

Lima tahun.
Selama itu, satu-satunya suara yang penting di Penjara Ventura adalah detak jantung, napas yang terengah, dan keheningan mencekam di antaranya.
Namun hari ini, suara baru datang. Suara hak sepatu mahal yang mengetuk lantai beton dengan ritme yang menghina.
Monica berhenti di depan sel terbuka itu. Pandangannya yang tajam dan tanpa emosi menyapu pemandangan di dalamnya. Di atas ranjang sempit, di tengah udara yang pekat dengan aroma keringat dan energi yang aneh, putra tirinya, Zayn, duduk bersila. Di hadapannya, seorang wanita dengan kulit seindah porselen dan tatapan seekor predator melingkarkan kakinya di pinggang Zayn, Sang Ratu Ular—Alika. Mereka tidak bergerak, namun seluruh ruangan terasa bergetar oleh kekuatan yang mereka bangkitkan bersama.
"Menjijikkan," bisik Monica pada dirinya sendiri, rasa muaknya begitu dalam hingga nyaris tak terdengar.
Seolah merasakan hawa dingin dari kehadirannya, Zayn membuka mata. Matanya tidak menunjukkan keterkejutan, hanya ketenangan yang dalam. Dengan gerakan yang terkendali, ia melepaskan kaitan kaki Alika.
Sebuah getaran kekecewaan menjalari tubuh Alika. "Jangan berhenti sekarang," desahnya, suaranya seperti bisikan ular. "Naga di dalam dirimu hampir menjinakkan iblis di dalam diriku."
Zayn tidak menjawabnya. Ia hanya menatap wanita di ambang pintu, ibu tiri yang belum pernah ia temui. "Kau pasti Monica," katanya. Itu bukan pertanyaan.
"Dan kau," balas Monica, suaranya setajam pecahan kaca, "Adalah sebuah kekecewaan. Ayahmu hilang, perusahaannya hancur. Dan kau… bermain-main di sini."
Setiap kata adalah tusukan yang diperhitungkan. Bukan sekadar berita, tapi penghakiman.
Zayn bangkit, ruangan sempit itu seakan menyusut di sekitar sosoknya.
Lima tahun di dalam jeruji besi ini tidak membuatnya layu, tetapi mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih padat, lebih berbahaya. Otot-ototnya bergerak di bawah kulit pucatnya seperti baja yang terbungkus sutra.
"Jelaskan."
"Tiga bulan lalu, para serigala mulai menyerang," kata Monica, matanya menolak untuk melihat tubuh Zayn dan tetap terkunci pada wajahnya. "Hugo pergi mencari dana untuk menahan mereka. Dia tidak pernah kembali.”
“Salazar Enterprise sekarang menjadi bangkai yang dikelilingi burung pemakan bangkai. Dan kau, sebagai satu-satunya pewaris, harus pulang untuk menguburkannya atau membangkitkannya kembali."
Rahang Zayn mengeras. Di belakangnya, Alika bangkit, bergerak tanpa suara seperti seekor macan kumbang. Ia berdiri di belakang bahu Zayn, tatapan membunuhnya tertuju pada Monica, sebuah klaim kepemilikan yang tak terucap.
Zayn meraih kemeja usang dari kursi. Saat ia memakainya, ia berbicara pada Alika tanpa menoleh. "Tugasku di sini sudah selesai."
"Tidak," bisik Alika tepat di telinganya, napasnya hangat dan penuh janji. "Ini belum selesai. Aku akan menemukanmu, Zayn Salazar. Dunia luar tidak cukup besar untuk menyembunyikanmu dariku."
Zayn tidak menjawab. Ia melangkah keluar dari sel, melewati Monica seolah wanita itu hanyalah patung es yang tidak penting.
***
Perjalanan dengan mobil mewah itu adalah sebuah perang tanpa suara.
Tangan Monica mencengkeram kemudi dengan erat.
Zayn menatap ke luar jendela, ke dunia yang telah ia lupakan. Pohon-pohon, gedung-gedung, warna-warni kehidupan—semuanya terasa asing, terlalu cerah, dan terlalu rapuh. Setelah lima tahun di mana setiap inci ruang adalah ancaman, kebebasan terasa seperti sebuah kebohongan.
Saat mobil berbelok ke jalan menuju kediaman Salazar, sebuah penghalang telah menunggu. Belasan pria berwajah beringas memblokir jalan, dan di depan mereka, seorang pemuda congkak bernama Hanzel Maganta bersandar pada mobil sportnya.
"Monica, sayang!" teriak Hanzel, senyumnya menghina. "Berhenti bersikap seperti seorang ratu di atas kapal yang karam. Tanda tangani saja surat-surat itu. Hugo sudah lari seperti pengecut. Sekarang giliranmu untuk melayaniku."
Monica menginjak rem, wajahnya mengeras menjadi topeng dingin. "Enyah dari jalanku, Hanzel! Atau—"
"Atau apa?" Hanzel tertawa, lalu matanya menyadari ada sosok di kursi penumpang. Ia menyipitkan mata. "Oh, lihat siapa yang kita punya di sini. Tuan Muda Salazar, sang legenda. Mereka benar-benar melepaskanmu dari kandang? Kupikir kau sudah membusuk di dalam."
Zayn tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya membuka pintu mobil.
Hanzel memberi isyarat dengan dagunya. "Sentuh dia, anak-anak. Tapi jangan rusak wajahnya. Aku ingin mendengar dia memohon di bawahku."
Dua preman terdekat menyeringai dan melangkah maju.
Waktu seakan meregang.
Zayn keluar dari mobil dengan ketenangan seekor pemangsa. Tidak ada gerakan yang terbuang. Satu langkah, dua langkah. Saat preman pertama mengayunkan tinjunya, lengan Zayn bergerak dalam kabur yang nyaris tak terlihat.
KRAK!
Suara tulang yang patah terdengar tajam di udara sore yang tenang. Preman itu jatuh tanpa suara. Yang kedua membeku, matanya terbelalak ngeri. Zayn tidak berhenti. Tangannya mencengkeram leher preman kedua dan membenturkan kepalanya ke kap mobil Hanzel dengan bunyi yang memuakkan.
Keheningan total.
Hanzel berhenti tertawa, senyumnya lenyap.
Zayn berjalan melewatinya, langsung menuju Monica yang masih membeku di dalam mobil. Ia membuka pintu untuknya. "Keluar," perintahnya dengan suara rendah.
Monica menurut, kakinya sedikit gemetar.
Zayn kemudian berbalik menghadap Hanzel. Ia tidak terburu-buru. Setiap langkahnya terukur, memancarkan otoritas absolut. "Kau menyebut ayahku seorang pengecut."
Hanzel mundur selangkah, arogansinya menguap digantikan oleh rasa takut yang dingin. "A-aku hanya—"
PLAK!
Tamparan Zayn bukanlah serangan, melainkan sebuah pernyataan. Gema suaranya memantul di antara vila-vila mewah. Hanzel terpelanting ke tanah, pipinya langsung membengkak merah keunguan.
Zayn berjongkok, menatap mata Hanzel yang dipenuhi air mata kesakitan dan penghinaan.
"Itu untuk ayahku," bisik Zayn, suaranya sedingin bilah es. "Sekarang, bersujud dan minta maaf pada ibu tiriku."