitarnya.
“Ros, sini aku bantu.”
Seorang pria berwajah ramah dengan tubuh agak kekar menghampiri. Boy, teman dekat sekaligus rekan kerja Aros di proyek kontraktor. Boy yang setia menjenguknya selama dirawat, bahkan mengurus administrasi rumah sakit.
Aros hanya mengangguk pelan. “Makasih, Boy.”
Mereka berjalan keluar bersama. Udara sore terasa lebih segar daripada bau obat rumah sakit, tapi hati Aros masih digelayuti kegelisahan.
Baru beberapa langkah di halaman rumah sakit, sebuah mobil hitam berhenti mendadak di depan mereka. Dari dalam turun seorang pria berkemeja rapi, perutnya buncit, wajahnya penuh kesombongan.
“Aros!” suaranya lantang. “Akhirnya ketemu juga kau.”
Aros mengerutkan dahi. “Pak Darman?”
Darman, pemilik kontraktor tempat Aros bekerja.
Tanpa basa-basi, Darman menyodorkan sebuah amplop cokelat. “Ini gaji terakhirmu. Terimalah. Kau tidak perlu datang lagi ke proyek.”
Aros tertegun. “Maksud Bapak?”
Darman menyeringai sinis. “Kau sudah merusak peralatan kerja kami. Kaca tebal yang kau jatuhkan itu harganya puluhan juta. Kau kira perusahaan bisa menutupinya begitu saja? Anggap saja aku masih berbaik hati memberimu gaji sebulan penuh. Setelah ini, urusan kita selesai.”
Boy langsung maju selangkah, wajahnya merah menahan marah. “Pak Darman! Aros kecelakaan waktu kerja, harusnya perusahaan tanggung jawab! Ini malah diperlakukan kayak barang rusak?! Tidak ada belas kasihan sedikit pun?”
Darman mendengus. “Belas kasihan? Dunia kerja tidak kenal belas kasihan. Lagi pula, pekerja bisa dicari banyak. Kau pikir aku harus tanggung beban orang buta seumur hidup?”
Kata-kata itu menusuk hati Aros. Tangannya gemetar menerima amplop itu, sementara kepalanya menunduk. Tapi justru pada saat itulah matanya berdenyut lagi.
Seketika pandangannya berubah. Darman tidak lagi terlihat sebagai manusia biasa. Dari tubuhnya memancar aura hitam pekat, berputar liar seperti asap neraka. Dan di balik jas rapinya, Aros melihat, uang kotor, amplop suap.
“Jadi ini wajah aslimu, Darman.” Aros bergumam lirih, hampir berbisik.
Boy menoleh. “Apa, Ros?”
Aros menggeleng cepat, mencoba menahan gejolak dalam dadanya. Matanya masih berdenyut, seolah ingin mengoyak tubuh Darman hingga hancur.
Darman melangkah mendekat, menepuk pundak Aros dengan kasar. “Ambil ini, lalu enyahlah dari hidupku. Kau hanya membawa sial.”
Sejenak, Aros ingin meledak, ingin menyingkap kebusukan bos kejam itu di depan semua orang. Namun bisikan gelap kembali menggema di kepalanya:
“Jika kau membuka rahasia dunia, darah akan mengalir. Mata ini bisa jadi pedangmu, atau liang kuburmu.”