Seorang pemuda 24 tahun dengan rompi pengantar makanan duduk di kursi depan sebuah restoran, sedang menunggu pesanan pelanggannya dikemas. Lalu, sebuah nada notifikasi khusus berbunyi.
Pria itu mengeluarkan ponselnya yang lain.
Pelabuhan Amarta, D’Victory-188, 19.00.
TING.
Pesan kedua menyusul.
Calon wali kota.
Mata pemuda itu menyipit. Ada sebuah pertanyaan di benaknya, tetapi sayangnya itu bukan urusannya. Urusannya sekarang hanyalah melenyapkan target yang diminta oleh klien.
“Pesanan milik Kurir Dewa sudah selesai!”
Pemuda itu kembali menyimpan ponselnya dan beranjak dari tempat duduk. “Iya,” ucapnya ketika menghampiri meja kasir.
Malam harinya ....
Di atas kapal D’Victory-188, pukul 19.00 pm.
DUAR!
Ledakan menggelegar di langit malam. Cahaya dari bunga api yang membentuk suatu pola tampak begitu indah dilihat dari sebuah kapal pesiar mewah.
Semua kepala yang ada di kapal itu mendongak dengan netra yang berbinar menyaksikan keindahan tersebut. Sorai dan tepuk tangan mereka pun menambah riuh suasana.
Di tengah keramaian itu ... seorang calon wali kota, Hutama Himawan menyesap minumannya. Dia minum dengan penuh kedamaian karena semua orang mendukungnya.
GUHK.
Tubuh Hutama tiba-tiba terhuyung. Dia menjatuhkan gelas agar tangannya terbebas untuk memegangi leher dan dadanya.
Asisten Hutama yang ada di sampingnya pun berteriak, “Tuan!”
Busa mulai keluar dari mulut Hutama. Matanya membelalak, napasnya pun tersengal.
Panik seketika menyebar. Para tamu yang menyaksikan hal itu ikut histeris dan mulai berkerumun.
Kepala pengawal berteriak memberi aba-aba. “Medis! Cepat, panggil medis!” Dia lalu meminta semua orang untuk menjauh, memberi ruang privasi.
Sementara semua mata tertuju pada Hutama, seorang agen rahasia dari kepolisian pusat, Wasa, justru segera memindai sekeliling. Otaknya bekerja cepat mencari sosok yang terlihat mencurigakan.
Benar saja, mata pria itu sungguh menemukannya. Pandangannya mengunci seorang pria dengan jaket kulit, bermasker, serta bertopi hitam tengah berjalan menjauh dari area pesta. Langkahnya begitu tenang.
Wasa bergegas mengikuti orang tersebut, akan tetapi sepertinya ia mengetahui pergerakan Wasa. Sehingga, pria misterius itupun mulai mempercepat langkahnya, berlari menuju sisi belakang kapal.
Tidak salah lagi. Dia pasti pelakunya. Begitulah pikir Wasa.
Agen rahasia berusia 31 tahun itupun terus mengejar lelaki misterius yang ia curigai, sama sekali tidak membiarkan targetnya berada pada jangkauan yang lebih jauh dari ini. Hanya saja, saat tiba di dek belakang ....
Orang yang menjadi targetnya itu sama sekali tidak mengurangi kecepatan, padahal beberapa meter lagi adalah pagar pembatas kapal. “Berhenti!” teriak Wasa. Namun, pria misterius tersebut justru melompati pagar dan terjun ke laut.
Wasa menghentikan langkahnya. Dia berpegangan pada kayu pembatas kapal, napasnya terengah. Matanya kini menyapu permukaan air bergelombang di bawah sana.
Terdengar suara langkah kaki yang begitu riuh menuju ke tempatnya. Wasa memperkirakan waktu kedatangan mereka tidak akan lama lagi.
Wasa teringat ucapan atasannya. “Kau tidak boleh sampai tertangkap.”
Tidak ada waktu untuk menimbang segala kemungkinan. Pilihannya hanya dua, ikut melompat ke laut dan lanjut mengejar targetnya atau tertangkap petugas pengawalan dan semuanya menjadi runyam.
Wasa menarik napas panjang dan menutup matanya sejenak. Keputusan sudah dibuat, dia akan melompat.
Pria itupun kembali membuka matanya, menatap lautan di bawah sana, lalu ....
BYUR.
Air asin yang cukup dingin dengan cepat menembus pakaian Wasa.
Begitu memasuki air, Wasa segera mencari buronannya. Dia mengeluarkan senter, menyalakannya, dan mulai mencari di tengah lautan gelap. Sampai pada akhirnya, tidak lama setelah itu, Wasa menemukan apa yang ia cari.
Dewa, dia tenggelam di lautan dangkal dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Wasa tidak habis pikir. Sama sekali tidak menduga jika ternyata pria yang ia curigai membunuh calon wali kota ternyata tidak bisa berenang. Asumsinya pun mengatakan bahwa mungkin sejak awal penjahat itu mau mengakhiri hidupnya jika saja dirinya tertangkap.
Wasa menarik Dewa ke permukaan air.
Begitu di permukaan ....
“Wuah!” Wasa segera mengambil oksigen untuk mengisi ruang pernapasannya. Sesekali ia terbatuk.
Wasa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Memeriksa situasi dan melihat di mana skoci-skoci para pengawal berada. Dia harus menghindarinya.
Dia memposisikan tubuh Dewa agar bisa mengapung di sampingnya, lalu mulai berenang perlahan ke daratan. Sambil mengatur napas dan pergerakannya, Wasa memastikan diri tidak tertangkap oleh lampu-lampu senter para pengawal yang mencari mereka.
Sekali, sorot dari senter milik pengawal nyaris mengenai kepala Dewa, tetapi Wasa berhasil lebih dulu menyelam bersama pemuda itu selama beberapa detik. Lalu, kembali muncul ke permukaan saat cahaya itu sudah tidak lagi ada.
Wasa terus berenang menuju daratan, hingga sampailah ia di sebuah pelabuhan kecil yang menjadi pangkalan kapal milik nelayan, tidak jauh dari pelabuhan pesiar Amarta.
Pria itu menarik Dewa ke salah satu perahu yang berlabuh. Begitu keduanya ada di atas perahu, Wasa segera memeriksa keadaan Dewa.
Dia memeriksa denyut nadi Dewa. “Masih hidup,” ucapnya setelah beberapa detik.
Wasa berpikir untuk memberikan CPR, sehingga ia bersiap membuka masker laki-laki yang tergeletak di hadapannya. Namun, sebelum itu ia lebih dulu mengikat tangan Dewa menggunakan sapu tangannya. Sapu tangan itu satu-satunya yang bisa ia temukan dan gunakan.
Selesai mengikat tangan Dewa, Wasa bersiap menarik turun masker hitam yang menutupi sebagian wajah pemuda itu. Dan bersamaan dengan itu, ia juga akan melihat wajah orang yang dicurigai telah meracuni Hutama.
Namun sayang, belum sampai wajah Dewa ter-ekspose, sebuah cahaya tiba-tiba menyorot tepat ke mata Wasa.
Wasa segera menghalau sinar itu dengan lengannya. Tidak lupa, ia juga menutupi wajah bagian bawahnya dengan jas.
Lalu, dia angkat sedikit lengannya. Samar-samar terlihat seseorang dengan sepatu boot berdiri di dekat tiang tempat mengikat tali perahu.
Seseorang itu lantas melompat ke perahu. “Siapa itu?” tanya Wasa dengan suara keras.
Namun, bukannya jawaban yang Wasa dapat, ia justru mendapatkan hujan peluru. Tidak ada suara pistol yang meledak, suaranya teredam oleh alat peredam.
Tahu lawannya memiliki senjata, dengan sigap Wasa bersembuyi untuk melindungi diri sekaligus bersiap melawan. Dia bersembunyi di balik tangki ikan tidak jauh dari tempat Dewa terbaring, mengeluarkan pistolnya dan bersiap menyerang.
Dari tempat Wasa bersembunyi, terlihat sebuah bayangan seseorang bergerak mendekat, menghampiri serta mengangkat tubuh Dewa.
Wasa membatin, “Tidak. Aku tidak bisa membiarkannya lolos.” Dia tidak bisa membiarkan siapapun itu membawa buruannya.
Wasa keluar dari tempat persembunyiannya. Dia bersiap menembak orang bersepatu boot itu. Namun, sebuah besi panas justru lebih dulu mengenai lengan bawahnya.
“Argh!” Wasa mengerang kesakitan.
Tidak lama, sebuah tendangan mendarat di lengannya yang sudah terluka itu, membuat pistol Wasa tidak sengaja terlempar karena genggaman yang melemah.
Tidak mau menyerah begitu saja, Wasa kembali bangkit dan bersiap menyerang dengan tangan kosong. Namun sayang, sebuah jarum tiba-tiba menancap di lehernya.
Wasa menarik jarum tersebut, mengamatinya dan membatin, “Ini bius.”
Agen rahasia itu melihat ke arah datangnya jarum bius. Seseorang lainnya tengah berdiri di sana, di luar kapal, menunggu rekannya datang membawa Dewa.
Sayang sekali Wasa tidak bisa melihat dengan jelas. Bius itu bekerja sangat cepat. Sekarang, penglihatannya begitu kabur.
BRUK.
Wasa terkapar di lantai perahu. Tubuhnya mati rasa.