

Malam selalu datang lebih cepat di Dusun Kalipetung, seolah lembah ini punya cara sendiri menelan cahaya. Begitu matahari tenggelam di balik bukit, kabut turun perlahan seperti napas panjang yang menutupi pepohonan bambu. Udara yang lembap membuat kulit merinding bahkan sebelum gelap benar benar jatuh. Di dusun inilah Gito Subandi lahir, tumbuh, dan memendam rasa ingin pergi yang tak pernah benar benar padam.
Malam itu, suara jangkrik menguasai halaman rumah kayu keluarga Gito. Angin yang bertiup dari arah hutan membuat genting berderit kecil. Gito duduk di dipan bambu, memandangi ibunya yang masih sibuk menyalakan petromak. Nyala cahayanya pelan pelan membesar, menyingkap bayangan yang sebelumnya merayap di dinding. Petromak itu satu satunya sumber cahaya rumah mereka. Setiap malam, ibunya menghidupkannya dengan perasaan yang sama antara takut dan pasrah.
Cahayanya sedikit goyah saat Gito menghela napas. Seharian ia membantu menebas rumput di ladang milik tetangga demi upah yang tak seberapa. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya tak bisa diam. Masih ada bayangan yang terus menerus menempel di belakang kepalanya. Bayangan tentang ayahnya. Bayangan tentang malam itu.
Ibunya menoleh setelah petromak menyala terang. Di wajahnya ada gurat lelah yang tak pernah hilang sejak kematian suaminya. Namun tatapan matanya selalu lembut saat melihat Gito.
“Kamu sudah makan nak” tanyanya pelan.
“Belum Bu Nanti saja” jawab Gito sambil mengusap tengkuknya. “Aku masih kepikiran lagi Bu”
Ibunya berhenti sejenak, seolah tahu arah pikiran anaknya. “Ayahmu sudah tenang Git Jangan kamu pikirkan terus”
Gito mengangguk, meski tak sepenuhnya percaya. Apa yang dialami ayahnya bukan sesuatu yang bisa dianggap selesai begitu saja.
Malam itu, sekitar dua bulan lalu, ayahnya ditemukan tergeletak di tepi hutan. Tubuhnya membiru, bukan karena gigitan ular atau luka senjata. Tidak ada darah. Tidak ada goresan. Hanya memar besar seolah ia dipeluk sesuatu dengan kekuatan yang tidak dimiliki manusia. Warga dusun berbisik bisik, menyebut nama yang tak semua berani ucapkan keras keras. Gendruwo. Makhluk besar berbulu dengan mata merah yang sering jadi cerita di sekitar api unggun. Tapi apa pun yang terjadi pada ayahnya, Gito tahu itu bukan sekadar cerita rakyat.
Ia sendiri melihat sesuatu malam itu, sebelum jenazah ayahnya ditemukan. Sesuatu setinggi pohon pisang, berdiri di pinggir rumah, hanya terlihat sekilas dari balik tirai. Mata merahnya menyorot tajam seolah menunggu.
Sejak saat itu, Gito tak pernah merasa benar benar sendiri.
Ibunya duduk di sampingnya. “Kalau kamu terus memikirkan hal hal seperti itu kamu makin susah tidur Git Ingat pesan Mbah Kalinawan Yang sudah lewat biarkan lewat”
Nama itu membuat Gito mengangkat wajah. Mbah Kalinawan, sesepuh dusun yang dihormati, seorang pemangku adat yang dipercaya memahami hal hal gaib dan tata aturan leluhur. Lelaki tua yang selalu membawa tongkat bambu, berjalan pelan namun suaranya tegas. Ia yang memimpin pemakaman ayahnya, ia pula yang memberi peringatan halus kepada Gito seminggu setelahnya.
Akan ada yang datang mencarimu Jangan keluar rumah kalau malam sudah turun sepenuhnya
Kalimat itu terus terngiang.
“Bu” Gito membuka suara lagi “Menurut Ibu bener ndak kalau ayah itu jadi korban makhluk begituan”
Ibunya langsung menepis. “Sudah sudah Jangan bicara sembarangan Kamu masih muda jangan ditakut takuti pikiranmu sendiri”
“Tapi orang orang ngomong begitu Buktinya juga aneh”
“Omongan orang itu belum tentu benar Git Lebih baik kamu istirahat”
Gito ingin membantah, tapi suara ibunya sudah mulai bergetar. Ia tahu ibunya sengaja menghindar. Bukan karena tidak percaya, tapi karena terlalu percaya. Dan ketakutan membuat segala sesuatu lebih baik tidak dibicarakan.
Malam semakin pekat. Hanya petromak yang menjaga mereka dari kegelapan yang terasa seperti sedang mengamati dari balik dinding rumah. Gito berdiri dan menuang air ke baskom kecil untuk membasuh muka. Airnya dingin, membuat lengannya merinding.
Saat mengusap wajah, ia menangkap sesuatu di ujung mata. Bayangan. Secepat kilat, hitam pekat, bergerak di luar jendela. Gito menahan napas. Ia menatap ke kaca, tapi hanya sisa bayangan kabut yang terlihat.
Mungkin hanya angin. Atau mungkin bukan.
Ia berjalan keluar ke teras, membuka pintu perlahan agar engselnya tidak berderit. Hembusan angin malam menyentuh lehernya seperti tangan dingin yang tidak terlihat. Pepohonan di belakang rumah bergerak pelan. Tidak ada suara selain gesekan daun dan langkah langkah kecil hewan malam.
Gito berdiri di sana beberapa detik, mencoba menenangkan dirinya sendiri, tapi detak jantungnya justru makin keras.
Lalu ia mendengar sesuatu.
Suara napas. Berat. Dalam. Seperti tarikan udara makhluk besar.
Gito memicingkan mata, mencoba menemukan sumber suara itu. Ia melangkah ke pinggir teras. Begitu kakinya menyentuh tanah, suara itu berhenti. Hening. Sampai ia bisa mendengar bunyi getaran petromak dari dalam rumah.
Mungkin hanya pikiranku saja gumamnya mencoba keras untuk percaya.
Namun sebelum ia berbalik masuk, sebuah suara lain terdengar.
Gito…
Suara itu tidak keras, tapi menggema seolah datang dari dalam dadanya sendiri. Suara serak, berat, bukan suara manusia. Gito membeku. Tenggorokannya terasa kering. Ia menatap ke arah hutan, dan di sana, samar samar, ia melihat dua titik merah.
Mata. Menatapnya.
Gito melangkah mundur dengan napas tersengal. Jantungnya melonjak hingga ke tenggorokan. Kedua mata itu tidak bergerak, hanya menatap diam seolah menunggu reaksi.
Gito memutar badan dan berlari masuk ke rumah, menutup pintu dengan cepat. Ibunya terkejut mendengar suara pintu menggemuruh.
“Ada apa Git”
“Aku lihat sesuatu di luar Bu”
Ibunya segera berdiri. “Kamu jangan macam macam Kalau malam begini jangan keluar rumah!”
“Aku gak keluar jauh Bu Cuma di teras Tapi tadi ada… ada mata Bu”
Ibunya langsung meraih tangan Gito dan menggenggam kuat. Wajahnya pucat. Bukan karena terkejut, tapi karena ia tampak seperti seseorang yang sudah tahu hal itu akan terjadi.
“Besok pagi kamu ikut aku ke rumah Mbah Kalinawan” katanya akhirnya. “Sudah waktunya kamu tahu sesuatu”
---
Pagi di Dusun Kalipetung tidak pernah benar benar cerah. Kabut masih menggantung bahkan ketika matahari sudah naik. Gito mengikuti ibunya menapaki jalan setapak menuju rumah Mbah Kalinawan. Rumah sang pemangku adat berada sedikit di atas bukit kecil, dikelilingi pohon randu tua yang konon sudah ada bahkan sebelum dusun didirikan.
Rumah itu sederhana tapi kuat, terbuat dari kayu jati dengan dinding berwarna kecokelatan. Di depannya tergantung hiasan kecil dari janur kering, sebuah penanda tempat tinggal seseorang yang memiliki kedudukan adat.
Mbah Kalinawan sedang duduk di bale bambu depan rumah, memegang tongkatnya. Tatapan matanya yang tajam seperti bisa melihat isi kepala siapa pun. Ketika Gito dan ibunya mendekat, lelaki tua itu mengangguk pelan.
“Kalian datang akhirnya” katanya tanpa basa basi. “Mari masuk”
Di dalam rumah, bau kemenyan samar memenuhi ruangan. Tidak menyengat, hanya seperti aroma yang sudah lama tinggal di sana. Mbah Kalinawan duduk bersila dan mempersilakan mereka melakukan hal yang sama.
“Gito Subandi” suara Mbah Kalinawan perlahan namun tegas. “Apa yang kamu lihat semalam bukan hal baru bagi keluargamu”
Gito menelan ludah. “Itu… memang apa Mbah”
“Makhluk itu sudah mengikuti garis darahmu sejak lama Nak Sejak zaman buyutmu. Sudah tiga generasi ia mengambil yang menjadi bagiannya”
Ibunya menunduk, tangan gemetar.
“Makhluk apa Mbah” suara Gito nyaris berbisik.
Mbah Kalinawan menatapnya dalam dalam. “Gendruwo. Bukan sembarang gendruwo. Ia yang disebut Penunggu Salira. Makhluk yang memilih satu keturunan manusia untuk ia tandai sebagai bagian dirinya”
Gito merasakan udara di sekitarnya mengeras. “Kenapa keluarga kami Mbah Kenapa ayah saya”
“Karena leluhurmu pernah membuat perjanjian. Perjanjian yang kini tak bisa diputuskan begitu saja”
Keheningan memenuhi ruangan.
“Dan sekarang” lanjut Mbah Kalinawan “giliranmu Nak”
Gito terpaku.
“Apa maksudnya Mbah”
Mbah Kalinawan meletakkan tongkatnya dan mendekat sedikit. “Saat makhluk itu memanggil namamu itu tanda awal. Ia sudah mulai mengakui kamu sebagai warisannya”
Rahang Gito mengencang. “Saya bukan milik makhluk itu Saya bukan bagiannya”
“Keinginanmu tidak cukup untuk menghentikannya Gito” jawab Mbah Kalinawan. “Tapi kamu belum terlambat. Jika kamu mau melawan aku bisa membantumu. Tapi jalannya panjang dan tidak mudah”
Gito menghela napas panjang mencoba meredam gemuruh di dadanya. “Saya akan lakukan apa saja Mbah Asal saya tidak bernasib seperti ayah”
Mbah Kalinawan menatapnya lama, lalu berkata dengan suara dalam. “Kalau begitu malam ini kamu harus siap. Karena makhluk itu akan datang lagi.”
Gito merasakan sesuatu turun dari tengkuknya hingga punggung. Bukan dingin. Bukan takut. Sesuatu di antara keduanya.
Gito sadar bahwa hidupnya tidak akan pernah kembali normal.