

Suara sirene ambulans meraung di depan rumah sakit pusat Jakarta malam itu. Lampu merah biru berputar, berkilau di dinding kaca gedung tinggi yang selalu sibuk tanpa mengenal waktu. Di ruang IGD, para perawat berlari kecil, mendorong brankar berisi pasien yang tak sadarkan diri. Bau darah bercampur cairan antiseptik memenuhi udara, sebuah aroma yang sudah akrab bagi mereka yang bekerja di sana.
Di tengah hiruk pikuk itu, seorang pria muda berdiri dengan tatapan tajam namun penuh ketenangan. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa lelah, kantung mata hitam akibat shift panjang yang tak mengenal istirahat. Namun tangannya tetap kokoh memegang sarung tangan steril, siap menghadapi apa pun yang datang.
Itulah Arka Pratama, dokter muda berusia 25 tahun, baru beberapa bulan menyelesaikan residensi kedokteran umum. Banyak orang seusianya mungkin masih sibuk mengejar karier atau bersantai menikmati masa muda, tapi Arka sudah terbiasa berhadapan dengan hidup dan mati setiap hari.
“Dokter Arka! Pasien laki-laki, luka tusuk dada kiri, perdarahan aktif, tekanan darah turun cepat!” teriak seorang perawat sambil mendorong brankar ke ruang tindakan.
Arka langsung bergerak. “Siapkan oksigen, pasang infus besar, crossmatch darah segera!” suaranya tegas, nyaris seperti komando militer. Para perawat langsung menuruti tanpa membantah, karena meskipun usianya muda, Arka dikenal sigap dan tak pernah ragu mengambil keputusan.
Tangannya bekerja cepat, membuka pakaian pasien, memeriksa luka, lalu menekan sumber perdarahan dengan kasa steril. Sementara itu monitor menunjukkan denyut nadi pasien melemah. Situasi kritis.
“Dok, jantung melemah!” seru salah satu perawat.
Arka menggertakkan giginya. “Siapkan defibrillator! Jangan biarkan dia pergi sekarang!”
Detik-detik yang menegangkan itu membuat keringat dingin mengalir di pelipis Arka. Ia tahu, kesalahan sekecil apa pun bisa berarti hilangnya satu nyawa. Dan sebagai dokter, ia tidak bisa menerima kegagalan. Ia mengingat sumpah yang pernah ia ucapkan saat kelulusan: “Aku akan mengabdikan hidupku untuk kemanusiaan.”
Namun, tepat ketika ia hendak mengambil pisau bedah untuk melakukan tindakan darurat, sesuatu yang aneh terjadi.
Sebuah suara asing terdengar jelas di dalam kepalanya. Suara itu datar, seperti mesin, tapi begitu kuat seolah langsung menembus kesadarannya.
> [Selamat datang, Host. Sistem Medis Sakti diaktifkan.]
Arka tertegun. Tangannya hampir menjatuhkan instrumen bedah. Matanya melirik sekeliling, tapi tak ada seorang pun yang tampak menyadari suara itu. Para perawat tetap sibuk bekerja. Pasien masih sekarat di hadapannya.
“Siapa… siapa tadi?” bisik Arka, hampir tak percaya.
> [Misi Darurat Aktif: Selamatkan pasien di hadapanmu. Waktu tersisa: 3 menit. Hadiah: Skill Diagnosa Instan Lv.1. Kegagalan: penalti kehilangan energi vital host.]
Jantung Arka berdegup keras. Apa-apaan ini? Suara itu… sistem? Apakah ia berhalusinasi karena kelelahan?
Namun, tiba-tiba penglihatannya berubah. Seolah-olah layar holografis transparan muncul di depan matanya, menampilkan kondisi pasien secara rinci:
Nama: Tidak dikenal
Umur: Perkiraan 30 tahun
Kondisi: Luka tusuk menembus paru kiri, pendarahan masif, hemotoraks.
Tingkat Kritis: 92%
Saran Tindakan: Drainase dada segera + kontrol perdarahan.
Arka terpaku. Ia tahu istilah-istilah medis itu, tapi mustahil bisa melihat diagnosa selengkap ini hanya dengan mata telanjang. Ia butuh rontgen atau CT scan untuk memastikan.
“Dok! Kita harus bertindak sekarang!” teriak seorang perawat membuyarkan lamunannya.
Arka menarik napas panjang. Entah apa yang sedang terjadi, tapi suara dan layar aneh itu… benar-benar memberinya petunjuk. Ia tak punya waktu ragu.
“Siapkan chest tube! Saya akan lakukan drainase sekarang!”
Dengan sigap ia membuat sayatan kecil di sisi dada pasien, memasukkan selang steril, dan dalam hitungan detik darah bercampur udara menyembur keluar. Monitor menunjukkan tekanan darah pasien mulai naik perlahan.
“Heartbeat stabil kembali!” seru perawat.
Arka terhenyak. Ia baru saja menyelamatkan pasien yang nyaris tak punya harapan… dan ia tahu, tanpa bantuan “sistem” tadi, kemungkinan besar pasien sudah meninggal sebelum ia sempat bertindak.
> [Selamat. Misi Darurat berhasil. Host mendapatkan hadiah: Skill Diagnosa Instan Lv.1.]
Arka menelan ludah. Keringat dingin menetes di dahinya. Ia mencoba tetap terlihat normal di depan tim medis lain, tapi dalam hatinya gemetar hebat.
“Dokter Arka, Anda luar biasa,” ujar seorang perawat dengan kagum. “Saya pikir kita takkan bisa menyelamatkannya.”
Arka hanya mengangguk, pura-pura tenang. “Itu tugas kita.”
Namun, dalam hatinya, satu pertanyaan besar membara: Apa sebenarnya yang baru saja terjadi padaku?
---
Beberapa jam kemudian, setelah pasien dipindahkan ke ruang ICU, Arka duduk sendirian di ruang istirahat dokter. Lampu neon putih berkelip samar. Cangkir kopi dingin tergeletak di meja. Matanya menatap kosong ke dinding, sementara suara sistem kembali terdengar.
> [Perkenalkan, saya adalah Sistem Medis Sakti. Mulai hari ini, Host akan menjalani kehidupan baru: seorang dokter yang tak terbatas oleh ilmu biasa.]
Arka mengernyit. “Sistem? Ini tidak masuk akal. Aku hanya dokter biasa… bukan tokoh dalam novel fiksi ilmiah!”
> [Host terpilih karena dedikasi dan sumpah suci untuk menyelamatkan nyawa. Sistem ini akan membantumu, memberi kekuatan, tapi juga misi yang harus dipenuhi.]
Arka terdiam. Bagian dirinya ingin menolak, tapi bagian lain merasakan kebenaran dalam kata-kata itu. Sejak kecil, ia bercita-cita jadi dokter karena ingin menyelamatkan orang. Tapi kenyataan pahit sering menampar: fasilitas terbatas, prosedur berbelit, bahkan kadang nyawa pasien melayang hanya karena kekurangan peralatan.
Jika sistem ini nyata… maka ia bisa melampaui batas itu.
“Kalau begitu… apa yang harus kulakukan?” tanyanya dengan suara pelan.
> [Tetaplah menjadi dokter. Sembuhkan mereka yang tak bisa disembuhkan. Namun ingat, setiap kekuatan memiliki harga. Jika gagal menyelesaikan misi, konsekuensinya berat.]
Arka mengepalkan tangan. Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. Wajah lelah itu kini menyimpan cahaya tekad baru.
“Baiklah… kalau ini jalanku untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa, aku akan menerimanya. Tapi ingat, aku tetap seorang dokter. Aku tak akan menggunakan kekuatan ini sembarangan.”
> [Konfirmasi diterima. Sistem Medis Sakti resmi terikat pada Host: Arka Pratama. Selamat datang di kehidupan baru.]
Arka menghela napas panjang. Malam itu, tanpa ia sadari, ia baru saja melangkah ke dunia yang sama sekali berbeda. Dunia di mana ilmu kedokteran bertemu dengan kekuatan supranatural.
Dan sejak saat itu, nama Dokter Sakti dengan Sistem pun mulai tercatat dalam takdir.
---
* Sistem Pertama Kali Aktif *
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca besar rumah sakit pusat Jakarta. Suasana tidak kalah sibuk dari malam sebelumnya. Perawat berlalu-lalang, suara alat monitor berdenting, dan aroma khas antiseptik menyelimuti setiap sudut.
Arka baru saja keluar dari ruang ICU setelah memastikan pasien yang diselamatkannya semalam stabil. Rasa lelah masih menggerogoti tubuhnya, tapi hatinya jauh lebih tenang. Semalam ia mendapat jawaban—atau mungkin pertanyaan baru—tentang “sistem” misterius itu.
Namun, tak ada waktu memikirkannya. Rumah sakit tidak pernah tidur.
“Arka! Kau belum tidur sejak semalam, kan?” suara seorang pria paruh baya menggema di koridor. Itu adalah dr. Bagas, dokter senior sekaligus pembimbing residensinya. Tubuh tinggi, rambut mulai memutih, tapi sorot matanya tajam seperti elang.
Arka tersenyum lemah. “Masih kuat, Dok. Pasien semalam cukup kritis.”
Dr. Bagas menepuk bahunya. “Kau punya potensi besar, Arka. Jangan sampai kelelahan membuatmu lengah. Ingat, dokter juga manusia, bukan mesin.”
Arka mengangguk. “Siap, Dok.”
Mereka berdua berjalan menuju ruang visit pasien. Di lorong, beberapa mahasiswa koas sedang berdiri sambil menunduk penuh hormat. Di antara mereka, seorang perempuan muda dengan rambut panjang terikat rapi menatap Arka dengan sorot mata berbeda.
Dialah Nadia Rahmani, mahasiswi kedokteran tingkat akhir yang sedang menjalani koas di rumah sakit itu. Wajahnya manis, kulit putih bersih, dan senyum tipis yang selalu menenangkan pasien. Banyak yang mengatakan ia terlalu lembut untuk dunia kedokteran yang keras, tapi Arka tahu—di balik itu, Nadia punya keteguhan hati luar biasa.
“Selamat pagi, Dokter Arka,” sapa Nadia sambil sedikit membungkuk.
Arka membalas dengan anggukan. “Pagi, Nadia. Bagaimana rotasi semalam?”
“Cukup melelahkan… tapi saya belajar banyak,” jawabnya, senyum tulus menghiasi wajahnya.
Arka menatapnya sejenak. Senyum itu—anehnya—lebih menenangkan daripada secangkir kopi panas.
Namun sebelum pikirannya melayang lebih jauh, suara sistem kembali terdengar di kepalanya.
> [Misi Baru: Selamatkan pasien di bangsal 7 dalam waktu 15 menit. Kondisi kritis terdeteksi. Hadiah: Skill Penyembuhan Cepat Lv.1. Penalti: Penurunan stamina 50% selama 24 jam.]
Arka terkejut. Lagi? Tepat saat ia hendak berbicara dengan Nadia.
“Dok, ada apa?” tanya Nadia, heran melihat ekspresinya.
Arka cepat-cepat menutupi. “Tidak, aku hanya teringat sesuatu. Nadia, ikut aku ke bangsal 7.”
Tanpa menunggu, Arka berlari kecil. Nadia kebingungan tapi mengikuti.
---
Pasien Bangsal 7
Sesampainya di bangsal, seorang pasien pria paruh baya tampak kejang di ranjang. Kulitnya pucat kebiruan, napas tersengal, dan monitor menunjukkan saturasi oksigen menurun drastis.
“Status pasien?” tanya Arka cepat.
“Pasien kanker paru, tiba-tiba sesak mendadak. Kami sudah pasang oksigen, tapi saturasi tetap turun!” jawab perawat panik.
Arka mendekat, matanya langsung menatap layar holografis yang kembali muncul di hadapannya:
Nama: Sugeng Wiratno
Usia: 52 tahun
Kondisi: Pneumotoraks tensi (paru-paru kolaps akibat udara menekan rongga dada)
Tingkat Kritis: 85%
Saran Tindakan: Jarum dekompresi segera.
Arka menghela napas. Untung sistem memberinya petunjuk instan. Tanpa ragu ia mengambil jarum besar steril.
“Nadia, bantu aku pegang pasien!”
“Siap, Dok!” Nadia segera menahan tubuh pasien agar tidak banyak bergerak.
Dengan gerakan cepat, Arka menusukkan jarum ke dinding dada bagian atas. Dalam hitungan detik, udara terperangkap menyembur keluar. Saturasi pasien naik perlahan.
Perawat bersorak lega. “Pasien stabil kembali!”
Arka menunduk, keringat menetes di pelipisnya. Lagi-lagi, sistem misterius itu menyelamatkan nyawa pasien.
> [Misi berhasil. Host mendapatkan hadiah: Skill Penyembuhan Cepat Lv.1.]
Sekejap, Arka merasakan hangat menyelimuti tangannya. Saat ia menyentuh dada pasien, rasa sakit pasien seakan berkurang. Luka kecil akibat jarum bahkan menutup lebih cepat dari biasanya.
“Dok… apa yang barusan…?” Nadia menatap tangannya dengan mata melebar. Ia jelas melihat luka itu sembuh lebih cepat.
Arka tercekat. “Itu… hanya efek tubuh pasien. Jangan terlalu dipikirkan.”
Nadia mengernyit, tapi tak bertanya lebih jauh. Meski begitu, sorot matanya menyimpan rasa penasaran mendalam.
---
Percakapan di Taman Rumah Sakit
Beberapa jam kemudian, Arka duduk di bangku taman rumah sakit. Angin sore berhembus, membawa aroma pohon kamboja yang baru gugur. Ia masih merenungkan apa yang terjadi. Sistem ini memberinya kekuatan luar biasa, tapi bagaimana kalau orang lain mulai curiga?
Langkah pelan terdengar. Nadia datang membawa dua botol air mineral. “Kau belum minum, kan? Ambil ini.”
Arka tersenyum tipis. “Terima kasih. Kau perhatian sekali.”
“Kalau dokter sampai tumbang, pasien siapa yang akan diselamatkan?” Nadia membalas dengan senyum manis.
Arka terdiam, menatap wajahnya. Ada sesuatu pada Nadia yang berbeda dari orang lain—ketulusan. Tidak ada ambisi kosong, tidak ada kepura-puraan.
“Semalam aku dengar… kau yang menyelamatkan pasien luka tusuk itu, ya?” Nadia membuka percakapan lagi.
Arka mengangguk. “Ya. Itu sudah tugas seorang dokter.”
“Tapi caramu… selalu tepat. Cepat, seakan kau tahu apa yang harus dilakukan tanpa ragu.” Tatapan Nadia meneliti. “Kadang aku bertanya-tanya, apa kau benar-benar manusia biasa?”
Kalimat itu membuat Arka tercekat. Ia buru-buru tertawa kecil. “Aku hanya beruntung. Itu saja.”
Namun, jauh di dalam hatinya, Arka tahu—Nadia mulai curiga. Dan entah kenapa, bagian dirinya tidak ingin berbohong terlalu lama pada gadis itu.
> [Peringatan: Jangan sembarangan membuka rahasia sistem. Risiko: ancaman terhadap Host dan target.]
Suara sistem bergema, membuat Arka kembali tersadar. Ia tidak boleh sembrono.
Tapi ketika matanya bertemu dengan senyum lembut Nadia, ia tahu satu hal pasti: cepat atau lambat, gadis itu akan menjadi bagian dari perjalanannya.
---
Hari itu berakhir dengan langit senja yang berwarna oranye kemerahan. Arka berjalan kembali ke ruangannya, sementara Nadia masih menatap punggungnya dengan tatapan tak biasa. Ada rasa kagum… dan benih rasa lain yang perlahan tumbuh.
Dan Arka? Ia tidak pernah mengira, di balik pertempuran medis dan misteri sistem yang semakin rumit, ia juga harus berhadapan dengan sesuatu yang sama sulitnya: perasaan manusia.
---