Prolog.
Seharusnya ini tidak mungkin terjadi. Maksudku, sungguh, ini sama sekali di luar nalar! Kecuali kalau sebelumnya aku baru saja meneguk sebotol whisky murahan dan mengalami delusi parah, tentu saja. Tapi sayangnya, aku terlalu waras untuk melakukan hal seperti itu.
Satu menit aku masih duduk di depan komputerku, bermain game sambil mengunyah keripik jagung rasa barbeque yang gurih, dan detik berikutnya, aku sudah tersedot oleh semacam lubang hitam mengerikan dan mendarat dengan tidak elitnya di atas tumpukan jerami yang berbau seperti kencing kuda bercampur pupuk kandang.
Ya ampun, ini pasti hanya mimpi buruk! Tapi bagaimana bisa mimpi terasa seperti kenyataan? Kulihat sekelilingku, dan yang kutemukan hanyalah pemandangan asing yang sepertinya dari peradaban pertengahan–kalau begitu, aku benar-benar dalam masalah besar kali ini! Kastil-kastil megah berdiri kokoh dengan menara-menaranya yang tinggi menjulang. Prajurit berkuda dengan zirah dan tombak melintasi jalan berbatu. Bahkan udarapun terasa berbeda, tercampur aroma kayu bakar dan kotoran hewan.
Kalau saja aku tidak habis menonton film ilmiah semalam, mungkin aku sudah menganggap ini hanya mimpi spritual. Sayangnya ini, ini terlalu nyata untuk sekedar bunga tidur. Aku benar-benar melempar ke masa lalu! Oke, siapapun yang melakukan ini padaku, lelucon kalian sama sekali tidak lucu!
****
Namaku Arjuna. Yah, aku tahu pasti kalian bertanya-tanya, kenapa orang tuaku memberiku nama dari tokoh epik Mahabarata? Entahlah, mungkin mereka mengharapkan aku menjadi pahlawan seperti dia suatu hari nanti. Yang jelas saat ini, aku jauh dari kata pahlawan.
Aku terseok-seok menyusuri hutan belantara yang lebat dan liar. Setiap langkah terasa berat karena aku mengayunkan kaki menembus tumpukan daun kering yang menutupi tanah. Bunyi ranting patah mengiringi setiap jejak langkahku. Sesekali semak belukar menggores kulitku yang tak terlindungi, meninggalkan garis-garis merah memanjang.
Pohon-pohon tua berdiri gagah menjulang keangkasa cahaya matahari yang menerobos celah dedaunan memberikan akses jingga keemasan pada kayu lapuk yang berserakan di tanah. Udara segar perdesaan membanjiri napasku yang tersiksa dengan bau kencing kuda saat aku mendarat. Ah, tidak heran kenapa orang zaman dulu tinggal di hutan seperti ini. Udaranya Benar-Benar menyegarkan!
Namun Begitupun aku harus waspada, siapa tahu ada binatang buas yang bersembunyi di balik semak-semak, mengintai mangsanya. Atau mungkin aku menemukan sekawanan goblin seperti ada di game-game fantasy? Aku bergedik ngeri membayangkannya.
Lalu tiba-tiba, terdengar suara Geraman rendah di sisi kakiku. Jantungku terasa seperti mau meloncat keluar! Dengan gugup aku mencari sumber suara itu. Tidak, tidak mungkin itu suara serigala, kan? Maksudku aku masih di abad pertengahan, bukan di hutan rimba!
Akhirnya, kutemukan sumber suaranya. Rekor anjing kampung besar berwarna hitam kelam menatapku curiga dari balik semak itu. Kedua telinganya terjatuh lemas dan ekor tak bergerak sama sekali–gaya bertahan yang defensif. Ia adalah anjing liar. Mungkin dia terbiasa di buru oleh manusia hingga seperti ini sikapnya.
“Hey, boy … Easy, easy … I’m not gonna hurt you,” aku menenangkannya dengan selembut mungkin. Anjing itu tidak bergerak sama sekali, masih menatapku dengan tatapan curiga.
Perlahan aku keluarkan keripik dari sakuku–itu keripik terakhir di kantongku. Harta berharga untuk saat-saat kelaparan seperti ini. Namun sepertinya anjing itu lebih membutukan dariku. Dengan hati-hati aku melemparkan sepotong ke arahnya. Ia mengenduskan sebentar lalu ia melahapnya.
Sebuah hubungan baru telah terjalin. Anjing itu keluar dari semak belukar dan menghampiriku dengan ekor terancung gembira. Aku mengusap perlahan leher dan kepalanya yang berbulu tebal. Seperti aku baru saja mendapatkan teman baru di dunia aneh ini, fufufu…
Aku melanjutkan perjalanan dengan anjing liar yang kini menjadi temanku yang aku beri nama Kyro, seperti ahli pedang yang tak kenal takut. Kami berdua kompak menghadapi rintangan demi rintangan di hutan rimba ini.
Pada awalnya, aku sempat ragu apa Kyro bisa mengikutiku. Namun dia sangat gesit lincah di antara semak belukar. Tak sekalipun tersandung atau tertinggal di belakang. Mungkin karena tubuhnya yang ramping dan kecil, dia bisa meloloskan diri di celah-celah sempit yang tak bisa ku lewati. Berkali-kali dia membantuku saat aku hampir terperosok ke lubang tak ketara yang di tutupi dedaunan.
Disisi lain aku tak sepenuhnya bagi Kyro. Dengan mata jeli dan kepekaan indraku yang terasah, aku beberapa kali menyelamatkan dari bahaya yang tak disadari, seperti ular berbisa atau ranjau dari pemburu liar.
Perjalanan yang terbilang mengerikan, kini terasa menyenangkan dengan teman seperjuangan. Setiap malam kami menghabiskan waktu dengan di depan api unggun kecil, berbagi cerita konyol tentang petualangan kami masing-masing di hutan. Sayang sekali aku tidak bisa memahami gonggongnya, tetapi wajah manisnya membuatku tergelak.
Hari demi hari berlalu, bahaya-bahaya pun terlewati. Kami bahkan bahkan berhasil mengalahkan sekawanan serigala lapar yang hendak menyerang. Dengan kecepatan dan sigap, Kyro menyerang dari bawah untuk memperhatikan dari bawah untuk mengalihkan perhatian, sementara aku memukulkan tongkat kayuku ke kepala-kepala mereka yang lengah dari atas. Kerja sama luar biasa!
Lama kelamaan, siluet kerajaan yang kulihat dari kejauhan itu semakin terlihat dari kejauhan itu semakin jelas. Aku hampir tak percaya kami sungguhan sampai ke tempat itu! Kuharap saat tiba nanti aku bisa menemukan bantuan atau setidaknya tempat berteduh yang layak. Jika ditanya kenapa aku bisa sampai kemari, mungkin aku harus menyusun cerita bohong yang masuk akal. Tak mungkin aku menceritakan sebenarnya–kalau kau berada pada abad ke-21 dan terlempar ke masa lalu akibat terjadinya anomali waktu.
Namun tiba-tiba dari kejauhan, aku dengar erangan kesakitan. Rupanya ada sosok manusia terluka di pinggir jalan setapak yang kami lalui. Dengan segera aku dan Kyro berlari menghampirinya. Seorang pria tua berwajah persaudaraan tampak kejam kesakitan dengan kaki yang membengkak dan memerah. Sepertinya dia terkilir atau patah tulang.
“Uhh …Bantuan…Tolong! Aku Velior, pedagang dari Utrecht. Kakiku…” erang si pria lemah.
Aku dan Kyro saling berpandangan. Jelas kami tidak bisa pria tua terluka ini seorang diri, bisa-bisa dia dimangsa kawanan serigala atau binatang buas lainnya. Dengan sigap, aku mengumpulkan ranting kering dan memasang tandu seadanya untuk menggotongnya.
“Tenang saja kami akan menolongmu ke kerajaan itu dengan selamat,” aku berusaha menenangkannya.
Pria tua itu tampak terkejut melihat penampilanku yang aneh–memang tak aneh heran karena aku hanya memakai kaus oblong yang sudah robek dan hanya menyisakan setengah dadaku kelihatan hingga kebagian perut kiri dengan celana jeans pendek modern yang benar-benar mencolok di zaman ini. Namun segera dia menganggukkan kepala, terlalu kesakitan untuk ambil pusing.
Selama selama beberapa jam perjalanan berikutnya, aku menggotong di pundak dengan tertatih-tatih sementara Kyro mengekori ku, matahari sudah tinggi sewaktu kami dengan selamat di gerbang kerajaan yang megah. Para penjaga yang berjaga di menara gerbang sempit menghujani kami dengan tatapan curiga. Tetapi memutuskan untuk mengizinkan kami tatkala melihat pria tua yang terluka itu.
Ternyata tempat yang sedari awal adalah kerajaan Windsor, salah satu wilayah kekuasaan kesultanan inggris di masa lalu, Nuansa khas Eropa Barat abad pertengahan itu terpampang nyata lewat arsitektur bangunanmya yang masif dan cara berpakaian penduduknya.
Aku tak dapat membayangkan akan sampai sejauh ini saat mengawali perjalanan dari hutan rimba tadi. Namun inilah kenyataannya–aku dan Kyro selamat dari sebuah petualangan seru sekaligus menggenggam harapan di kerajaan aneh ini.