Hujan turun sangat deras di siang hari dan telah berlangsung selama tiga hari berturut membuat aktivitas masyarakat terganggu. Langit di siang hari menjadi gelap layaknya di malam hari karena tertutup awan hitam. Hujan deras juga menyebabkan beberapa daerah mengalami banjir dan mengakibatkan banyak pohon tumbang, pemukiman warga yang rusak, serta banyak penyakit yang muncul karena dampak hujan tersebut.
Saat malam hari datang, hujan akan tiba-tiba berhenti dan digantikan dengan temperatur yang tiba-tiba naik drastis. Hujan tidak akan turun saat malam, bahkan angin pun tidak bertiup, membuat temperatur udara terasa sangat panas dan kering. Perubahan cuaca yang tidak jelas itu pun sudah berulang selama tiga hari terakhir.
“Bumi sudah sangat tua yang mengakibatkan kondisi cuaca menjadi seperti sekarang. Para warga diminta agar tetap berada di dalam rumah untuk beberapa hari ke depan karena perubahan cuaca belakangan ini mengakibatkan munculnya penyakit baru yang bisa merusak kekebalan tubuh.”
Layar televisi yang tengah menayangkan berita terbaru tentang kondisi cuaca pun tiba-tiba mati. Seorang pemuda yang tengah fokus menonton berita tersebut tidak bergerak sedikit pun dan tetap menatap layar televisi yang sudah mati.
“Alam sudah memberi peringatan bahwa naga tengah gelisah dan akan terbangun. Jangan sampai keberadaan permata merah delima belum kita dapatkan sebelum salah satu naga tersebut bangun dari tidur panjangnya,” gumam seorang pria tua yang tengah berdiri di depan jendela sembari memandangi gelapnya dunia luar di siang hari.
Hujan deras disertai sambaran petir tidak membuat pria tua itu menyingkir dari depan jendela. Ia terus menatap dan memperhatikan bagaimana sambaran petir bisa membuat pohon besar di halaman rumahnya tumbang dengan mudah.
“Bagaimana rencanamu selanjutnya? Kau tidak akan terus menerus diam seperti itu, bukan?” Suara pria tua itu kembali terdengar dan mengajak berbicara pemuda yang masih duduk diam menatap layar televisi. “Hayden,” panggilnya yang mana berhasil membuat si pemilik nama mengembuskan napasnya kasar.
“Aku tidak tahu,” jawab Hayden berterus terang.
“Bagaimana bisa kau tidak tahu rencanamu sendiri? Permata tersebut harus segera ditemukan, Hayden. Bisa kacau jika naga betina membangunkan naga jantan. Kau tahu dengan jelas bukan, hanya dengan menggerakkan ekornya saja bisa mengakibatkan gempa dan tanah longsor,” jelas pria tua itu yang kini berjalan mendekat ke arah Hayden.
“Bagaimana jika aku kembalikan pertanyaan itu. Bagaimana rencanamu? Bagaimana cara agar kau bisa mendapatkan permata itu kembali?” Suara Hayden terdengar sangat lantang membuat pria tua di hadapannya terdiam. “Kau tahu, Ayah. Aku sudah muak mencari cara untuk mendapatkan batu permata itu. Aku sudah muak harus menyelesaikan semua tugas akibat kesalahanmu. Jika kau tidak bisa membantu, lebih baik kau diam dan tutup mulutmu itu.”
Tak ingin mendengar respon yang keluar dari mulut ayahnya, Hayden langsung menghilang dari ruangannya sendiri. Dirinya tidak boleh berlama-lama di satu ruangan hanya berdua saja dengan sang ayah. Hayden bisa melakukan apa saja, bahkan sekalipun membunuh ayahnya ia bisa melakukannya dengan mudah tanpa rasa bersalah.
Seperti biasa ketika dirinya butuh waktu untuk menyendiri, Hayden lebih memilih untuk bersembunyi di rumah kabin di hutan belakang rumahnya. Walau hujan deras disertai petir yang bisa saja menyambar pohon-pohon di hutan, ia tidak pernah merasa takut jika berada di rumah kabin. Rumah tersebut dibangun menggunakan kekuatan milik ibunya yang mana tidak akan hancur dengan mudah.
“Kau akan terus berdiri saja di sana?” gumam seorang wanita dari dalam rumah kabin. Hayden bisa melihat dengan jelas ibunya yang tetap fokus membaca buku.
Saat masuk ke dalam rumah, Hayden langsung mengambil handuk yang tersimpan rapi di atas rak, mengeringkan rambutnya yang basah karena air hujan dan langsung memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas sofa. Tidak peduli pada ibunya yang sudah beranjak meninggalkan buku yang sebelumnya tengah dibaca.
“Bertengkar lagi dengan ayahmu?” tebak sang ibu sembari membawa gelas berisi teh panas. Handuk yang semula dipakai Hayden kini digunakan kembali oleh sang ibu untuk mengeringkan rambut Hayden yang masih basah.
“Apa yang bisa manusia lakukan dengan permata itu?” tanya Hayden dengan mata terpejam.
“Banyak hal. Permata tersebut bisa memberikan kekayaan, kekuatan, bahkan umur panjang bagi yang memilikinya. Permata itu bisa memberikan apa saja yang diinginkan pemiliknya. Itu sebabnya banyak manusia serakah yang ingin mendapatkan permata itu,” jelas sang ibu yang kini beralih membelai lembut rambut Hayden.
“Apa konsekuensinya?”
Tangan sang ibu berhenti membelai membuat Hayden refleks membuka matanya. Sang ibu kemudian bangkit berdiri dan memilih untuk memandangi hutan. Melihat sang ibu yang terus menerus diam, Hayden kembali bersuara.
“Permintaan seperti itu pasti ada yang harus dikorbankan. Saat naga secara sukarela memberikan permatanya untuk disimpan dan menjadi sumber kekuatan bangsa vampire pun tetap ada yang harus dikorbankan. Sangat tidak mungkin jika manusia mencuri permata tersebut tidak ada balasannya,” ujar Hayden menjelaskan apa yang muncul di benaknya.
“Memang benar setiap perbuatan buruk ada konsekuensinya, tetapi aku sendiri pun tidak tahu apa konsekuensi yang akan ditanggung oleh manusia itu. Konsekuensi yang diterima setiap orang yang berhasil mendapatkan permata tersebut tentu saja berbeda-beda. Namun, satu hal yang pasti, ada nyawa yang harus dipertaruhkan.”
Tahu jika Hayden tidak akan paham maksudnya, sang ibu memilih untuk kembali duduk sembari menggenggam hangat tangan putranya itu. “Singkatnya, batu permata membutuhkan korban. Jika batu permata itu jatuh di tangan manusia, ia akan meminta manusia sebagai korbannya. Sama seperti saat batu permata ada di tangan bangsa vampire, permata tersebut akan meminta korban dari bangsa vampire,” jelas sang ibu yang membuat Hayden sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana cara menemukan keberadaan batu permata itu. Selama sepuluh tahun terakhir aku sudah mengirimkan banyak pasukan untuk berpencar di seluruh penjuru dunia demi menemukan pria tua itu. Tak hanya si pencuri, aku juga tidak bisa merasakan aura yang terpancar dari batu permata. Aku tidak tahu harus mencarinya ke mana lagi.” Hayden terlihat sangat frustasi akan tugas yang diberikan kepadanya.
“Ada satu yang membuatku khawatir,” gumam sang ibu tiba-tiba yang membuat Hayden kembali fokus ke arah sang ibu. “Para petinggi bangsa vampire tak ada satu pun yang merasakan aura batu permata, kemungkinan besar batu permata tersebut sudah bersatu dengan tubuh manusia. Lalu, dengan kekuatan yang dimiliki bangsa vampire, tak ada satu pun yang bisa menemukan keberadaan pria tua itu yang mana artinya pria tua itu sudah meninggal sejak lama.”
“Maksudnya kau khawatir batu permata itu sudah bersatu dengan tubuh pria tua itu dan kemungkinan besar dia meninggal karena hal itu?” tanya Hayden memastikan pertanyaannya dan mendapat anggukan dari sang ibu.
“Sebenarnya aku masih tidak yakin karena batu permata tersebut tidak akan membunuh inang tempat dirinya bersatu, tapi inang tersebut akan mati jika batu permata itu dipisahkan dari tubuhnya.” Sang ibu terlihat menarik napasnya panjang sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Kemungkinan terbesar adalah si pria tua itu sudah menyatukan tubuhnya dengan batu permata, kemudian ia hendak mengeluarkan batu permata itu dari tubuhnya, tetapi justru dirinya menjadi korban.”
Hayden seketika bangkit berdiri dari duduknya. “Walau aku tidak yakin apa alasan pria tua itu mengeluarkan kembali batu permata dari tubuhnya, tetapi pernyataan tersebut cukup masuk akal.” Ia pun menoleh ke arah sang ibu dan tersenyum tipis. “Terima kasih pencerahannya, aku tidak pulang malam ini,” lanjutnya yang kemudian menghilang dari pandangan sang ibu.
***