"Aku menyukaimu, Elisabeth."
Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Billy, diiringi degup jantung yang tak bisa pria itu kendalikan.
Ia dan Elisabeth adalah sahabat sejak kecil. Dan dia selalu mengekori gadis itu kemana pun. Hingga hari ini, dia memberanikan diri untuk menyatakan cinta dengan harapan Elisabeth akan menerima cintanya. Toh, selama ini dia selalu setia di sisi gadis itu.
Billy yakin Elisabeth akan menerima cintanya. Karena apa? Karena Elisabeth selalu membutuhkannya.
Elisabeth selalu mencarinya jika sedang butuh sesuatu. Elisabeth selalu menemuinya jika ada tugas sekolah yang belum selesai. Elisabeth selalu merengek padanya jika ada hal yang diinginkan.
Dan Billy selalu memenuhi semua ingin gadis itu.
Atas dasar itu, Billy yakin mereka memang diciptakan untuk saling melengkapi.
Hari ini, dia ingin hubungan mereka disahkan!
“Elisabeth, aku tahu ini terlalu tiba-tiba. Tapi aku sungguh menyukaimu. Maukah kamu jadi kekasihku?”
Elisabeth Tatum menoleh perlahan. Rambut panjangnya tergerai sempurna, wajahnya seperti biasa—tenang, cantik, dan tak tersentuh.
"Maaf, Billy," jawab Elisabeth pelan. "Aku ingin fokus belajar dulu."
Nada suaranya lembut, tapi tak memberi ruang untuk harapan. Mata itu menatap Billy seperti teman, bukan kekasih masa depan.
‘Jadi aku salah mengartikan?’ Batin Billy bergejolak. ‘Tidak, dia benar. Kami harus fokus belajar.’
Billy mengangguk pelan, walau hatinya masih gelisah akibat penolakan tersebut. "Baiklah. Aku mengerti."
Itu usia tujuh belas. Penolakan pertama. Tapi Billy tetap percaya, waktu akan berpihak padanya.
Setahun kemudian, setelah lulus SMA, Billy berdiri di tengah pesta ulang tahun Elisabeth. Lampu-lampu gantung menyala temaram, musik lembut terdengar di latar. Billy menarik napas dalam-dalam, menggenggam kado yang ia bungkus sendiri.
Ia akan mencoba peruntungannya lagi. Rasanya terhadap Elisabeth belum berubah. Dan ia memilih momen ini.
“Elisabeth.”
Wanita itu berbalik. Gaun biru langit membuatnya tampak seperti lukisan hidup.
"Ada apa, Billy?" wanita itu tersenyum singkat.
“Ada yang ingin kubicarakan,” kata Billy.
Masih tersenyum. “Tentang apa?”
“Aku masih menyukaimu. Aku... mungkin lebih dari itu sekarang.”
Wajah Elisabeth berubah. Senyum di bibirnya memudar. Wajahnya berubah masam. “Billy,” ucapnya ketus. “Ini hari ulang tahunku. Jangan merusaknya dengan hal konyol!”
“Tapi Elisabeth…” Kalimatnya menggantung karena Elisabeth mengangkat tangannya.
“Berhenti mangacau, Billy! Aku tidak pernah menyukaimu sama sekali.”
“Elisabeth, berikan aku…”
“Billy! Jangan memaksaku. Aku tidak suka padamu! Masa kamu tidak paham!”
Kata-kata itu menghantam lebih keras dari yang Billy perkirakan.
“Jika kamu mengatakannya sekali lagi, sebaiknya kamu pergi dari sini!” Elisabeth mendorong tubuhnya hingga nyaris terjatuh.
Teman-teman mereka yang menyaksikan hal itu hanya bisa berbisik-bisik. Ada yang iba, dan ada yang mengejek.
Billy merasa malu, tapi dia mencoba memaklumi. “Mungkin waktunya tidak tepat,” katanya mencoba meyakinkan diri.
Dia pun akhirnya diam. Karena diam adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan harga dirinya.
Meski sesungguhnya harga dirinya sudah hancur di depan teman-temannya.
Meski mendapat penolakan lagi, Billy tetap setia di samping Elisabeth. Apa pun yang diinginkan gadis itu selalu dia penuhi.
“Billy, aku meninggalkan payungku.”
Billy tidak akan memberikan payungnya, tapi yang ia lakukan justru memayungi gadis itu dengan payungnya.
“Billy, tugasku belum selesai. Tolong kerjakan.”
Billy dengan patuh melakukannya.
“Billy, aku butuh ini dan itu…”
“Billy… Billy… Billy…”
Dan Billy selalu ada dan siap untuknya. Bahkan saat Billy melihatnya pergi bersama pria lain bersenang-senang, Billy tetap ada di sisi Elisabeth.
Billy benar-benar meratukan gadis itu. Dan Elisabeth membuat hal itu memang demikian. Wanita itu terlihat sangat menggantungkan diri pada Billy. Dalam artian, memanfaatkan perasaan Billy yang tulus.
Bahkan saat Billy menyatakan cinta untuk kesekian kalinya, Elisabeth di teman teman-temannya berseru. “Billy, berhentilah menggangguku dengan perasaanmu yang gila itu! Kita masih sekolah. Dasar bodoh!”
Saat itu Billy sangat malu. Semua teman-teman mereka menyaksikannya ditolak.
Apakah Billy marah? Tidak, dia terlalu cinta pada Elisabeth sehingga ia tetap di sisi perempuan itu dengan harapan suatu hari nanti, hati Elisabeth akan terbuka untuknya.
Masa-masa sekolah berakhir, cintanya tak berbalas sama sekali.
Lalu, pada usia dua puluh tahun. Sebuah jamuan malam di hotel bintang lima. Semua orang sibuk berbicara tentang peluang, proyek, dan koneksi. Tapi Billy hanya memperhatikan satu sosok di ujung ruangan.
“Elisabeth,” panggilnya saat mereka bersisian mengambil minuman.
Elisabeth tersenyum sopan. “Billy. Sudah lama tidak bertemu.”
“Ya. Bagaimana kabarmu?”
“Sangat baik. Bagaimana denganmu?”
“Seperti yang kamu lihat, aku masih bernapas,” Billy merentangkan kedua tangannya. Elisabeth masih sama mengagumkannya seperti dulu. Dan perasaannya juga masih sama. Sekali lagi, Billy mencoba peruntungannya dnegan mengungkapkan perasaannya. “Elisabeth.”
“Ya, Billy?”
“Apakah... sekarang kau sudah punya rencana untuk menjalin hubungan?” tanyanya hati-hati.
Wajah Elisabeth berubah sedikit kaku. Dagunya diangkat dengan angkuh. “Aku belum berpikir ke arah itu.”
Jawaban yang kembali tak memberi tempat untuk harapan. “Tidak adakah hal lain yang bisa kau katakan selain selalu mengungkapkan perasaanmu padaku.”
Namun, Billy belum jera juga.
Dua tahun kemudian, hari wisuda universitas.
Di dalam mobil, Elisabeth duduk diam di kursi penumpang. Musik instrumental mengalun pelan. Billy mengemudi dalam hening, sampai akhirnya bersuara.
“Elisabeth... kalau aku mengatakan bahwa aku ingin hubungan yang lebih dari teman, apa kamu akan menolaknya lagi?”
Elisabeth menatap ke luar jendela. Beberapa detik kemudian, ia menjawab dengan nada tegas, “Billy, bisakah kau mengerti jika aku hanya menganggapmu sebagai teman. Tidak lebih.” Wajah Elisabeth terlihat dongkol.
Entah bodoh atau bagaimana, Billy masih tidak menyerah. Hingga hitungan tahun berikutnya, dia kembali menyatakan cinta dan Billy mendapatkan jawaban yang sama.
“Billy! Aku sungguh tidak menyukaimu sebagai pria! Kamu benar-benar menyebalkan! Kamu bukan tipeku dan aku tidak akan pernah mau menjalin hubungan denganmu! Tolong sadar dirilah! Kamu sudah kubiarkan mengekoriku selama ini, jangan melunjak dengan berharap lebih. Kita tidak selevel!”
Dengan membanting pintu, Elisabeth pergi meninggalkannya sambil mengucapkan kalimat yang cukup merendahkannya.
"Sudah ditolak berulang kali, masih saja tidak tahu diri. Memangnya dia punya apa?! Kalau sudah jadi pelayan, ya jadi pelayan saja!"
Di balik kemudi, Billy memejamkan mata sejenak. Ia mencoba menelan kenyataan yang sudah berkali-kali mengirisnya.
Tiba-tiba, kepala Billy terasa berat. Sakit yang menusuk. Pandangan mulai kabur. Suara-suara memudar. Ia terlalu banyak minum sepertinya. Sehingga terjadi kecelakaan tidak terelakkan.
Saat ia membuka mata, yang terlihat bukan lagi jalanan malam atau mobil modern. Bukan aula jamuan. Bukan sofa mewah. Bukan ruangan tempat minuman keras beredar. Tapi sebuah langit-langit berwarna pudar. Kamar kecil dengan rak buku tua dan meja belajar yang berantakan.
"Ini... kamarku. Kamar lamaku." Poster band di dinding. Rak buku yang dulu dia penuhi dengan komik dan catatan ujian.
"Apa ini? Mimpi? Atau..."
Ia meraih ponsel yang tergeletak di meja. Layarnya menyala, menunjukkan tanggal: 15 Februari 2015.
Ia terduduk. Nafasnya memburu.
“Aku... kembali?”
Jantungnya seolah berhenti berdetak. Layar ponsel tak berdusta. Tahun ini... Beberapa tahun yang lalu.
Ia menatap cermin. Wajah yang lebih muda, kulit yang belum tertempa kerasnya dunia.
"Aku mati?"
Mungkin. Tapi yang lebih penting—ia hidup lagi. Dengan tubuh dan waktu beberapa tahun lebih muda.
Masih belum percaya, Billy menatap cermin di dinding. Wajahnya muda. Terlalu muda.
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sebuah tawa hampa lolos dari bibirnya. Apakah ia benar-benar mati dan kembali hidup? Atau hanya gila?
Namun kenyataan tak bisa dibantah.
Billy Fernando telah kembali. Beberapa tahun lebih awal. Dan kali ini... ia tidak akan mengulang kebodohan yang sama.
***
Suara alarm membangunkannya pukul enam pagi. Billy membuka mata perlahan. Cahaya pagi menembus tirai jendela kamarnya. Rasanya nyata. Terlalu nyata.
Ia terduduk, menatap sekeliling. Ini bukan mimpi.
Billy menarik napas dalam. Pagi ini adalah awal dari masa mudanya yang kembali. Ia bangkit, mandi, dan bersiap tanpa banyak berpikir.
Billy melintasi tikungan dan mendekati gerbang SMA No.1.
“Sekolah ini...” gumamnya pelan, menatap gerbang yang berdiri megah dengan cat putih yang mulai kusam. “Tempat semua kebodohan itu dimulai.”
Di dekat persimpangan jalan, dua gadis berdiri. Salah satunya memiliki rambut panjang kecokelatan dan tubuh semampai. Elisabeth Tatum. Gadis yang dulu dia anggap sebagai tujuan hidup.
Yang satu lagi, dengan poni rapi dan gaya bicara riang, adalah Clara Fianto, sahabat karib Elisabeth.
“Aku bilang apa, pesonamu bikin para siswa laki-laki tersandung!” Clara tertawa sambil menyikut bahu Elisabeth.
Elisabeth tersenyum kecil. “Aku hanya berdiri. Mereka yang terlalu reaktif.”
“Kalau aku jadi cowok pun, pasti akan menoleh dua kali,” ujar Clara terkekeh. “Apalagi kalau tahu bulan depan kau ulang tahun. Pasti berlomba-lomba kasih hadiah.”
Elisabeth mengangkat alis dengan angkuh. “Tidak semua hadiah kuterima.”
Motor Billy melintas di depan mereka. Ia melihat keduanya, namun tatapannya tidak berhenti pada Elisabeth. Justru Clara yang ia perhatikan.
Clara melambai sambil berseru, “Billy! Hei, berhenti sebentar!”
Billy memutar setang dan berhenti di pinggir trotoar. Helmnya masih terpasang. Ia memandangi Clara, tidak sedikit pun menoleh pada Elisabeth.
“Ya?” tanyanya datar.
Clara sempat tertegun. “Kamu tidak melihat kita tadi? Lewat begitu saja.”
“Aku lihat,” sahut Billy singkat.
Elisabeth menyipitkan mata. “Kau tidak menyapa,” katanya dengan nada pelan tapi tajam.
“Aku tidak sedang menyapa siapa-siapa pagi ini,” jawab Billy. Netral. Bukan ketus, tapi cukup membuat udara jadi tak nyaman.
Clara tersenyum, tampak agak canggung. “Eh... kau sudah menyiapkan hadiah ulang tahun untuk Elisabeth? Tahun lalu kau kasih boneka beruang besar. Tahun ini pasti lebih spesial, kan?”
Billy diam sesaat. Ekspresinya menunjukkan kebingungan ringan. Lalu ia mengerutkan kening, seolah sedang berusaha mengingat sesuatu.
“Ulang tahun?” gumamnya. Alisnya terangkat. "Kapan?"
Clara tertawa kecil. “Iya, ulang tahun Elisabeth. Bulan depan.”
“Kau lupa?” tanya Elisabeth akhirnya. Kali ini, ekspresi angkuhnya retak.
Billy menoleh ke depan. “Banyak hal yang lebih penting untuk kuingat sekarang.”
"Billy,” panggil Clara pelan. “Kau tidak bercanda, kan?”
Billy menatap Clara, kali ini lebih serius. “Kupikir itu bukan urusanku lagi.”
Clara terdiam. Elisabeth memalingkan wajah, alisnya sedikit berkerut.
Billy menambahkan, “Maaf. Aku harus masuk. Ada ujian persiapan pagi ini.”
Ia menyalakan motornya kembali, lalu melaju menuju area parkir tanpa menoleh lagi.
Elisabeth menatap punggung Billy yang menjauh. Ekspresinya sulit ditebak.
Clara berseru, “Kenapa dia seperti itu, ya?”
Elisabeth tidak menjawab. Ia hanya menatap jalanan kosong di depan, bibirnya terkatup rapat.
Sementara itu, Billy memarkir motornya di sisi belakang sekolah. Ia membuka helm dan tersenyum tipis. Rasanya seperti baru saja membalikkan halaman baru dalam hidup.
‘Satu langkah kecil untuk menjauh dari kebodohan,’ pikirnya.
Ia berjanji pada dirinya, Billy Fernando tidak akan lagi berdiri di bawah bayang-bayang Elisabeth Tatum.