Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Kebetulan yang Menyatukan

Kebetulan yang Menyatukan

R.A.P | Bersambung
Jumlah kata
109.9K
Popular
585
Subscribe
162
Novel / Kebetulan yang Menyatukan
Kebetulan yang Menyatukan

Kebetulan yang Menyatukan

R.A.P| Bersambung
Jumlah Kata
109.9K
Popular
585
Subscribe
162
Sinopsis
PerkotaanSekolahSistemMisteriSihir
Di dunia di mana banyak orang memiliki akses ke sebuah sistem ajaib yang dapat mengabulkan impian sampai mengubah kehidupan mereka apabila mereka mampu memenangkan Perang Sistem. Siapa pun yang mendapatkan sistem ajaib, disebut Gladiol. Misi yang diterima para Gladiol membuat mereka bersaing di antara para Gladiol lain tanpa saling mengetahui. Cerita ini berpusat pada Rangga Utami, seorang pemuda sederhana yang mendapatkan sistem ajaib tersebut yang perlahan mulai mengubah kehidupannya. Misi pertama yang Rangga dapat mengharuskannya pacaran dengan Naila Syamsi yang kebetulan juga, Naila mendapatkan misi yang sama dari sistem ajaib miliknya. Hubungan di antara mereka terbentuk karena kebetulan yang terjadi berkat sistem dan tanpa sepengetahuan mereka.
Bab 1: A dan B

Di pusat kota yang ramai, berdiri sebuah gedung megah dengan logo “Inovasi Ajaib” terpampang di bagian atasnya.

Perusahaan ini telah lama terjun dalam dunia bisnis, menawarkan berbagai barang ajaib dan jasa yang tak tertandingi dalam kualitas barang dan keandalan pekerjanya.

Di salah satu ruangan kerja di gedung tersebut, di lantai lima, terdapat sebuah meja yang teratur dengan tumpukan berkas dan sebuah laptop.

Seorang wanita muda bernama A, berusia dua puluh tahun sedang duduk di kursi roda yang dapat diputar 180°.

Dirinya hanya karyawan biasa yang tetap bekerja ditanggal merah sekalipun. Ia dipaksa lembur oleh atasannya.

Padahal dirinya sudah berencana untuk pulang lebih awal. Tapi apa daya, ia tidak bisa melawan atasan yang menggajinya.

“Ha... malas kali mengerjakan ini semua,” ucap A dengan sedikit desahan. Tidak lama ia menoleh ke belakang melihat sesuatu.

Jam dinding menggantung dengan anggun di dinding yang berwarna krim lembut, tepat di atas jendela kaca besar yang mengarah ke luar.

Jam dinding ini memiliki bingkai kayu berukir dengan detail halus, menunjukkan seni kerajinan tangan dari masa lampau.

“Lihatlah jamnya itu, tahu-tahu sudah jam sembilan malam.” A lagi-lagi berdesah dan mengungkapkan keluh kesahnya.

Meski sudah malam sekalipun, pekerjaan yang diberikan atasannya masih belum juga diselesaikannya, membuatnya terpaksa lembur semalaman.

Sejenak, A berdiam diri dengan duduk santai menyandarkan punggungnya yang lelah di kursi tanpa mengerjakan pekerjaannya.

Malam telah tiba, membawa serta kedamaian yang hanya bisa ditemukan saat matahari terbenam dan dunia beristirahat.

Setelah cukup bersantai, bukannya kembali ke pekerjaan, dirinya malah bangkit berdiri dan berjalan ke jendela ruangannya.

Dengan berdiri di balik jendela, A mengamati pemandangan malam di luar sana. Pemandangan malam itu tampak begitu memukau.

Ia memasukkan kedua tangannya yang kecil itu ke dalam saku blazer hitamnya yang tampak masih sangat bersih.

Jendela besar itu menjadi bingkai alami bagi lukisan hidup yang menampilkan keindahan kota dalam cahaya remang-remang.

Di luar sana, langit malam terbentang luas, berwarna biru gelap dengan taburan bintang yang bersinar terang, seperti butiran berlian di atas kain.

Bulan purnama menggantung tinggi, memancarkan cahaya peraknya yang lembut. A menenangkan dirinya, melihat semua pemandangan malam.

Gedung-gedung pencakar langit di pusat kota tampak berkilauan dengan lampu jendela yang menyala, seperti kunang-kunang yang tersebar acak.

Melihat banyaknya lampu gedung yang menyala, ia berkata, “Ternyata masih banyak juga karyawan yang lembur malam-malam begini.

Hujannya deras sekali. Ha... seharusnya aku bawa payung tadi sebelum berangkat kerja. Mana berisik lagi hujannya.”

Malam itu, hujan turun dengan deras tanpa adanya tanda-tanda, menciptakan simfoni alam yang menggema di seluruh penjuru kota.

Air mengalir deras di sepanjang kaca, membentuk pola acak seperti kehidupannya yang tidak bisa ditebak.

Taburan bintang yang bersinar terang, tersembunyi di balik awan tebal berwarna kelabu. Kilat sesekali menyambar, menerangi sejenak langit yang gelap.

Gemuruh guntur yang menyusul kilat itu mengguncang keheningan, menambah kesan dramatis pada malam yang penuh hujan ini.

Suara derasnya hujan dianggap sangat mengganggu pekerjaannya yang dimanfaatkannya untuk menunda-nunda pekerjaan.

Melalui kaca jendela, A menemukan ketenangan yang menyejukkan hati, seolah-olah hujan membawa pergi semua kegelisahan dan menggantinya dengan ketenangan yang mendalam.

A lalu menghela napas dan berkata, “Harusnya aku melihat ramalan cuaca dulu tadi pagi di TV. Kumohon cepatlah reda... aku mau pulang....”

A merengek di ruangannya yang hening. Ia terus berdiri menghadap jendela sampai beberapa saat kemudian pun berlalu.

Seseorang dari luar mengetuk-ngetuk pintu ruang kerjanya yang membuat ketenangannya terganggu.

“Bukakan pintunya cepat! Kenapa pintunya dikunci?! Aku mau masuk!”

A sontak berbalik badan saat mendengar suara pria yang adalah rekan kerjanya yang bekerja di satu ruangan yang sama.

“Kenapa dia bisa ada di sini?! Padahal sejak tadi aku sengaja mengunci ruangan ini karena aku perlu istirahat tanpa ketahuan rekanku.”

Rasa panik mulai menghantuinya. A segera melangkahkan kakinya menuju pintu, melewati semua perabotan di ruangan itu.

A pun membuka pintu itu, menampilkan sosok pria tinggi dengan rambut yang berantakan, mengenakan jas hitam yang menambah pesonanya.

“Maaf, ya. Aku sedang ada banyak pekerjaan dan ingin fokus. Jadi pintunya sengaja aku kunci,” ujar A dengan senyuman canggung.

A selalu merasa kesal saat berdiri di dekat rekan kerjanya yang bernama B dikarenakan tinggi badannya yang hanya sebahu dengan rekan kerjanya. A terkadang juga harus mendongakkan kepalanya kalau mau bicara dengan rekannya itu.

“Pekerjaan apa yang sedang kamu kerjakan itu? Bilang saja kamu sedang bermain-main di dalam kan? Aku tahu kebiasaanmu itu.”

B tidak percaya dengan ucapan rekannya dan menuduh yang membuat A jadi sedikit cemberut dan kesal.

“Mentang-mentang sudah lama jadi rekan kerja, jadi kamu berani mengaku tahu semua kebiasaanku? Jangan sok tahu deh.”

A bukan tipe perempuan yang suka memperpanjang masalah. Jadi ia menyingkir sedikit dari pintu untuk memberi rekan kerjanya jalan masuk.

“Kalau begitu kamu masuklah dan temani aku bekerja. Sekalian mengawasi pekerjaanku juga. Kalau perlu ayo kita mengobrol sebentar.”

B pun masuk sambil berkata, “Sebenarnya aku sudah mau pulang tadi. Tapi karena hujan dan aku tahu kamu lembur. Jadi aku ke sini saja.”

Dia terus berjalan masuk menuju sofa panjang merah yang disediakan perusahaan yang terletak di tengah-tengah ruangan.

Kedua sofa merah itu saling berhadapan dengan meja kaca kosong di tengah-tengah. A lalu menutup pintu dan mengikuti rekannya.

Di meja, ada pot kecil dengan tanaman sukulen yang menambah kesegaran dan sedikit sentuhan hijau di tengah kesibukan pekerjaan.

“Senangnya punya rekan kerja yang pengertian. Pekerjaanku masih banyak sih. Tapi aku berencana untuk menyelesaikannya di rumah saja.”

A melontarkan sedikit pujian untuk rekannya yang sudah mau repot-repot mendatanginya di saat ia sedang menikmati ketenangan dari kesendirian.

B kemudian duduk di sofa merah yang terlihat mewah itu. Ia duduk tegak dengan kaki menyilang dan kedua tangan di lutut.

“Begitukah? Aku percaya saja.... Bagaimana kalau setelah hujannya reda, kita pulang bareng seperti kemarin malam?” tanyanya.

A lalu duduk di kursi yang berhadapan dari rekan kerjanya. Ia duduk bersandar, melemaskan tubuhnya yang kaku.

“Kayaknya hujan masih lama. Aku tidak mau blazerku sampai basah. Besok kan masih harus dipakai lagi.” A mencoba menolak secara halus.

Namun, B tiba-tiba menyodorkan sebuah payung merah pada si wanita sambil berkata, “Ini. Aku meminjamnya dari atasan kita, untuk jaga-jaga.”

B mengeluarkan payung dengan warna polos tersebut entah dari mana. Padahal saat masuk tadi, ia tidak membawa apa pun.

A sontak terkejut, refleks menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya melebar dan napasnya terhenti sejenak.

Ekspresi wajahnya mencerminkan campuran antara ketidakpercayaan dan keterkejutan mendalam. “Ya ampun!”

A menurunkan tangannya kembali dan segera mengedepankan tangan kanannya untuk menerima pemberian payung dari rekannya.

“Terima kasih payungnya,” ucap A dengan senyumannya. “Enaknya punya rekan kerja yang baik.” Payung merah itu pun diletakkannya di sofa.

“Sama-sama. Sebagai rekan kerja sudah seharusnya saling membantu. Ah, apa kamu ingat anak kecil yang kita jumpai kemarin malam itu?”

“Maksudmu gadis kecil yang telantar di depan panti asuhan itu? Aku masih ingat. Ha! Dia harus mengganti rotiku yang sudah kuberikan.”

Lanjut membaca
Lanjut membaca
Download MaxNovel untuk membaca