Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Gadis Tercantik di Sekolah Mengejar Cintaku

Gadis Tercantik di Sekolah Mengejar Cintaku

Badut Mampang | Bersambung
Jumlah kata
80.0K
Popular
28.0K
Subscribe
2.0K
Novel / Gadis Tercantik di Sekolah Mengejar Cintaku
Gadis Tercantik di Sekolah Mengejar Cintaku

Gadis Tercantik di Sekolah Mengejar Cintaku

Badut Mampang| Bersambung
Jumlah Kata
80.0K
Popular
28.0K
Subscribe
2.0K
Sinopsis
PerkotaanSekolahPria DominanHaremUrbanTransmigrasiMengubah NasibTime TravelCinta Sekolah
Billy merelakan harga dirinya mengejar Elisabeth selama belasan tahun, tapi Elisabeth masih terus saja mempermainkan Billy dengan menggantung perasaannya. Namun, semua itu menjadi sia-sia ketika Elisabeth hanya mengatakan kalau mereka hanya bisa jadi teman saja. Sebuah kecelakaan yang hebat membuatnya kembali masa lalu, dia pun membuat keputusan, kalau dia masih menyukai Elisabeth, maka dia adalah orang bodoh! Tapi saat Billy tidak suka lagi dengan Elisabeth, Elisabeth malah panik. "Billy, kenapa kamu tidak baik lagi kepadaku?" "Billy, aku tahu aku salah, apakah kita bisa baikan?" Namun, semua itu hanya diabaikan dengan sikap dingin Billy. Billy pun hanya fokus kepada gadis cantik dan kaya yang mengejar cintanya.
Bab 1

"Aku menyukaimu, Elisabeth."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Billy, diiringi degup jantung yang tak bisa pria itu kendalikan.

Elisabeth Tatum menoleh perlahan. Rambut panjangnya tergerai sempurna, wajahnya seperti biasa—tenang, cantik, dan tak tersentuh.

"Maaf, Billy," jawab Elisabeth pelan. "Aku ingin fokus belajar dulu."

Nada suaranya lembut, tapi tak memberi ruang untuk harapan. Mata itu menatap Billy seperti teman, bukan kekasih masa depan.

Billy mengangguk pelan, walau hatinya seperti runtuh. "Baiklah. Aku mengerti."

Itu usia tujuh belas. Penolakan pertama. Tapi Billy tetap percaya, waktu akan berpihak padanya.

---

Setahun kemudian, setelah lulus SMA, Billy berdiri di tengah pesta ulang tahun Elisabeth. Lampu-lampu gantung menyala temaram, musik lembut terdengar di latar. Billy menarik napas dalam-dalam, menggenggam kado yang ia bungkus sendiri.

"Elisabeth."

Wanita itu berbalik. Gaun biru langit membuatnya tampak seperti lukisan hidup.

"Ada apa, Billy?" wanita itu tersenyum singkat.

"Ada yang ingin kubicarakan," kata Billy.

Masih tersenyum. "Tentang apa?"

"Aku masih menyukaimu. Aku... mungkin lebih dari itu sekarang."

Wajah Elisabeth berubah. Senyum di bibirnya memudar. "Billy," ucapnya hati-hati, "aku tidak pernah menyukaimu. Maaf."

Kata-kata itu terdengar sederhana, namun menghantam lebih keras dari yang Billy perkirakan. Ia mengangguk sekali lagi. Diam adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan harga dirinya.

---

Usia dua puluh tahun. Sebuah jamuan malam di hotel bintang lima. Semua orang sibuk berbicara tentang peluang, proyek, dan koneksi. Tapi Billy hanya memperhatikan satu sosok di ujung ruangan.

"Elisabeth," panggilnya saat mereka bersisian mengambil minuman.

Elisabeth tersenyum sopan. "Billy. Sudah lama tidak bertemu."

"Apakah... sekarang kau sudah punya rencana untuk menjalin hubungan?" tanyanya hati-hati.

Wajah Elisabeth berubah sedikit kaku. "Maaf. Aku belum berpikir ke arah itu."

Jawaban yang kembali tak memberi tempat untuk harapan.

---

Dua tahun kemudian, hari wisuda universitas.

Di dalam mobil, Elisabeth duduk diam di kursi penumpang. Musik instrumental mengalun pelan. Billy mengemudi dalam hening, sampai akhirnya bersuara.

"Elisabeth... kalau aku mengatakan bahwa aku ingin hubungan yang lebih dari teman, apa kau akan menolaknya lagi?"

Elisabeth menatap ke luar jendela. Beberapa detik kemudian, ia menjawab dengan nada tegas, "Maaf, Billy. Aku hanya menganggapmu sebagai teman. Tidak lebih."

Di balik kemudi, Billy memejamkan mata sejenak. Ia mencoba menelan kenyataan yang sudah berkali-kali mengirisnya.

Tiba-tiba, kepala Billy terasa berat. Sakit yang menusuk. Pandangan mulai kabur. Suara-suara memudar.

Saat ia membuka mata, yang terlihat bukan lagi jalanan malam atau mobil modern. Bukan aula jamuan. Bukan sofa mewah. Bukan ruangan tempat minuman keras beredar. Tapi sebuah langit-langit berwarna pudar. Kamar kecil dengan rak buku tua dan meja belajar yang berantakan.

"Ini... kamarku. Kamar lamaku." Poster band di dinding. Rak buku yang dulu dia penuhi dengan komik dan catatan ujian.

"Apa ini? Mimpi? Atau..."

Ia meraih ponsel yang tergeletak di meja. Layarnya menyala, menunjukkan tanggal: 15 Februari 2015.

Ia terduduk. Nafasnya memburu.

"Aku... kembali?"

Jantungnya seolah berhenti berdetak. Layar ponsel tak berdusta. Tahun ini... sepuluh tahun yang lalu.

Ia menatap cermin. Wajah yang lebih muda, kulit yang belum tertempa kerasnya dunia.

"Aku mati?"

Mungkin. Tapi yang lebih penting—ia hidup lagi. Dengan tubuh dan waktu sepuluh tahun lebih muda.

Masih belum percaya, Billy menatap cermin di dinding. Wajahnya muda. Terlalu muda.

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sebuah tawa hampa lolos dari bibirnya. Apakah ia benar-benar mati dan kembali hidup? Atau hanya gila?

Namun kenyataan tak bisa dibantah.

Billy Fernando telah kembali. Sepuluh tahun lebih awal. Dan kali ini... ia tidak akan mengulang kebodohan yang sama.

---

Suara alarm membangunkannya pukul enam pagi. Billy membuka mata perlahan. Cahaya pagi menembus tirai jendela kamarnya. Rasanya nyata. Terlalu nyata.

Ia terduduk, menatap sekeliling. Ini bukan mimpi.

Billy menarik napas dalam. Pagi ini adalah awal dari masa mudanya yang kembali. Ia bangkit, mandi, dan bersiap tanpa banyak berpikir.

Billy melintasi tikungan dan mendekati gerbang SMA No.1.

"Sekolah ini..." gumamnya pelan, menatap gerbang yang berdiri megah dengan cat putih yang mulai kusam. "Tempat semua kebodohan itu dimulai."

Di dekat persimpangan jalan, dua gadis berdiri. Salah satunya memiliki rambut panjang kecokelatan dan tubuh semampai. Elisabeth Tatum. Gadis yang dulu dia anggap sebagai tujuan hidup.

Yang satu lagi, dengan poni rapi dan gaya bicara riang, adalah Clara Fianto, sahabat karib Elisabeth.

"Aku bilang apa, pesonamu bikin para siswa laki-laki tersandung!" Clara tertawa sambil menyikut bahu Elisabeth.

Elisabeth tersenyum kecil. "Aku hanya berdiri. Mereka yang terlalu reaktif."

"Kalau aku jadi cowok pun, pasti akan menoleh dua kali," ujar Clara terkekeh. "Apalagi kalau tahu bulan depan kau ulang tahun. Pasti berlomba-lomba kasih hadiah."

Elisabeth mengangkat alis dengan angkuh. "Tidak semua hadiah kuterima."

Motor Billy melintas di depan mereka. Ia melihat keduanya, namun tatapannya tidak berhenti pada Elisabeth. Justru Clara yang ia perhatikan.

Clara melambai sambil berseru, "Billy! Hei, berhenti sebentar!"

Billy memutar setang dan berhenti di pinggir trotoar. Helmnya masih terpasang. Ia memandangi Clara, tidak sedikit pun menoleh pada Elisabeth.

"Ya?" tanyanya datar.

Clara sempat tertegun. "Kamu tidak melihat kita tadi? Lewat begitu saja."

"Aku lihat," sahut Billy singkat.

Elisabeth menyipitkan mata. "Kau tidak menyapa," katanya dengan nada pelan tapi tajam.

"Aku tidak sedang menyapa siapa-siapa pagi ini," jawab Billy. Netral. Bukan ketus, tapi cukup membuat udara jadi tak nyaman.

Clara tersenyum, tampak agak canggung. "Eh... kau sudah menyiapkan hadiah ulang tahun untuk Elisabeth? Tahun lalu kau kasih boneka beruang besar. Tahun ini pasti lebih spesial, kan?"

Billy diam sesaat. Ekspresinya menunjukkan kebingungan ringan. Lalu ia mengerutkan kening, seolah sedang berusaha mengingat sesuatu.

"Ulang tahun?" gumamnya. Alisnya terangkat. "Kapan?"

Clara tertawa kecil. "Iya, ulang tahun Elisabeth. Bulan depan."

"Kau lupa?" tanya Elisabeth akhirnya. Kali ini, ekspresi angkuhnya retak.

Billy menoleh ke depan. "Banyak hal yang lebih penting untuk kuingat sekarang."

"Billy," panggil Clara pelan. "Kau tidak bercanda, kan?"

Billy menatap Clara, kali ini lebih serius. "Kupikir itu bukan urusanku lagi."

Clara terdiam. Elisabeth memalingkan wajah, alisnya sedikit berkerut.

Billy menambahkan, "Maaf. Aku harus masuk. Ada ujian persiapan pagi ini."

Ia menyalakan motornya kembali, lalu melaju menuju area parkir tanpa menoleh lagi.

Elisabeth menatap punggung Billy yang menjauh. Ekspresinya sulit ditebak.

Clara berseru, "Kenapa dia seperti itu, ya?"

Elisabeth tidak menjawab. Ia hanya menatap jalanan kosong di depan, bibirnya terkatup rapat.

Sementara itu, Billy memarkir motornya di sisi belakang sekolah. Ia membuka helm dan tersenyum tipis. Rasanya seperti baru saja membalikkan halaman baru dalam hidup.

'Satu langkah kecil untuk menjauh dari kebodohan,' pikirnya.

Ia berjanji pada dirinya, Billy Fernando tidak akan lagi berdiri di bawah bayang-bayang Elisabeth Tatum.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca