"A-ampun Yuga!!! Hentikan! Kita semua bisa mati!!!"
Bau tanah basah itu bercampur dengan bau anyir darah segar. Sejumlah anak sekolah berseragam sekolah swasta termahal di kota B itu terkapar, sebagian lagi pingsan dan beberapa diantaranya mengalami patah tulang akibat hantaman di berbagai sisi.
Yuga, anak lelaki berusia 17 tahun itu mengambil sebatang rokok dari saku pakaiannya, menyalakannya dengan korek kemudian mengisapnya dengan resah. Raga 17 tahun itu berisi dirinya, yang kini sudah berusia 35 tahun. Ia menghela napas, memandangi anak-anak itu terkena tetesan hujan dan membasuh luka mereka satu persatu.
"Bagaimana mungkin aku dulu takut melawan mereka?" ujar Yuga sambil mengisap rokoknya. "Cih, segerombolan anak orang kaya bajingan."
Terdengar derap langkah kaki mendekat ke arahnya. Sosok Arsyavina, sahabatnya, mendekat dengan tangis lirih. Pakaiannya sebagian robek, sudut bibirnya berdarah dan lebam di setiap sisi wajahnya menghancurkan visual wajahnya yang cantik. Segala kerusakan itu simbol dari kebiadaban para remaja yang telah melawan batasan dunia.
Hati Yuga melemah.
"Yuga... aku tidak bisa membayangkan jika kamu tidak ada di sini." ujar gadis itu sambil menangis lirih. "Jika kamu tidak datang... aku akan digilir ramai-ramai... aku bisa mati Yuga. Astaga kenapa aku harus mengalami peristiwa sepahit ini!"
Yuga menahan pedih, ia melemparkan puntung rokoknya ke tanah dan memeluk erat Arsyavina dengan perasaan penuh kehancuran. Di kehidupan ini, Yuga berhasil menghalau mimpi buruknya berkepanjangan. Wanita yang selalu ingin ia jaga, wanita yang selalu ada di sisinya itu, seharusnya tidak mati sia-sia karena ketidakmampuan Yuga di masa lalu.
Dirinya kembali... dirinya kini berhasil menyelamatkan Arsyavina.
"Vina... kita pulang. Aku harap kamu melupakan apapun yang terjadi hari ini, aku berjanji akan melindungimu lebih lama." ucap Yuga lirih.
Kedua murid Sekolah Menengah Atas itu berjalan dengan langkah kaki tertatih, menghalau hujan dan juga kesedihan yang merundung keduanya. Tragedi yang pernah terjadi itu terulang. Namun, Yuga Batara Yudhistira kembali ke tahun 2008 untuk membalaskan dendam.
**
"Selamat siang. Pemirsa, sejumlah warga di kampung Lebak Bulus membeberkan...."
Jam makan siang di kantor PT. Batara Yudhistira selalu menjadi momen yang dinanti bagi seluruh karyawan dan karyawati. Bukan hanya karena makanan kantin yang terasa lezat—jauh dari kata itu—tetapi karena mereka semua mendapatkan jeda dari tumpukan pekerjaan yang tak pernah habis.
Suara gelas kopi dan sendok yang beradu dengan piring menjadi latar alami, bercampur tawa dan obrolan karyawan yang melebur jadi satu. Suara berita yang tersiar menjadi latar setiap siang hari kala para pegawai itu menyantap makan siang mereka.
Di pojok ruang istirahat yang agak sepi, seorang pria tampan bertubuh tinggi tegap dengan gaya rambut coma hair, duduk menyender pada kursi kayu dengan tubuh setengah malas. Batara Yuga Yudhistira, atau yang biasa bawahannya panggil, Pak Yuga, baru saja menyelesaikan makan siangnya. Sepiring nasi padang yang berisi tunjang, talua barendo dan pelengkap itu hanya tinggal tersisa minyak yang hampir habis. Di tangan kanannya, sebatang rokok menyala pelan, asapnya mengepul naik, menari bersama udara siang yang lembab.
Di sudut ruangan kantin, sebuah televisi menggantung di dinding, menayangkan siaran berita siang. Volume-nya cukup keras untuk memaksa sebagian karyawan menoleh. Di layar, gambar seorang siswi SMP yang wajahnya disamarkan, dengan latar hitam dan tulisan putih mencolok: “E(14) Meninggal Setelah Mengalami Perundungan dan Pelecehan, digilir 5 orang kemudian meregang nyawa”. Pemberitaan seperti itu tentu memicu para orang dewasa untuk bereaksi.
“Ya ampun... anak SMP loh itu!” gumam seorang perempuan yang duduk di sebelah Yuga. Namanya Dina, staf HR yang selalu cerewet soal kabar-kabar viral. "Anak sekarang memang paham soal begituan ya? Jaman gue dulu kayaknya belum paham soal seperti itu deh!"
“Sekarang anak sekolah udah kayak setan, apalagi main sosmednya bebas. Beneran, mereka semua nggak punya otak!" sambung Rio, salah satu staf keuangan yang terkenal sinis. "Kadang gue kalau lihat pemberitaan seperti itu nyesek! Gue bapak anak satu, dan gue terus mikirin gimana jaga anak gue kalau dunia udah segila ini?"
“Baru-baru ini juga ada tuh, video anak SMA ngeroyok temennya. Padahal masih pakai seragam, mereka ketawa aja, padahal korban udah minta ampun.” timpal yang lain, memperlihatkan video di ponsel.
Komentar demi komentar mengalir deras seperti hujan deras di musim pancaroba. Semuanya menyuarakan ketidakpercayaan, kekesalan, dan rasa iba yang bercampur jadi satu. Seolah-olah kejahatan anak-anak masa kini adalah hal yang baru. Memang ironi, seakan-akan generasi milenial telah salah mendidik putra-putri mereka yang lahir di generasi sekarang.
Yuga tetap diam tak bereaksi dan memilih mendengar saja. Ia menyesap rokoknya perlahan, matanya menatap layar televisi, tapi pikirannya seperti mengembara ke tempat lain.
“Pak Yuga,” suara Erik, anak baru di divisi operasional, memecah lamunannya. “Menurut Bapak gimana soal kasus-kasus anak sekolah kayak gitu sekarang? Ngeri banget ya, Pak?”
Yuga menoleh perlahan. Sorot matanya tenang, tapi ada semburat gelap di balik irisnya.
Tidak... tidak hanya zaman sekarang semua itu terjadi.
“Masalahnya bukan karena zaman sekarang,” ujarnya datar. “Anak-anak sudah nakal dari sejak dulu. Hanya saja, sekarang semua bisa terekam dan viral.”
Beberapa orang terdiam dan membenarkan perkataan Yuga. Jawaban Yuga seakan menyiratkan sesuatu yang mendalam.
“Saya sekolah di tahun 2000-an. Dan saya tahu persis… perundungan itu bukan hal baru.” Nada suaranya mulai berubah, lebih berat. Lebih dalam. "Itu hanya kejadian lama yang polanya berulang. Karena kebencian itu diajarkan, oleh pelaku yang kini mengatakan dirinya adalah orangtua."
Tiba-tiba, ingatan lama menyeruak dari dasar kenangan, seperti luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Hari itu, tahun 2008, tahun pertama Yuga kelas 1 SMA.
Langit sore berwarna kelabu saat itu. Suara lonceng sekolah baru saja usai berdentang, pertanda hari pelajaran berakhir. Tapi bagi Yuga remaja, itu bukan tanda kebebasan. Itu adalah isyarat bahaya.
Ia mencoba mempercepat langkah, menyusuri lorong sekolah yang mulai sepi. Tapi langkah-langkah lain terdengar mengejar di belakang. Tawa-tawa kecil yang menusuk telinga. Jantungnya berdetak kencang.
“Hei, berengsek! Mau ke mana lo?!” seruan itu datang dari belakang.
Tangan kasar menarik kerah bajunya. Tubuh Yuga dihempas ke tembok, kepalanya terbentur, dan cengkeraman tangan-tangan penuh kebencian mulai menarik, mendorong, bahkan memukul.
"Kenapa gak ngasih gue contekan hah? Lo gak tahu siapa ketua yayasan sekolah yang menyokong orang miskin seperti lo?" tanya Raisal, salah satu siswa terkaya di sekolah.
"M-maaf." jawab Yuga ketakutan.
“Habisin dia! Kurang ajar!” teriak Raisal.
“Lahir dari keluarga miskin saja berani bertingkah. Seharusnya lo ikutin aturan kita!” timpal Vian, salah satu krocoan Raisal.
Tertawa. Cemooh. Hinaan. Dan tendangan yang mendarat di perut Yuga menjadi sebuah kenangan pahit yang tidak pernah hilang di benak Yuga. Yuga meringkuk. Matanya berair bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena rasa malu. Di lorong itu, seorang siswi berdiri memperhatikan, lalu ikut tertawa sebelum pergi tanpa peduli. Ya, semua sama saja di sekolah swasta elit itu.
Jika bukan karena beasiswa dan ayahnya yang sakit, Yuga tidak akan pernah mau bersekolah di sana. Setiap hari adalah neraka. Yuga membenci dirinya yang lemah!
Malam setelah kejadian itu, Yuga pulang dengan seragam kotor, bibir pecah, dan luka di pelipis. Tapi yang lebih dalam dari luka fisik adalah perasaan terhina, dipermalukan, dan tak berdaya.
Dan itulah awal dari segalanya.
Yuga berdeham dan mematikan puntung rokok di asbak logam kecil. Tangannya bergetar sedikit, namun ekspresinya tetap datar. Ia menarik napas panjang.
“Waktu saya sekolah,” ujarnya perlahan, “saya diseret di lorong kelas. Ditendang. Dipukuli. Mereka menghinaku seolah sampah yang paling menjijikan. Orang hanya bisa menyaksikan kejadian itu tanpa menolong. Kesimpulannya, perundungan itu sudah ada.”
Ruang istirahat pun mendadak sunyi. Bahkan suara sendok pun berhenti berdenting mendengar cerita Owner mereka yang tidak pernah mereka sangka itu. Yuga adalah juara Taekwondo selama lima tahun ke belakang. Siapa sangka ia memiliki masa lalu yang menyakitkan?
“Bedanya cuma satu, zaman itu kamera ponsel tidak bisa merekam jelas dan lama. Belum ada medsos yang mumpuni untuk memviralkan seperti sekarang. Jadi, semua itu lenyap begitu saja. Namun, bekasnya... tetap tinggal.” ujar Yuga sambil menunjuk kepalanya.
Dina hampir membuka mulut, tapi tak jadi bicara. Rio menatap meja. Erik menunduk, merasa menyesal telah bertanya. Yuga menatap ke luar jendela. Awan siang menggantung berat. Mungkin akan hujan.
“Saya tidak akan pernah lupa,” ujar Yuga pelan, hampir seperti bisikan. “Dan saya tidak akan pernah memaafkan mereka.”
Yuga berdiri. Kancing kemejanya dikancingkan lagi, rapi. Tangannya mengambil ponsel dan bungkus rokok di atas meja. Ekspresinya kembali seperti biasa, profesional, dan dingin.
“Jam makan siang sudah habis,” ucapnya, kemudian berjalan keluar tanpa menoleh.
Bara dalam hati Yuga masih menyala. Meskipun ia sudah meraih kesuksesan sebagai Owner perusahaan, akan tetapi satu hal yang belum berubah di dirinya sejak masa sekolah dulu: ia tidak pernah benar-benar berdamai dengan masa lalu. Yuga ingin sekali membalaskan dendam yang terus menyiksa ketenangannya setiap detik.
"Aku harap kalian semua lenyap, bajingan."