

Malam itu, kota Delta-09 berkilau seperti lautan kaca. Gedung-gedung menjulang, lampu holografik menari di langit, dan kendaraan udara berdesis lembut di antara awan tipis buatan. Namun di bawah semua gemerlap itu, di gang sempit antara dua menara perusahaan raksasa, berdirilah seorang pria dengan jas hitam panjang dan topeng perak yang menutupi setengah wajahnya.
Hujan turun deras, menetes di ujung rambutnya yang hitam kelam.
Dia diam. Tegap. Dingin.
Namanya Rafael Darsa — meski hampir tak ada yang tahu nama itu lagi. Di dunia bawah tanah Delta 09, orang-orang hanya mengenalnya dengan satu julukan:
The Silver Mask.
“Target sudah bergerak, bos.”
Suara serak itu datang dari earpiece di telinganya. Dari nada suaranya, jelas itu Nando, sahabat sekaligus operator lapangan Rafael.
Rafael menjawab datar, “Koordinat?”
“Zona barat, distrik lama. Dekat pasar mekanik. Tapi awas, ada dua drone patroli di udara.”
“Drone nggak masalah,” jawab Rafael santai. “Yang masalah itu kalau orangnya sadar kalau dia sedang diikuti.”
Nando terkekeh di ujung sambungan. “Lo emang nggak berubah, Raf. Masih dingin kayak mesin.”
Rafael tersenyum samar di balik topengnya. “Mesin nggak akan mati karena perasaan.”
Ia melangkah perlahan keluar dari kegelapan gang. Sepatu hitamnya menginjak genangan air, menciptakan riak kecil yang memantulkan cahaya neon. Wajah-wajah orang lewat di jalan itu memandang sekilas padanya, lalu buru-buru menunduk. Tak ada yang berani menatap lama — orang bertopeng di kota ini bukan hal aneh, tapi hanya sedikit yang memakainya dengan aura seberbahaya itu.
Beberapa menit kemudian, Rafael berdiri di depan Pasar Mekanik, tempat segala jenis barang gelap diperdagangkan: chip ilegal, senjata nano, organ sintetis, bahkan identitas palsu.
“Target di dalam?” tanya Rafael pelan.
“Masih,” jawab Nando. “Dia beli sesuatu dari vendor bernama Tora. Gue yakin dia nyari key drive yang hilang minggu lalu.”
Rafael mendengus pelan. “Key drive itu punya siapa?”
“Punya lo, bos,” sahut Nando sambil tertawa kecil. “Atau setidaknya... dulu.”
Rafael menatap ke arah pintu logam yang berkarat di depannya. “Waktunya ambil balik.”
Begitu masuk, aroma besi, oli, dan ozon menyambut. Suara orang menawar, tawa serak, dan mesin-mesin kecil berdengung memenuhi udara.
Seorang pria tua dengan mata mekanik menyapanya. “Cari sesuatu, anak muda?”
“Cuma nyari seseorang,” jawab Rafael datar. “Yang suka main-main sama barang yang bukan miliknya.”
Pria tua itu mengangkat alis. “Kedengarannya pribadi.”
“Ya. Sangat pribadi.”
Rafael berjalan melewati deretan kios sempit. Dari balik kaca buram, tampak manusia separuh robot, anak-anak jalanan dengan tangan baja, dan wanita penjual suku cadang mata cybernetic. Dunia ini sudah lama kehilangan batas antara manusia dan mesin.
Di ujung lorong, ia melihat targetnya — seorang pria berjaket kulit dengan tato digital menyala di lehernya, sedang bernegosiasi dengan pedagang. Tangannya gemetar, wajahnya gugup. Rafael tahu ekspresi itu: rasa bersalah yang sudah hampir menjadi ketakutan.
Dia mendekat perlahan.
Suara langkahnya tak terdengar, tapi sensasinya menusuk. Sang target menoleh spontan, dan matanya membesar.
“Lo—lo siapa?”
“Yang lo curi barangnya,” jawab Rafael tenang.
Pria itu mencoba kabur, tapi Rafael lebih cepat. Dalam sekejap, ia menarik senjata kecil berbentuk tongkat lipat dari balik jasnya. Dengan satu gerakan halus, tongkat itu memanjang menjadi bilah energi biru yang berdesis pelan. Sebelum si target bisa berteriak, Rafael sudah menekan ujungnya ke leher pria itu.
“Jangan teriak. Gue nggak suka keramaian.”
Pria itu menggigil. “Lo mau apa?”
“Key drive-nya.”
“Aku... aku udah jual ke orang lain! Gue cuma perantara!”
“Siapa orangnya?”
“Gue nggak tahu nama aslinya! Cewek! Pake jas putih, rambut panjang, matanya—”
Pria itu terhenti. Entah karena takut atau... karena rasa kagum.
“Matanya... nggak manusia.”
Rafael menatapnya lekat. “Nggak manusia?”
Pria itu mengangguk cepat. “Matanya kayak mesin, tapi... bukan. Beda. Gue nggak tahu!”
Beberapa detik hening berlalu. Lalu Rafael menurunkan tongkatnya.
“Pergi,” katanya datar. “Sebelum gue berubah pikiran.”
Pria itu lari terbirit-birit. Rafael menatapnya sampai lenyap di keramaian, lalu menekan earpiece.
“Nando, gue butuh identifikasi cewek berjas putih, mata anomali, baru-baru ini muncul di distrik barat.”
“Oke, gue cari di database CCTV publik. Tapi, Raf… lo yakin mau ngeladenin ini lagi? Lo udah keluar dari dunia itu.”
Rafael menghela napas. “Gue pikir udah selesai. Tapi kalau dia punya key drive itu, berarti masa lalu belum selesai sama gue.”
Malam semakin larut. Angin berdesir di antara menara kaca yang memantulkan cahaya biru ke langit. Rafael berjalan sendirian di atap gedung tua, menatap kota di bawahnya.
Kota Delta 09 tidak pernah tidur.
Ia melepaskan topengnya perlahan — hanya untuk sesaat. Di balik topeng itu, wajahnya tampan tapi lelah. Ada luka tipis di pipinya, dan mata tajam yang menyimpan terlalu banyak rahasia. Lelaki itu bukan hanya petarung; dia adalah mantan agen intel cyber, salah satu yang terbaik sebelum dunia menghancurkan kepercayaannya.
Di sakunya, sebuah foto lama masih disimpan rapat: dirinya dan seorang wanita berambut hitam yang tersenyum lembut, dengan tulisan kecil di belakang foto:
“Untuk Rafael, jangan pernah sembunyi di balik topengmu.”
Dia menatap foto itu lama, lalu menyelipkannya kembali.
“Maaf, Aruna,” gumamnya lirih. “Kadang, topeng satu-satunya hal yang bisa nyelametin gue.”
Tiba-tiba, suara di earpiece-nya memecah kesunyian.
“Bos, gue dapet sesuatu. Cewek berjas putih itu… muncul di kamera dua jam lalu, dekat distrik pusat. Dan lo tahu di mana dia sekarang?”
“Di mana?”
“Menara Darsa Corporation.”
Rafael terdiam. “Ulangi.”
“Menara Darsa Corporation,” kata Nando pelan. “Perusahaan yang lo dirikan lima tahun lalu… sebelum lo menghilang.”
Rafael mengepalkan tangan. Angin malam menerpa jasnya yang panjang, membuatnya tampak seperti siluet bayangan di langit neon.
“Sepertinya,” katanya dingin, “ada yang mau buka lembaran lama.”
Di bawah sana, ribuan lampu jalan membentuk sungai cahaya, mengalir di antara gedung-gedung. Rafael menatapnya sejenak, lalu menurunkan topeng kembali ke wajahnya. Topeng perak itu kembali hidup, menampilkan pola cahaya halus di tepinya, seolah mengenali pemiliknya.
“Mode stealth aktif,” katanya.
Dari bawah jasnya, drone kecil berbentuk bulat meluncur, terbang mengikuti perintahnya. Dalam hitungan detik, Rafael melompat dari atap ke atap, melesat menuju pusat kota.
Suara Nando terdengar lagi. “Lo beneran mau masuk ke markas sendiri, Raf?”
“Kalau masa lalu pengen nyamperin gue,” jawab Rafael pelan, “gue sambut dengan senjata di tangan.”
“Lo sadar, semua sistem keamanan di sana masih pake enkripsi ciptaan lo sendiri?”
“Itu sebabnya gue bisa masuk tanpa ketahuan.”
Menara Darsa Corporation menjulang seperti tombak cahaya di tengah kota. Logo “DARSA” bersinar biru di langit — ironis, karena Rafael sendiri adalah pendirinya, tapi kini dianggap sudah mati.
Begitu mendekati gedung itu, Rafael menyelinap melalui ventilasi udara menggunakan kabel nano dan sarung tangan magnetik. Gerakannya cepat dan nyaris tak terdengar. Dari panel kaca di lantai 80, ia bisa melihat laboratorium di bawah: ruangan bersih, penuh layar hologram, dan di tengahnya — seorang wanita dengan jas putih sedang menatap sesuatu di meja.
Rambutnya panjang dan berkilau di bawah cahaya neon. Dan benar — matanya berwarna biru keperakan, berpendar samar. Bukan manusia sepenuhnya.
Rafael mengaktifkan sensor helm. Data mulai muncul di visornya:
-Identifikasi: Tidak dikenal. Struktur biometrik: 72% manusia. 28% sintetik.
Nama kode (dari sistem internal gedung): AURORA.-
Wanita itu berbalik perlahan, seolah menyadari sesuatu. Dan saat pandangannya bertemu dengan Rafael — bahkan dari balik kaca — waktu seakan berhenti.
Aurora tersenyum tipis. “Kau akhirnya datang juga,” katanya pelan.
Rafael terpaku.
Bagaimana bisa dia tahu?
Di ujung atap, Nando bersuara lagi. “Raf? Lo denger? Apa yang terjadi?”
Rafael menatap wanita itu lama. “Nando… ini bukan cuma soal key drive. Ini... jebakan.”
“Jebakan? Maksud lo—”
Tapi sebelum Rafael sempat menjelaskan, alarm gedung tiba-tiba meraung keras. Lampu merah berkedip di seluruh menara, dan drone penjaga bermunculan dari dinding.
Aurora masih tersenyum. “Selamat datang kembali ke rumahmu, Rafael Darsa.”
Rafael menatapnya dengan sorot tajam. “Jadi lo tahu gue siapa.”
“Tentu saja,” jawab Aurora lembut. “Aku diciptakan untuk mengenalmu.”