Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
SEBELUM LEON DIHUKUM MATI

SEBELUM LEON DIHUKUM MATI

Widya Pramesti | Bersambung
Jumlah kata
75.1K
Popular
738
Subscribe
83
Novel / SEBELUM LEON DIHUKUM MATI
SEBELUM LEON DIHUKUM MATI

SEBELUM LEON DIHUKUM MATI

Widya Pramesti| Bersambung
Jumlah Kata
75.1K
Popular
738
Subscribe
83
Sinopsis
18+PerkotaanAksiBalas DendamKriminalUrban
Leon dijebak atas kematian kakaknya dan dijatuhi hukuman mati. Sebelum eksekusi, ia melarikan diri untuk menemukan bukti yang membuktikan dirinya tak bersalah sekaligus mengungkap dalang tragedi itu. Dalam pelariannya, ia bersembunyi di rumah Widadya, yang menolongnya tanpa mengetahui identitasnya. Pertemuan itu membangkitkan perasaan tak terduga. Leon jatuh cinta pada pandangan pertama, meski mereka berbeda agama dan berasal dari dunia yang tampak mustahil untuk bersatu. Sementara itu, Kanit Resmob Rendra yang memburu Leon diam-diam juga menaruh hati pada Widadya, menambah ketegangan di tengah pengejaran yang kejam. Bahaya mengintai di setiap langkah. Rahasia, pengkhianatan, dan konflik hati memaksa mereka menghadapi pilihan yang mustahil. Akankah Leon berhasil membersihkan namanya dan mengungkap dalang tragedi itu? Bisakah Widadya menolongnya tetap tersembunyi, atau justru mereka terjerat bahaya mematikan? Dan apakah cinta yang lahir itu bisa bertahan di dunia yang tak memberi mereka kesempatan bersatu?
Hukuman Mati

BUUGHHH!!!

Tinju Leon menghantam rahang keras pria bertato naga di depannya. Suara benturan itu menggema di ruang sel yang pengap, lembab, dan berbau besi karat bercampur keringat busuk. Para napi yang duduk di sudut langsung bangkit, menatap dengan tatapan haus darah. Mereka bersorak, menghantam terali dengan rantai borgol dan sepatu mereka, membuat suara logam bergema seperti genderang perang.

“Berani juga anak ingusan ini!” seru seseorang dari pojok dengan suara serak.

Darah kental menetes dari bibir pria bertato itu, Marco, ketua sel Blok C, penghukum bagi napi baru yang dianggap terlalu berani. Tapi Leon bukan napi biasa. Tubuhnya mungkin tak sebesar Marco, tapi sorot matanya tajam, liar, dan berisi dendam yang sudah lama membara.

Marco meludahkan darah ke lantai, tersenyum bengis. “Jadi ini si pembunuh saudara kandung sendiri? Huh, pantes muka kau mirip psikopat.”

Leon mendesis, rahangnya mengeras. “Mulut kau, tutup sebelum aku robek. Bangsat.”

Sorakan makin menggila. Beberapa napi mulai berdiri di atas ranjang besi, mengetuk-ngetuk pipa dan jeruji dengan rantai mereka. “Ayo! Hajar aja! Tunjukin siapa raja di sini!”

Marco menyerang duluan. Tinju besarnya melayang menghantam dada Leon. DUUGH! Tubuh Leon terdorong ke belakang, membentur dinding semen dingin. Udara di paru-parunya seperti tersedot keluar. Tapi sebelum Marco bisa melanjutkan, Leon merunduk cepat dan menghantam rusuk Marco dengan sikutan keras.

DUG!

Marco menggeram seperti binatang buas. “Anjing!” Ia mengayunkan kaki untuk menendang, tapi Leon menangkapnya, memelintir, lalu menabrakkan bahunya keras ke tubuh besar itu hingga keduanya terhempas ke lantai.

“MATIIN DIA” teriak salah satu napi. “Marco, hancurin kepalanya!”

Lantai berguncang karena para napi menendang dan berteriak seperti kawanan liar. Tapi Leon sudah lebih dulu bangkit. Ia melompat ke atas tubuh Marco, menghujani wajahnya dengan pukulan beruntun.

BUAGH! BUUGH! DUGGHH!

Buku-buku jarinya lecet, darahnya bercampur dengan darah Marco yang muncrat ke lantai. Setiap pukulan terasa seperti ledakan kecil. Setiap tarikan napasnya penuh amarah dan rasa sakit yang tertahan terlalu lama.

“AKU NGGAK BUNUH SAUDARAKU SENDIRI!!!”

BUUGHH!

“AKU NGGAK SEKEJAM ITU!!!”

DUARR!

Marco berusaha menangkis, tapi tangannya sudah lemas. Wajahnya remuk, matanya nyaris tertutup darah. Dua napi berlari ke arah mereka, mencoba menarik Leon dari punggung, tapi Leon berontak, menghantam satu dengan siku, menendang dada yang lain sampai membentur dinding besi.

“LEPASKAN AKU!” raung Leon, matanya merah seperti binatang terluka.

Tapi tiba-tiba

KRAAAKK!

Tongkat besi menghantam punggungnya. Leon terhuyung ke depan, lututnya menabrak lantai. Sekali lagi, BUAKH! Pukulan berikutnya membuat darah memercik dari bibirnya.

“Cukup, bajingan! Semua diam di tempat!” teriak seorang sipir dengan suara garang.

Para napi langsung berhenti. Sebagian mengangkat tangan, sebagian hanya tertawa kecil, menikmati sisa kekacauan itu. Asap rokok dari sudut ruangan menambah sesak udara.

Sipir besar itu bertubuh kekar, berotot, dengan kumis tebal dan tatapan dingin seperti pisau. Ia menatap Leon yang terduduk, terengah, darah menetes dari pelipisnya.

“Kau lagi, Leon? Baru dua bulan di sini, sudah bikin rusuh.”

Leon menatapnya balik, suaranya serak namun tegas. “Dia duluan… dia.”

“DIAM!” bentak sipir itu, menghantam meja jeruji dengan tongkat logam hingga suaranya menggema keras. “Kau pikir kami peduli siapa duluan? Di sini, yang penting siapa yang paling kuat. Bukan siapa yang benar!”

Para napi tertawa pelan, suaranya seperti bisikan setan yang menari di antara jeruji. Marco terbaring di lantai, meludah darah sambil menatap Leon dengan mata bengkak dan penuh dendam.

“Kau pikir bisa lama hidup di sini?” gumamnya serak.

Leon menatapnya tanpa ekspresi, napasnya masih berat. Namun dalam sorot matanya, ada sesuatu yang membara.

Sipir itu melangkah mendekat, menatap Leon dari atas. “Kau tahu apa yang menarik? Hukuman mati untukmu akan dilaksanakan besok. Jadi bersiaplah untuk menyambut hari terakhirmu.”

Hening. Suara rantai bergemerincing kecil, hanya terdengar napas para napi dan bunyi tetesan air dari pipa bocor di langit-langit.

Leon menunduk, menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Bayangan masa lalu datang tanpa diundang. Wajah kakaknya, Nathaniel Vairn Cros, muncul jelas di benaknya. Senyum hangat itu, cahaya malam yang lembut, lalu darah. Begitu banyak darah.

Leon Draven Cros, anak bungsu dari empat bersaudara, dulu hidup tanpa beban. Semua berubah pada malam itu, malam ketika ia dijebak dan difitnah membunuh kakak kandungnya sendiri.

Ia baru saja pulang dari markas tempat ia biasa nongkrong, ruangan pengap penuh asap rokok, tawa keras, dan denting gelas setelah mabuk dan berjudi. Malam itu seharusnya berakhir dengan tidur dan kepala berat, bukan dengan jeritan, sirine, dan darah di jalan sempit dekat gang tak jauh dari markasnya.

Nathaniel ditemukan tergeletak di sana, tubuhnya dingin dan matanya terbuka kosong menatap langit malam. Pisau berlumur darah tergenggam di tangan Leon. Di antara kabut alkohol dan cahaya lampu jalan yang berkedip, ia sempat melihat sosok samar di ujung gang, berdiri diam sebelum akhirnya menghilang dalam gelap.

Setelah itu, segalanya runtuh. Bukti-bukti dimanipulasi, kesaksian dipelintir, dan semua jari menunjuk padanya. Dunia seolah sepakat menjadikannya pembunuh.

Kini, di balik jeruji besi, Leon hanya punya satu tujuan: menemukan siapa yang benar-benar membunuh kakaknya. Dan untuk itu, ia harus bertahan hidup, bahkan jika itu berarti melawan seluruh neraka bernama penjara ini.

Tiba-tiba suara berat menggema lagi.

“Leon!”

Leon menoleh. Sipir besar tadi berdiri di depan sel, menatapnya tajam dari balik bayangan cahaya lampu redup. Dua petugas lain berdiri di belakangnya, memegang borgol dan tongkat listrik yang masih berdesis pelan.

“Ikut aku sekarang,” kata sipir itu datar, namun nadanya mengandung tekanan dingin. “Kau akan diinterogasi terakhir kali sebelum hukuman matimu, besok pagi.”

Leon berdiri perlahan. Darah menetes dari dagunya, mengalir di sepanjang lehernya yang kaku. Ia tersenyum samar, senyum yang sulit ditebak apakah itu kepasrahan, kebencian, atau keduanya sekaligus.

Ketika borgol dikunci di pergelangannya dan pintu sel terbuka, suara besi berderit panjang memecah kesunyian. Para napi langsung bersiul dan berteriak, sebagian menepuk-nepuk jeruji sambil menertawakan kepergian Leon.

“Selamat jalan, pembunuh!”

“Jangan lupa kirim salam buat iblis!”

Leon hanya diam. Tapi di balik mata gelapnya, ada api kecil yang belum padam. Api yang menunggu waktu untuk membakar segalanya.

Langkahnya bergema di lorong sempit itu. Udara lembab bercampur bau besi karat dan keringat basi menyelimuti setiap langkahnya. Tiba-tiba, sebuah dorongan keras mendarat di punggungnya. Sipir besar itu mendorong tubuh Leon dengan kasar menggunakan tongkat logam.

“Jalan cepat, bajingan!” hardiknya.

Leon terhuyung, tapi segera menegakkan tubuhnya kembali. Ia tidak menoleh, tidak membalas. Ia hanya melangkah lagi, rantai borgol di tangannya berderak setiap kali ia bergerak.

Lorong itu panjang, suram, seakan menelan suara langkah mereka. Di kanan-kiri, para napi mengintip dari balik jeruji, menatap Leon dengan tatapan campuran ejekan dan iba.

Sipir di belakangnya kembali mendorongnya. “Kau pikir kami mau nunggu sampai kau siap mati, hah?” ejeknya dengan nada mengejek, suaranya menggema di lorong sempit itu.

Leon berhenti sejenak, napasnya teratur tapi matanya dingin. Ia menoleh sedikit, cukup untuk menatap sipir itu dari ujung bahu. “Siap mati? Aku justru penasaran… apa kau siap kalau ternyata aku belum benar-benar mati besok?” katanya pelan, tapi tajam seperti pisau yang digesekkan ke logam.

Sipir itu terdiam sepersekian detik sebelum tertawa pendek, tawa dingin tanpa humor. “Sampah sepertimu cuma bisa berakhir dengan satu cara, Leon.”

Dorongan keras mendarat lagi di punggungnya. Leon hampir kehilangan keseimbangan, tapi ia tidak mengeluarkan suara. Ia terus berjalan, menatap lurus ke depan. Rantai borgol di tangannya berayun, memantulkan cahaya lampu redup yang berkelap-kelip seperti cahaya neraka yang menunggu di ujung lorong.

Dan di sanalah pintu besar itu berdiri. Tulisan RUANG INTEROGASI 3 tampak pudar, catnya terkelupas, dan bau logamnya menusuk hidung.

Leon berhenti di depannya. Tatapannya kosong, namun di balik mata dingin itu ada sesuatu yang perlahan tumbuh. Bukan takut, bukan penyesalan, melainkan kesadaran bahwa di balik pintu inilah segalanya akan ditentukan. Hidupnya bisa berakhir di sini, atau justru dimulai kembali.

Ia bergumam pelan, suaranya nyaris tak terdengar:

“Kalau tempat ini menjadi akhir kehidupanku, aku harus bisa menghentikan ini semua."

Lanjut membaca
Lanjut membaca