Plak!
Suara pukulan keras menggema di pagi sunyi, ketika sebatang tongkat kayu menghantam kaki Enrico yang digantung terbalik di dahan pohon besar. Tubuhnya bergoyang ringan seperti buah kelapa yang belum matang jatuh dari tangkainya.
Namun tak ada teriakan. Tak ada keluhan.
Bagi Enrico Winaldy, ini sudah menjadi rutinitas. Rasa sakit itu, sudah menyatu dalam hidupnya. Bahkan ia tak lagi ingat kapan terakhir kali mengeluh karena pukulan.
Enrico adalah pemuda berusia dua puluh dua tahun, berwajah rupawan dengan rambut panjang kecoklatan yang menjuntai hingga ke bahu. Kulitnya eksotis kecoklatan akibat matahari gunung, matanya tajam seperti elang, hidungnya mancung, dan tubuhnya berotot ramping seperti pemburu belantara.
Tubuhnya kini tergantung terbalik—latihan keseimbangan energi, kata gurunya.
Di bawahnya berdiri seorang lelaki tua berjanggut putih acak-acakan, mengenakan jubah lusuh yang dulu mungkin berwarna abu-abu. Wajahnya dipenuhi keriput dan aroma minyak gosok menyengat dari tubuhnya.
Saat ini Ia teringat akan momen bersejarah.
“Nak,” ujar sang kakek dengan nada datar, “aku melihat takdir yang besar antara kita berdua.”
“Takdir?” Enrico menatapnya terbalik.
“Iya. Kau akan menjadi seseorang yang punya segalanya. Dunia akan tunduk padamu.”
Enrico mendesah. “Kakek peramal sekarang?”
“Sedikit,” jawab si kakek enteng. “Dan kalau kau mau, aku bisa ajari.”
Tapi Enrico hanya terdiam. Masih delapan tahun waktu itu, perutnya lapar dan tubuhnya lelah. Dan ketika si kakek mengeluarkan sebuah batu kecil yang bersinar samar yang Enrico yakini sebagai berlian, akal sehatnya langsung menguap.
“Aku hanya butuh bantuan naik ke puncak. Sebagai gantinya, kau bisa dapat ini.”
Enrico sempat menatap curiga. Darah menetes dari tubuh lelaki tua itu. Ia tampak sekarat, namun tatapannya tajam, penuh misteri.
“Baiklah…” gumam Enrico, lebih karena kasihan dan tergoda kilau batu itu.
Namun, begitu tangannya hendak meraih batu tersebut, si kakek sudah lebih dulu menyimpannya ke dalam saku. Tawanya renyah, jahat, dan… penuh trik.
Itulah momen yang mengubah hidup Enrico 180 derajat.
Selama belasan tahun di puncak gunung yang tak punya nama di peta manapun, Enrico tumbuh di bawah didikan keras sang guru. Ia belajar ilmu pengobatan kuno, bela diri rahasia, teknik pernapasan, energi dalam, bahkan ramalan dan formasi langka.
Namun gurunya sangat pelit.
Enrico mengerjakan misi berbahaya, membawa pulang uang yang cukup untuk membangun gunung emas, namun tak pernah diberi sepeser pun.
“Latihan tidak boleh diiringi nafsu serakah!” begitu selalu kata kakek itu, sembari menyembunyikan paha ayam panggang di balik jubahnya. Enrico hanya bisa makan bubur tawar dan rumput herbal.
Tapi hari ini ada yang aneh.
“Duduk,” kata sang kakek.
Enrico menurut, duduk di lantai bambu yang dingin. Ini bukan sesi latihan biasa. Suara gurunya terlalu lembut.
“Kau sekarang boleh turun gunung.”
Hening.
Kata-kata yang selama ini diidamkan Enrico akhirnya keluar. Dahulu, ia pernah mencoba kabur. Tapi setiap kali tertangkap, hukumannya dua kali lipat. Sekarang ia malah diizinkan pergi.
“Kenapa? Apa Kakek sakit keras?” tanya Enrico penuh curiga.
“Bodoh!” jawab si kakek sembari mengayunkan tongkat ke kepala Enrico.
“Ini untuk bekalmu.” Ia melemparkan kantong uang, sebungkus barang misterius, dan selembar surat berstempel.
“Enrico, kau sudah dijodohkan sejak kecil dengan gadis dari keluarga terpandang. Sekarang waktunya kau melamar.”
Enrico mendongak cepat. “Keturunan kaya? Cantik, kan?”
Plak!
Satu lagi pukulan melayang. Enrico sempat menghindar, lalu bangkit sambil meringis.
“Cepat pergi sebelum aku berubah pikiran.”
Enrico pamit, membawa bungkusan dan surat perjodohan yang belum pernah ia bayangkan. Namun, saat ia sampai di kaki gunung, ia berhenti sejenak dan menoleh ke atas. Gunung itu dingin dan keras, tapi di sanalah ia tumbuh.
Kakek tua itu, meskipun pelit, tetap satu-satunya keluarga yang ia punya.
Enrico akhirnya sampai di Kota Pegasus. Ia cukup terperangah melihat Gedung-gedung tinggi menjulang. Dan suara Klakson bersahutan. Aroma makanan menggugah perut yang lapar.
Di antara hiruk pikuk itu, Enrico berdiri kaku di sebuah persimpangan, bingung antara mencari alamat Keluarga Buana atau mencari makanan dulu. Tapi sebelum sempat melangkah, kerumunan orang menarik perhatiannya.
Ia menatap ke arah kerumunan yang membuat lingkaran besar.
Di tengah jalan, seorang pria paruh baya kejang-kejang dengan busa keluar dari mulutnya. Suasana panik. Orang-orang hanya menonton dan berseru-seru tanpa tahu harus berbuat apa.
Lalu muncullah seorang pria muda tampan, berpakaian rapi dan mengenakan name tag emas yang berkilau.
“Aku Dokter Alexander dari Rumah Sakit Afiliasi Kota Pegasus,” katanya.
Setelah mendengar ada Dokter, mereka yang berkerumun membuka jalan untuk memudahkan pengobatan.
Kepercayaan diri Alexander luar biasa, ia mengeluarkan suntikan dan menyuntik pasien yang sedang sekarat.
Enrico yang memperhatikan menggeleng pelan. “Salah urat, obatnya pun tak cocok.”
Tapi ketika ia berkata demikian, seorang ibu menatapnya sinis. “Kau itu bukan dokter. Emang ya, hidup itu tidak nyaman tanpa mengomentari orang lain.” ujarnya mengejek.
Seorang pemuda juga mengejeknya. “Gelandangan mana yang sok tahu ini?”
Dokter Alexander yang mendengar juga, langsung menoleh setelah selesai menangani dan menatap Enrico dari ujung kepala hingga kaki. Bajunya sederhana, rambutnya acak-acakan, dan tasnya hanya berisi sebungkus bungkusan aneh. Jelas bukan siapa-siapa.
“Kau tahu apa?” ejek Alexander. “Ini urusan profesional. Jangan ganggu. Pergilah, mengemis sana!” ucapnya sambil melambaikan tangan.
Orang-orang sekitar tertawa mendengar perkataan Dokter Alexander yang tertuju pada Enrico. Mereka seolah setuju. Buru-buru ikutan melambaikan tangan, mengusir.
Enrico mengabaikan mulut sekitar yang tak beretika. “Metode yang kau lakukan itu memang salah dan apa yang aku katakan adalah benar.” ucapnya penuh percaya diri.
Alexander membusungkan dada dengan bangga dan berkata, “Aku adalah dokter dari Rumah Sakit Afiliasi Kota Pegasus, kalau aku tidak bisa menyembuhkannya. Maka gelarku sebagai Dokter itu sia-sia. Hal seperti ini sudah biasa aku tangani. Lihatlah, dia sudah sembuh.”
Kejang laki-laki itu berhenti, dan orang-orang langsung memuji Dokter Alexander sebagai dokter hebat.
“Ya. Apa kamu melihatnya. Buka matamu lebar.” Entah siapa yang bicara dan itu cukup menyakiti pendengaran.
Alexander memandang Enrico dengan jijik. Bagaimana bisa seorang yang berpakaian compang-camping berani mengkritiknya? “Lalu kamu? Apakah kamu bisa menyembuhkannya? Janya bisa berkomentar saja, bukan?”
Orang-orang di sekitar juga menatap Enrico dengan tatapan meremehkan. Untuk bisa masuk ke Rumah Sakit Afiliasi Kota Pegasus, seseorang harus punya latar belakang pendidikan dan kemampuan yang luar biasa. Namun, Enrico tampak lebih seperti gelandangan.
“Aku? Tentu saja aku bisa!” jawab Enrico santai.
“Cih. Memangnya kau seorang Dewa. Jika berkata ‘bisa’ maka akan bisa. Tidak semudah itu. Makanya, sekolah yang tinggi agar lebih pintar.” Alexander terus menyindir dan menyematkan ejekan. Tak lupa dia menunjuk ke arah kepalanya.
Meskipun di usir dan mendapatkan cemoohan, Enrico masihlah bersikap tenang.
Dia berjalan dengan santai, memesan makanan dan berkata pada Alexander yang didengar oleh semua orang. “Pasien itu akan muntah dalam satu menit dan kejangnya akan semakin parah.”
Dia sebenarnya sedang dalam perjalanan melamar ke Keluarga Buana, tetapi karena melihat kejadian ini, dia memutuskan untuk membantu. Sang kakek pernah berkata, "Menyelamatkan nyawa akan membuatmu dikenang,"
Sedangkan dokter ini tampaknya tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan.
Entah bagaimana bisa dia mendapatkan gelar Dokter. Enrico heran.
Enrico tidak peduli dan mulai menikmati sarapannya yang sudah berada di atas meja.
Ketika Alexander tengah menikmati segala pujian, tubuh si pasien tiba-tiba melengkung hebat, muntah deras ke segala arah, dan jantungnya berhenti berdetak.
Orang-orang di sekitar langsung panik.
Enrico masih tampak tenang, seperti sudah tahu ini akan terjadi.
Alexander mulai panik. Dia sebenarnya masuk ke Rumah Sakit Afiliasi Kota Pegasus melalui jalur belakang, dan ingin memamerkan kemampuannya di sini, namun malah memperburuk keadaan. Kalau sampai hal ini diusut, pekerjaannya bisa terancam.
Dokter Alexander mendadak pucat pasi. Ia melirik kiri-kanan, lalu mendekati Enrico tanpa rasa malu. “Tidak ada cara lain, aku harus memanfaatkan dia sebagai kambing hitam dari masalah ini.” bergumam dalam hati.
“Kau bilang tadi tahu cara mengobatinya, kan? Ayo buktikan sekarang kalau memang kau mampu.”
Enrico, dengan tenang menyeruput teh hangat dari warung kecil di pinggir jalan, menoleh sambil tersenyum malas. “Tadi kamu menghinaku, sekarang bahkan untuk minta tolong kamu berkata seperti itu. Kamu pikir aku orang yang mudah dijadikan kambing hitam?” tegasnya.
Orang-orang tercengang mendengar penolakan Enrico. Bahkan ada yang mengatakan Enrico hanya gelandangan sombong. “Diberi kesempatan untuk mengobati, malah tak tahu terima kasih.”
Dokter Alexander menggertakkan giginya, segera dia berkata, “Asal pasien bisa diselamatkan, berapa pun bayaran yang kau minta akan aku berikan.”
Enrico memang sedang butuh uang untuk membeli barang demi melamar ke keluarga Buana, segera Ia berkata. “20 juta,” singkat, padat.
“Dia benar-benar gila, menolong orang juga meminta bayaran tak masuk akal.” Lagi-lagi suara hujatan datang
Tapi, Alexander langsung setuju. “Asal dia dapat hidup, jangankan 20 juta, 200 juta pun tak masalah.” meski mulutnya berkata begitu, dalam hati dia tetap tak yakin Enrico bisa menyembuhkan pasien. Masa dia kalah dari seorang gelandangan. Tapi yang terpenting kali ini adalah reputasinya akan tetap terjaga kalau Enrico gagal. Senyum licik mengembang di wajahnya.
Di antara kerumunan itu, seorang lelaki tua berpakaian sederhana menatap Enrico dengan mata menyipit. Di sisinya, seorang wanita muda dengan gaun biru menatap penuh harap. “Sebaiknya kita pergi dari sini.”
“Kita tunggu sebentar lagi. Siapa tahu dia benar-benar bisa menyelamatkan orang itu.” si wanita ingin tetap tinggal dan melihat. “Kalau memang dia bisa melakukannya, siapa tahu kakek juga bisa disembuhkan.”
Namun lelaki tua itu menganggap wanita itu bodoh. Katanya, "Kalau orang itu benar-benar punya kemampuan, mana mungkin hidupnya sampai seperti ini."