

Aku tidak pernah suka pagi.
Bagi sebagian orang, pagi berarti awal baru—matahari terbit, kesempatan baru, harapan baru. Tapi bagiku? Pagi hanya berarti satu hal: mengulang hidup yang sama membosankannya. Seragam kusut, sepatu kotor, tatapan orang-orang yang seakan ingin menghilang begitu aku lewat.
Aku Dava.
Ya, orang-orang di sekolah ini menyebutku “api”. Panas, liar, tidak bisa dikendalikan. Kadang aku merasa mereka benar. Aku memang tidak pernah berusaha jadi baik. Untuk apa? Dunia tidak pernah ramah padaku, jadi kenapa aku harus repot-repot ramah pada dunia?
Mereka bilang aku bad boy, anak bengal, murid kesayangan guru BK. Dan aku tidak keberatan. Julukan itu justru jadi tamengku. Selama orang lain takut, mereka tidak akan berani mendekat. Selama mereka menjauh, aku aman.
Aku masuk ke kelas dengan langkah malas. Seperti biasa, suara gaduh pelajaran pertama langsung reda ketika pintu terbuka. Semua mata menoleh, lalu buru-buru berpaling. Ada yang tiba-tiba asyik dengan bukunya, ada yang pura-pura ngobrol dengan teman sebangku. Aku bisa merasakan hawa canggung memenuhi ruangan, dan itu… lucu.
Aku menyeringai tipis.
Rasa takut mereka adalah hiburanku.
Pipi kiriku masih lebam—oleh-oleh dari tawuran semalam di lapangan dekat terminal. Tidak masalah. Lebam itu seperti lencana kebanggaan. Semacam pengingat bahwa aku bisa bertahan.
Aku menjatuhkan tubuhku ke kursi belakang, kursi favoritku. Dari sini aku bisa melihat semua orang, tapi mereka berpura-pura tidak melihatku. Begitu caranya dunia bekerja.
Lalu pintu kelas berderit.
Dia masuk.
Aruna.
Nama yang terlalu sering kudengar, bahkan sebelum aku benar-benar mengenalnya. Ranking satu, ketua kelas, murid teladan kesayangan guru. Kalau ada poster “anak ideal” di sekolah ini, wajahnya pasti terpampang di sana.
Rambut hitamnya dikuncir sederhana, wajahnya bersih, dan langkahnya… terlalu tenang untuk ukuran anak SMA. Dia seperti berjalan dengan garis lurus yang sudah digambar di lantai, tanpa pernah melenceng.
Dan yang paling menyebalkan: dia tidak pernah menunduk ketika melewatiku.
Matanya menelusuri ruangan, lalu berhenti tepat padaku. Tatapan lurus, tidak ada takut, tidak ada benci. Hanya… tatapan biasa. Seolah aku bukan ancaman, seolah aku bukan siapa-siapa.
Aku mendengus pelan. Gadis itu bahkan tidak sadar, hanya dengan menatapku begitu, dia sudah mengusik egoku.
“Dava.” Suara wali kelas memecah pikiranku. “Mulai minggu ini, kau akan mendapat tutor pribadi. Nilaimu terlalu buruk. Dan tutor-mu adalah…”
Aku sudah bisa menebak.
“…Aruna.”
Seisi kelas langsung riuh.
Ada yang bersiul, ada yang cekikikan. Suara-suara kecil berbisik di belakangku.
“Api sama kapur tulis, gila juga guru ini.”
“Aruna bakal gosong, sumpah.”
Aku mengetukkan jariku ke meja, menahan rasa jengkel. Tutor pribadi? Guru ini pikir nilai raporku bisa berubah cuma karena duduk berdua dengan gadis pintar itu? Lucu sekali.
Aruna melangkah maju. Wajahnya tidak berubah sedikit pun meski semua orang jelas menatapinya. Matanya kembali menatapku, lebih dekat dari sebelumnya.
“Senang bekerja sama, Dava,” katanya singkat. Suaranya pelan tapi jelas.
Aku hampir tertawa.
Senang bekerja sama? Gadis ini bahkan tidak tahu dengan siapa dia berurusan.
Bel pulang akhirnya berbunyi, dan wali kelas memanggilku sebelum aku sempat kabur. “Dava, tunggu sebentar. Kamu ada jadwal belajar dengan Aruna di ruang kelas kosong lantai dua.”
Aku menahan dengusan kesal.
Belum apa-apa, sudah harus menyiksa diri duduk berdua dengan si anak emas.
Aku berjalan ke lantai dua dengan langkah malas. Koridor sepi, hanya suara sepatuku yang beradu dengan lantai. Saat membuka pintu ruang kelas kosong itu, aku melihatnya sudah ada di sana—duduk manis dengan buku-buku tebal tersusun rapi di meja.
“Telat,” katanya tanpa menoleh.
Aku menaikkan sebelah alis. “Sudah mulai main hakim waktu, ya? Padahal aku bahkan belum sepakat untuk datang.”
Dia menutup bukunya perlahan, baru menatapku. “Kalau tidak mau belajar, kenapa repot-repot datang?”
Aku terdiam sebentar. Pertanyaan itu terdengar sepele, tapi cukup menusuk.
“Karena aku tidak punya pilihan,” jawabku datar sambil menjatuhkan tubuh ke kursi seberangnya.
Aruna membuka catatan, menyiapkan pulpen. “Kita mulai dari Matematika. Kau paling buruk di sini.”
Aku menguap. “Semua pelajaran buruk, bukan?”
Dia menatapku sejenak, lalu tersenyum tipis. “Benar. Tapi kalau kita mulai dari yang terburuk, sisanya akan terasa lebih mudah.”
Aku ingin membalas sinis, tapi entah kenapa, aku menahan lidahku. Ada sesuatu dari senyumnya—bukan senyum manis ala murid teladan, tapi senyum yang… tulus. Senyum yang tidak menilai, tidak menghakimi.
Dia mulai menulis di papan tulis kecil yang dibawanya. Aku menatap coretan itu dengan malas, sampai mataku menangkap sesuatu di pinggir buku catatanku. Coretan sketsa—kebiasaan tanganku setiap kali bosan. Api, garis-garis, wajah samar.
Aruna melihatnya juga.
Alih-alih mencibir, dia justru berkata, “Bagus.”
Aku terbelalak kecil.
Tidak ada yang pernah bilang coretan-coretanku bagus. Biasanya orang hanya menganggapnya sampah.
“Bagus?” ulangku, sedikit sinis.
Dia mengangguk. “Kau punya imajinasi. Aku bisa lihat dari garisnya. Kau mungkin liar, tapi ada sesuatu yang ingin kau sampaikan lewat ini.”
Untuk pertama kalinya, aku kehilangan kata-kata.
Sial.
Gadis ini baru saja menembus sesuatu yang selalu kusembunyikan.
Sesi pertama itu berakhir tanpa banyak perubahan. Aku tetap malas, tetap pura-pura tidak peduli, tapi pikiranku tersangkut pada satu hal: tatapan Aruna pada coretan mejaku.
Tatapan yang tidak menghakimi.
Tatapan yang membuatku… merasa terlihat.
Dan aku benci mengakuinya—tapi aku mulai penasaran pada gadis itu.
Masalahnya sederhana.
Api dan kapur tulis tidak pernah diciptakan untuk bersama.
Aku bisa melindunginya… atau justru menghancurkannya.
Dan aku belum tahu, berani tidaknya aku memilih.
Aku menghembuskan napas panjang, menatap plafon kamar yang sudah penuh coretan spidol hitam. Setiap garis, setiap kata kasar yang kutulis di sana, seperti saksi bisu betapa berantakannya pikiranku. Kamar ini, yang seharusnya jadi tempat tenang, justru berubah jadi neraka kecil. Dan aku betah tinggal di dalamnya.
Pagi berikutnya, dering alarm dari ponsel bututku meraung keras. Kubanting saja ponsel itu ke lantai. Retak sedikit di bagian layar, tapi masih nyala. Sama sepertiku: rusak, tapi entah kenapa masih terus berjalan.
Aku turun ke ruang makan. Ibu sudah menyiapkan sarapan, tapi aku hanya melirik sekilas. Hubunganku dengan ibu seperti bayangan tipis di dinding—selalu ada, tapi tak pernah benar-benar dekat.
“Dava, makan dulu. Kamu enggak bisa terus-terusan bolos sarapan,” katanya lembut.
Aku menyalakan rokok, lalu menjawab dingin, “Nggak lapar.”
Tatapan kecewanya menyusulku sampai pintu. Aku tahu dia lelah menghadapi anak laki-lakinya yang selalu jadi masalah. Tapi aku juga lelah. Bedanya, aku nggak pernah nunjukin itu.
Di sekolah, langkahku langsung menarik perhatian. Semua orang seperti refleks menyingkir, membuka jalan untukku. Aku menikmati itu. Bukan karena aku bangga jadi ditakuti, tapi karena lebih gampang hidup kalau orang-orang enggak berani mendekat.
Sampai akhirnya suara itu terdengar.
“Dava!”
Aku berhenti. Suara tegas, tapi bukan dengan nada takut. Kupalingkan kepala, dan di ujung koridor kulihat sosoknya. Aruna. Seragamnya rapi, dasi terikat sempurna, sepatu hitamnya mengilap. Dia berjalan ke arahku, tenang, seakan tidak peduli dengan tatapan semua orang.
“Kamu lupa, kan?” katanya begitu sudah berdiri di depanku.
Aku mengangkat alis. “Lupa apa?”
“Jam belajar tambahan. Guru Matematika suruh aku jadi tutor kamu. Mulai hari ini.”
Aku terkekeh sinis. “Tutor? Jadi, kau pikir angka-angka itu bisa bikin aku berhenti jadi masalah?”
Dia menatapku lurus. Mata cokelatnya jernih, tanpa goyah sedikit pun. “Bukan angka-angka yang bikin kamu masalah, Dava. Sikap kamu yang bikin.”
Kalimat itu seperti tamparan. Aku biasanya akan langsung membalas dengan kata-kata kasar atau ejekan, tapi entah kenapa mulutku terkunci. Gadis ini… berani sekali.
“Dengar, Aruna,” aku mendekat, suaraku direndahkan. “Kalau kau pintar, seharusnya kau tahu menjauh dariku. Api nggak pernah ramah pada kapur. Sekali kena panas, kau hancur.”
Dia malah tersenyum tipis. “Mungkin. Tapi tahu nggak, kapur justru bisa menuliskan sesuatu di papan yang kosong. Dan mungkin, api kayak kamu butuh itu.”
Aku terdiam.
Dia lalu melangkah pergi, meninggalkanku dengan puluhan pasang mata yang mengamati kami. Untuk pertama kalinya, aku merasa ditantang bukan dengan tinju, tapi dengan sesuatu yang jauh lebih sulit: kejujuran.
Hari itu, aku duduk di kelas tambahan yang kosong, hanya ada aku dan Aruna. Aku menyandarkan tubuh di kursi, menyalakan rokok, sementara dia membuka buku dengan tenang.
“Kamu nggak boleh ngerokok di sini,” katanya tanpa menoleh.
“Aku nggak peduli.”
“Tapi aku peduli. Kalau kamu mau tetap di ruangan ini, matikan.”
Aku mengangkat alis. Biasanya, orang akan membiarkanku melakukan apa pun. Tapi gadis ini… lain. Aku mendecih, lalu mematikan rokokku di ujung meja.
Dia tersenyum samar, lalu mulai menulis rumus di kertas. “Oke. Kita mulai dari dasar dulu. Kalau kamu bisa, aku bakal kasih soal lebih susah.”
Aku menatap tangannya yang bergerak cekatan di atas kertas, kemudian menatap wajahnya yang serius. Ada sesuatu di sana—keteguhan yang tidak kupunya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berpikir: mungkin… mungkin aku butuh lebih dari sekadar api untuk bertahan.