Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Legenda Kyai Jambrong Gunung Kidul

Legenda Kyai Jambrong Gunung Kidul

denai | Tamat
Jumlah kata
16.1K
Popular
1.8K
Subscribe
389
Novel / Legenda Kyai Jambrong Gunung Kidul
Legenda Kyai Jambrong Gunung Kidul

Legenda Kyai Jambrong Gunung Kidul

denai| Tamat
Jumlah Kata
16.1K
Popular
1.8K
Subscribe
389
Sinopsis
HorrorHorrorKutukanDukunMisteri
Di desa-desa kuno, kuburan sering kali dihancurkan dan mayat selalu hilang tanpa bisa dijelaskan. Ketika ada yang tidak beres dengan makam ayahnya, penduduk desa percaya bahwa putri mereka telah dikutuk oleh setan. Saat aku melewati desa, aku memutuskan untuk menyelamatkan gadis itu dan mematahkan kutukannya.
Bab 1

Dinginnya udara malam tak menyurutkan tekadku untuk terus memacu Supra tuaku ke arah barat. Sebuah PM yang dikirim oleh salah seorang kaskuser yang juga reader setia dari cerita certa yang telah aku tulis, benar benar telah menggelitik rasa penasaranku.

"Gan, setelah ane baca cerita ente yang terbaru ini, kok ane jadi inget sebuah legenda di daerah ane. Kayaknya seru kalau ente jadiin sebuah cerita." demikian kira kira PM yang ane terima beberapa hari yang lalu itu.

Awalnya ane sempat ragu, apalagi Mas Cipto, sebut saja demikian nama dari si pengirim PM tersebut, mengatakan soal legenda di daerahnya, yang mengisahkan tentang harimau jadi jadian yang sering membongkar makam dan mencuri mayat yang dikubur di dalamnya.

"Sepertinya dulu ane udah pernah menulis cerita dengan tema seperti itu deh Gan," begitu aku membalas PM tersebut.

"Iya, ane juga udah baca cerita yang itu Gan, tapi yang ini lain. Kasusnya bukan soal orang yang meninggal di hari Selasa Kliwon, tapi menyangkut soal bocah julung caplok dan julung kembang seperti yang ada di thread terbaru agan."

Mas Cipto lalu menceritakan detail dari legenda tersebut. Dan penjelasan dari beliau sukses membangkitkan rasa penasaranku, hingga malam ini, dengan tekad bulat aku memberanikan diri untuk menerabas jalanan Wonogiri-Gunung Kidul dengan motor tuaku.

Jarak dari Wonogiri ke daerah pesisir selatan Jogja itu memang lumayan jauh. Tapi untuk orang yang gemar berpetualang sepertiku, apalah artinya sebuah jarak, jika dibandingkan dengan kepuasan yang akan aku dapatkan nantinya.

Sebagai seorang penulis, meski masih amatiran, terkadang aku memang menyempatkan diri untuk mendatangi lokasi yang akan aku jadiakan latar dalam ceritaku. Sekedar untuk mendapatkan info yang lebih detail lagi, agar hasil tulisanku nanti bisa lebih menarik untuk dibaca. Mungkin terdengar terlalu berlebihan, tapi begitulah adanya. Dan karena itu juga, malam ini aku akhirnya berhasil menginjakkan kaki di daerah Semanu, sebuah kota kecamatan di wilayah selatan Jogja ini.

"Masih jauh po Mas?" Slamet setengah berteriak dari boncengan motorku, untuk mengimbangi suara deru mesin motor tuaku itu.

"Enggak Met, paling juga sebentar lagi nyampai. Tapi kita cari warung dulu Met, kita ngopi ngopi dulu sambil istirahat sebentar," jawabku tak kalah keras.

"Weh, cocok Mas! Aku juga sudah lapar nih," ujar Slamet lagi.

Aku hanya tersenyum mendengar celotehnya. Entah mengapa, tadi aku mengijinkan begitu saja saat Slamet bilang mau ikut. Padahal awalnya aku ingin berangkat sendiri. Ada untungnya juga ternyata. Sepanjang perjalanan aku jadi punya teman ngobrol.

Kebetulan, tak lama setelah itu kami menemukan sebuah warung angkringan di pinggir jalan. Segera aku menepikan motorku dan mengajak Slamet untuk singgah di warung tersebut. Secangkir wedang jahe dan beberapa potong ketan bakar cukup untuk membayar rasa lelahku, setelah berkendara hampir tiga jam lamanya.

Sempat kulirik arloji di pergelangan tanganku, sebelum mengirim chat ke nomor Mas Cipto. Hampir jam sembilan. Ada sedikit keraguan dalam hatiku. bertamu ke daerah orang di jam jam segini, rasanya kurang begitu pantas. Tapi balasan chat dari Mas Cipto segera menghapus keraguanku.

"Ndak papa Mas. Lanjut aja. Sudah deket kok kalau sampeyan sekarang sudah sampai di Semanu. Apa perlu saya jemput?" demikian balasan chat dari Mas Cipto.

Kubalas chat itu dengan kata tidak. Tinggal beberapa kilometer lagi ini. Lagian, nggak enak juga rasanya kalau harus merepotkan si tuan rumah.

"Coba tadi kita berangkat agak siangan Mas, pasti sampai sini nggak sampai kemaleman gini," seolah tahu apa yang sedang kupikirkan, Slamet berkata dengan mulut penuh dengan nasi.

"Lha kamu kan tau sendiri Met, kalau siang aku harus kerja," sahutku sambil menahan geli, melihat Slamet yang begitu rakus mengunyah nasi kucing yang entah sudah bungkus keberapa yang ia buka.

"Memangnya ada perlu apa to Mas, sampe sampeyan bela belain malem malem kesini?" tanya Slamet lagi, sambil mencuci tangannya di dalam mangkok yang berisi air kobokan.

"Adalah," sahutku sambil menyalakan sebatang rokok. "Nanti kamu juga bakalan tau."

"Jangan bilang kalau sampeyan mau ngejar ngejar dhemit lagi ya," Slamet terkekeh setelah ikut menyalakan sebatang rokok yang ia comot dari bungkusan rokok kretekku. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya. Memang, sudah beberapa kali anak ini ikut aku mendatangi tempat tempat angker untuk mengadakan survey demi mendapatkan ide untuk cerita cerita hororku. Dan beberapa kali juga kami pernah mengalami kejadian kejadian tak mengenakkan yang berhubungan dengan hal hal yang berbau mistis. Namun sepertinya anak itu tak pernah kapok juga. Terbukti malam ini ia masih setia menemaniku.

Setelah membayar semua makanan dan minuman yang kami pesan, kamipun melanjutkan perjalanan. Aku sempat menanyakan jalan yang menuju ke arah desa Mas Cipto kepada si pemilik warung, meski aku telah mengetahuinya dari aplikasi peta digital yang ada di ponselku. Sekedar untuk memastikan, daripada nanti salah arah. Dan ternyata benar, kata si pemilik warung desa M itu sudah tak jauh lagi.

"Sampeyan lurus saja Mas, nanti setelah ketemu tanjakan ada pertigaan, sampeyan belok kiri. Disitu sudah masuk wilayah desa M," ramah si pemilik warung itu menerangkan.

"Matursuwun Pakdhe," ujarku sopan, lalu segera menyalakan mesin motor tuaku.

"Wuedan! Desanya sepi banget ya Mas, sama kayak di kampung kita," ujar Slamet disela deru suara motor. Slamet memang dikenal sebagai anak yang 'rame'. Selalu ada saja yang bisa ia jadikan bahan obrolan. Itulah kenapa aku sering mengajaknya kalau sedang bepergian jauh. Jadi ada teman ngobrol di sepanjang perjalanan.

"Namanya juga Desa Met, kalau rame namanya pasar" jawabku asal, sambil berkonsentrasi mengendalikan stang motorku. Jalanan yang mulai tak rata dan banyak lubang lubang menganga membuatku harus ekstra hati hati. Apalagi lampu sepeda motorku sudah tak begitu terang lagi.

"Hehehe, iya juga ya," Slamet terkekeh. "Kukira Jogja itu kota besar yang selalu rame Mas."

"Jogja kan luas Met. Kalau di daerah kotanya sana ya rame. Ini kan sudah di daerah lereng gunung. Kamu ndak lihat apa, itu di kanan kiri jalan banyak tebing tebing begitu."

"Iya e Mas. Sampeyan hati hati bawa motornya Mas, jangan sampai nyungsep ke jurang kayak pas kita ke Ponorogo dulu lho."

"Halah! Crigis! Sudah malem ini, jangan ngomong yang enggak enggak," tegurku sedikit keras.

Memasuki jalanan desa, aku lebih banyak diam, meski Slamet masih tetap saja mengoceh. Jalanan yang kami lalui semakin menyempit dan terjal. Aku harus lebih hati hati lagi. Rumah rumah penduduk terlihat mulai semakin jarang, dibatasi oleh kebun kebun luas yang ditumbuhi aneka tanaman dan semak semak yang rimbun. Suasana terlihat sangat sepi. Sepanjang perjalanan tak ada satupun orang atau kendaraan yang kami temui. Hanya suara jengkerik yang terdengar samar samar diantara deru mesin motorku.

"Mas, Mas! Mandeg sik, berhenti dulu," tiba tiba Slamet menepuk pundakku agak keras.

"Kenapa to Met?" sungutku sedikit kesal, sambil menghentikan motorku.

"Hehehe, ndak papa Mas. Kebelet pipis aku. Sebentar ya," sambil terkekeh Slamet melimpat turun dari boncengan motorku, lalu berdiri membelakangiku di tepi jalan. Aku hanya bisa geleng geleng kepala melihat tingkahnya itu.

"Eh, Mas. Sebentar, coba kesini sebentar Mas," ujar Slamet lagi setengah berbisik.

"Apalagi? Jangan suka iseng deh, sudah malam ini," aku tak mengindahkan ucapan anak itu.

"Ndak Mas, aku serius. Kayak ada yang ngitip di dalam kebun sana lho," ujar Slamet lagi, masih dengan setengah berbisik.

"Halah, ngawur kamu. Siapa juga yang mau ngintip kamu lagi kencing."

"Bukan gitu Mas, tapi ..., jangan jangan maling Mas. Malam malam gini lho, dan ..., eh, beneran lho Mas. Itu, coba sini sampeyan lihat. Semak semaknya goyang goyang, kayaknya ..., eh, bukan Mas. Bukan orang, tapi sapi Mas. Jangan jangan ada sapi warga yang lepas Mas. Coba sampeyan arahkan lampu motor sampeyan ke kebon ini Mas."

Penasaran, akupun mengikuti arahan Slamet. Stang motor aku belokkan ke kiri, hingga sorot lampu motorku yang tak begitu terang menyinari area kebun itu.

"Mas, itu kan ..., astaghfirullah Mas. Itu kan ...." Slamet tergagap. Kulihat tubuh anak itu gemetaran sambil menunjuk nunjuk ke arah kebun. Sadar bahwa Slamet tidak sedang bercanda, akupun segera menstandartkan motorku dan turun. Namun Slamet justru berbalik dengan cepat dan melompat keatas jok motorku.

"Ayo Mas, cepat cabut dari sini! Wedhus! Desa apa ini, baru juga sampai, sudah disambut sama dhemit!"

Melihat Slamet yang panik, akupun ikutan panik. Niatku untuk melihat apa yang dilihat oleh Slamet d kebun itu aku urungkan. Bergegas aku kembali naik ke jok motorku, lalu segera tancap gas meninggalkan tempat itu.

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca