Lelah setelah seharian bekerja, Rob berjalan dengan kepala tertunduk menyusuri malam yang gelap seorang diri. Dia tampak begitu lesu karena di kepalanya hanya berisi tumpukan tagihan biaya hidup mantan istrinya yang harus segera dibayarkan dan itu benar-benar membuatnya tidak tenang. Dia benar-benar merasa tertekan karena beban ini hingga dia tidak tau harus berbuat apa.
Semenjak bercerai dari Rihana, mantan istrinya yang telah memberinya 2 orang anak, Nathan 3 tahun dan Mila 5 tahun, Pria 27 tahun ini memang sering melamun dan berharap ada secercah harapan untuknya keluar dari ujaran yang selalu merendahkannya yang datang dari semua orang terlebih keluarga mantan istrinya.
Ini semua terjadi karena seumur hidupnya Rob hanyalah pekerja lepas yang tidak pernah mampu menghasilkan cukup uang untuk biaya hidupnya. Maklum dia hanya pria dengan pendidikan rendah tanpa keahlian yang mumpuni hingga sulit baginya mencari pekerjaan di kota besar tempatnya tinggal.
“Setelah ini aku harus membayar uang sekolah anakku dan makan siang mantan istriku. Dari mana semua uang itu!” kesal Rob sambil terus berjalan menuju rumahnya yang berada di pinggiran kota.
Semenjak bercerai dia memang hanya punya uang untuk sebuah kamar kotor tanpa pendingin ruangan di sebuah pemukiman kumuh. Dia hanya bisa jadi supir lepas yang hanya punya pekerjaan jika ada orang baik mau memakai jasanya.
Rob akhirnya tiba di kamarnya lalu membuka pintu dengan sisa tenaganya. Hari ini memang ada pekerjaan untuknya tapi dia tidak tahu apakah besok atau lusa dia akan memiliki uang untuk makan.
Kring!
Ponsel Rob berdering dan dengan cepat diraihnya. “Rihana,” desis Rob kemudian menghela nafas. “Dia pasti mau minta uang,” ketus Rob kemudian mematikan deringan telepon.
Dia terlalu lelah untuk menghadapi wanita yang telah memberikannya dua orang anak yang hanya menghubunginya saat Rihana butuh uang saja, selebihnya, jangan harap wanita berambut ikal itu mau menghubungi Rob.
[Kenapa tidak jawab teleponku? Aku butuh uang. Beri aku uang atau aku akan mengirim anak-anakmu ke panti asuhan, pria tidak berguna!]
Kata-kata itu lagi. Kata yang selalu didengar Rob dengan hati dan darah yang mendidih. Rasanya ingin sekali dia mengirimkan ratusan juta dollar ke rekening Rihana agar wanita itu berhenti mencemoohnya dan pergi dari hidupnya agar Rob bisa memiliki lembaran hidup yang lebih indah.
Semua tentu adalah harapan Rob, tapi saat ini jangannya untuk mengirimkan uang, untuk makan saja dia hanya bisa berharap dari pekerjaannya yang tidak setiap hari bisa dijalankan.
Lelah berpikir, Rob kemudian mulai memejamkan matanya di sofa butut yang ada di ruangan tamu sempitnya hingga keesokan harinya.
Matanya terbuka saat sinar matahari menembus jendela dan perlahan terbuka karena dia ingat jika seorang teman berjanji akan merekomendasikan Rob ke sebuah museum di kota North Port untuk membawa sebuah benda keramat yang kabarnya tidak ada satu orangpun bersedia membawanya ke kota Bronson, 17 mill dari tempat tinggal Rob saat ini.
Ah! Ini dia!
Rob terperanjat begitu sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Pengirimnya adalah Wiliam pegawai museum yang juga teman Rob.
[Rob pekerjaan ini berharga 1.500$ dan hanya aku berikan padamu. Hanya padamu]
“Wow, 1.500$. Apa aku tidak salah dengar?” Rob tersenyum simpul.
Setelah itu teman Rob melanjutkan pesan dengan aturan yang harus dipatuhi oleh supir lepas itu tapi Rob sudah tidak peduli. Yang dia tau cuma uang yang akan diterima dan cukup untuk membungkam mulut Rihana
[Kalau begitu pergilah ke museum kota sekarang]
Rob setuju dan berjanji akan segera pergi ke tempat yang mereka sepakati. Tanpa harus berpikir dia pun menuju kamar mandi dan mengguyur kepalanya dengan air dingin agar terlihat lebih segar.
Setelah mandi dan bersiap Rob berlari menyusuri jalan menuju Museum kota North Port dengan penuh semangat dan tiba 30 menit lebih awal dari janjinya.
“Kamu sudah datang?” sambut William.
“Ya, kamu bilang bayarannya 1.500$ kan?” tanya Rob memastikan.
“Benar! Bayarannya mahal karena memang tugas ini tidak bisa aku berikan ke sembarangan orang,” bisik William pada Rob membuat pria yang memang butuh uang ini semakin bersemangat untuk menerima tawaran pekerjaan ini.
“Jadi kapan aku bisa mulai kerja?”
“Kau benar-benar mau menerima pekerjaan penting ini?” tanya William dengan wajah masih tidak yakin dengan keberanian pria ini. “Tapi kamu harus janji tidak boleh melanggar aturannya, ya,”
Rob terdiam sesaat mendengar perkataan temannya itu. “Jadi membawa benda ini ada aturannya? Atau aku cuma harus mengantarkan sebuah cermin saja?” tanya Rob penasaran.
“Mmm!” Raut wajah William berubah dingin tapi dia cepat-cepat tersenyum. “Ya, cuma bawa cermin saja!” ulang William meralat perkataannya.
Mendengar perkataan temannya Rob menepuk dadanya. “Kalau cuma antar cermin, aku sudah bisa lakukan itu sejak aku 5 tahun,”
“Bagus!” William menjabat tangan Rob kuat lalu tersenyum lebar. “Aku suka keberanianmu. Tapi kamu harus janji, selama mengirimkan cermin ini, kamu harus hati-hati dan jangan buka box truk ini kecuali kamu sudah tiba di museum Bronson. Kalau kamu tanya kenapa, aku hanya bisa bilang kalau Cermin ini sudah pernah memakan korban,”
Rob mengernyitkan keningnya lalu menatap William dengan tajam. “Memangnya ini cermin apa? Kenapa dia sampai memakan korban?”
“Ah! Hahahah. Ini pekerjaan 1.500$. Tidak mungkin ini pekerjaan mudah!” tegas William dengan suaranya yang berat. “But! No! Tugasmu cuma bawa cermin!”
“Hah!” Rob terlihat ragu melihat perkataan William yang berubah-ubah, tapi sedetik kemudian dia kembali menjabat tangan William lalu tersenyum. “Tidak apa. Asal aku dapat 1.500$, apapun akan aku lakukan!”
“Bagus! Aku yakin kamu orang terpilih itu.” William lalu mengajak Rob menuju bagian belakang museum lalu menunjukkan sebuah cermin berukuran 2x2 meter yang dibingkai sebuah kayu jati tua dengan ukiran bunga mawar serat daunnya yang hijau. Barang antik ini dikabarkan adalah hadiah yang diberikan seorang kaya saat Aethelstan dinobatkan sebagai Raja Anglo-Saxon, Raja Inggris pertama pada tahun 925
Dari kejauhan cermin ini tidak berbeda dengan cermin pada umumnya, memang ukiran di bingkainya sangat indah dan sesekali nampak pantulan cahaya keluar dari dalam cermin dan ekor mata Rob dapat berhasil melihatnya meski saat Rob memutar bola matanya cahaya itu kemudian menghilang.
“Jadi ini yang harus aku antar?” tanya Rob mengagumi ukiran di kayu jati yang membingkai cermin indah itu.
“Benar. Ini bendanya. Tapi kamu harus hati-hati. Kami tidak mau benda ini sampai pecah,” William kemudian menunjuk ke setiap detail dari benda keramat itu lalu memutar wajahnya ke arah Rob. “Ini benda keramat.”