Hari Selasa pagi tahun 2023 bulan Januari diawali dengan gerimis sejak subuh. Raja, seorang pria berkulit sawo matang setinggi 178 sentimeter dan beralis tebal itu telah selesai mematut di depan cermin sambil bersiul. Di kamar seluas 3x3 meter persegi dengan desain minimalis monokrom tersebut, ia sering menghabiskan waktu dengan bermain gitar atau membaca buku. Ia keluar dari kamarnya dan berjalan menuju teras.
Raja menggosok hidungnya yang basah karena flu. Sudah tiga hari badannya terasa tidak nyaman semenjak pulang dari Jakarta. Duduk di kursi teras sambil menikmati segelas kopi hitam dan sepiring gorengan buatan sang ibu, Raja menyisir pandangan ke seluruh halaman. Pikirannya terbawa ke masa kecilnya sejenak.
Raja sudah tinggal di lingkungan ini sejak usia lima tahun. Sejak sang bapak memutuskan membuka kantor bisnisnya di kota kecil ini, seluruh hidup Raja berubah. Mendapat warisan cukup dari ayahnya yang merupakan saudagar gula pasir pada masa pendudukan kolonial membuat bapaknya Raja berani memulai usaha kelapa sawit. Raja kecil tentu saja tidak peduli.
Namun ketidakpedulian Raja terbawa hingga usia remaja akhir. Ia tidak berminat meneruskan usaha bapaknya. Bungsu dari tiga bersaudara itu memilih mengumpulkan tabungannya untuk membuka usahanya sendiri, yaitu studio rekaman dan mendulang cuan di bidang jasa sebagai desainer grafis. Hobi menggambarnya mendapat perhatian serius dari guru SMP dan SMA yang mendorongnya mengembangkan bakat.
KRAK!
KRAK!
Lamunan Raja buyar. Secara spontan ia menoleh ke arah yang diduganya sebagai sumber suara. Raja berdiri dan bergegas mendekati sebuah pohon beringin yang berada di pinggir jalan sekitar lima meter dari pintu pagar rumahnya. Gerimis belum reda, Raja sedikit menggerutu melangkahkan kakinya dengan sedikit tergesa.
Raja membuka pagar dan melihat ke arah pohon beringin. Tidak ada siapa pun. Bahkan Raja yakin sejak tadi memang tidak ada orang melewati rumahnya. Apalagi kendaraan bermotor. Namun Raja yakin, ‘Aku mendengar suara ranting terinjak itu dari sekitar sini. Dua kali, Tuhanku. Dua kali. Artinya aku tidak salah mendengar,’ batinnya curiga.
Kesal karena tidak menemukan apa pun, Raja kembali ke teras dan menghabiskan kopinya yang mulai dingin. Ia segera melupakan bunyi ranting yang membuyarkan lamunannya dan masuk ke ruang tamu. “Eh, sebentar. Aku harus ke kota hari ini. Malas nian. Tapi harus. Tapi malas. Argh!” Raja mengerang seraya mengambil sepatu dari raknya.
Niat membawa motor hari ini terpaksa diurungkan. Raja mengambil kunci mobilnya dan mulai menjalani aktivitasnya menuju ibu kota. Dia sama sekali tidak menaruh curiga terhadap lengangnya jalan raya karena, “Pasti efek gerimis yang bikin mager. Lumayan udaranya masih agak dingin sedikit,” gumamnya sambil menyalakan playlist. Cuacanya memang cukup syahdu.
Raja tetap tidak menyadari perubahan yang terjadi di sepanjang jalan hingga lampu merah berikutnya. Ketika mobilnya berhenti persis di belakang zebra cross, Raja mulai mengerutkan keningnya. “Bentar. Bentar. Ada yang salah ini. Ke mana orang-orang? Ini serius sepi begini? Enggak ada orang satu pun?” Raja mengerjap beberapa kali. Ia khawatir matanya salah melihat. “Aku enggak ngimpi, kan, ini?”
Berharap dirinya memang sedang bermimpi, Raja menepuk pipinya beberapa kali dan mengaduh kesakitan. Ia masih tidak yakin dengan situasi yang sedang dihadapinya. Ia berharap ada penjelasan masuk akal yang bisa diterimanya. Raja mencoba menghubungi kedua orang tuanya, tetap tidak satu pun yang menjawab panggilan teleponnya.
“Mungkin bapak sudah berangkat dan sedang sibuk membaca berita di tabletnya. Ibu mungkin sedang sibuk di dapur,” ujarnya mencoba menenangkan diri.
Mata Raja tertuju pada batang sinyal di layar telepon genggamnya. Tidak ada tanda 4G. Bahkan 3G atau EDGE pun tiada. G juga tak tampak. Raja mengusap dagu dan mulutnya. Ia mulai yakin ada kejanggalan, tetapi tidak tahu penyebabnya.
Tiba-tiba saja lampu lalu lintas berubah hijau dan Raja langsung menginjak pedal gas agar bisa segera menjauh dari hal-hal aneh di pikirannya. Kemudian di sepanjang jalan berikutnya, Raja memperhatikan bahwa ia tidak melihat satu orang pun ada di kanan dan kiri jalan. Tidak pula di warung, kios, parkiran, dan minimarket.
Hingga melewati beberapa sekolah, Raja tidak menemukan satu murid pun di sekitarnya. “Ini hari sekolah, bukan hari libur. Kenapa enggak ada anak-anak sama sekali?” desisnya bingung.
Raja mencoba tersenyum untuk menenangkan dirinya sendiri, tetapi wajahnya berubah menjadi pucat saat melihat jam tangannya. Jarum jamnya tidak menunjukkan angka normal pagi hari. Harusnya sekitar pukul delapan pagi, tetapi jarumnya justru menunjukkan pukul dua.
Raja menepikan mobilnya dan mencoba mengatur napasnya secara perlahan. Ia membuka tutup tumbler hitamnya dan meneguk minumannya. Namun ia langsung menyemburkannya dan terbatuk karena kaget.
“Ah! Apaan ini?” Raja melihat isi tumbler dan matanya terbelalak. Ada bangkai kecoak, kelabang, dan cicak di dalamnya. “Kenapa? Kenapa? Ini ada apa, sih? Aku ini di mana?”
Dada Raja berdebar. Ia mencoba menghubungi dua orang sahabatnya, tetapi tidak satu pun yang menjawabnya. Lalu telepon genggamnya mati seperti kehabisan daya. Padahal Raja yakin baterainya masih menunjukkan angka 73 persen.
Raja menekan keningnya dan matanya terlihat bingung. Keringat dingin mulai membasahi kemeja bagian punggungnya. Kecemasannya meningkat. Ia tertawa cemas.
“Tuhan, tolong jangan sesatkan aku. Tolong jawab aku. Kumohon, Tuhan. Aku ada di mana saat ini? Aku tak melihat seorang pun sejak aku keluar rumah. Tuhan, tolong,” pinta Raja lirih.
Raja berusaha membuka kaca jendela mobilnya, tetapi tombolnya macet. Ia mencoba kaca jendela pintu kiri pun sama. Karena panik, Raja berusaha ke kursi belakang mobil dan mencoba semua tombol jendela. Tidak ada yang bisa dibuka.
Jantung Raja berdegup kian kencang. Tawanya semakin sumbang. “Tuhan, ini enggak lucu,” ujarnya pilu.
Terdengar gedoran di kaca jendela, tetapi Raja tidak merespon. Matanya terlihat sayu dan wajahnya pucat. Orang-orang berteriak dan terus menggedor.
“Keluar!”
“Ayo, cepat keluar !”
“Bapak dengar saya?”
“Pak! Buka pintunya!”
“Pak! Bapak!”
“Pak, tombol jendelanya dipencet, Pak!”
Raja bergeming. Ia merasa mulai mengantuk. Sayup, ia mendengar suara ranting patah sekali lagi.
KRAK!
KRAK!
KRAK!
Raja terkejut. Matanya mencoba mencari sumber suara. Namun ia langsung menyadari bahwa dirinya ada di dalam mobil yang terkunci.
Raja mencoba membuka pintu mobilnya, tetapi sia-sia belaka. Tombol kaca tetap macet. Napasnya mulai tersengal dan dirinya tak bisa berpikir jernih lagi.
Sementara di luar mobil, orang-orang terus menggedor kaca dan berharap Raja bisa keluar dari mobil yang mulai mengeluarkan asap.
“Pak! Cepat! Pak!”
“Pak, buka jendelanya!”
“Pintunya tolong dibuka!
Dua orang pria memukul kaca jendela dengan linggis dan palu. Percikan api mulai terlihat. Beberapa orang pun mundur karena khawatir terjadi ledakan.
Raja mulai mengantuk. Ia seperti tak kuasa membuka kelopak mata yang seolah digelayuti batu berat. Saat ia mencoba mengumpulkan kekuatannya sekadar untuk sadar penuh, tiba-tiba di kaca depan mobilnya ada seekor ular besar berkulit hitam legam dengan mata merah.
Raja terkejut dan berteriak. “Aaaaaaahhh … Aaaaahhhhh … Dari mana? Mana? Apa itu? Siapa kamu?”
Ular besar tersebut menembus kaca dan kepalanya hanya berjarak sepuluh sentimeter dari wajah Raja.
“Raja … Raja … Prajapati …” Ular itu seolah memanggil Raja dengan suara rendah dan menghipnotis.
Raja terkulai lemas. Ia pasrah jika ular besar itu memakannya detik itu juga. Seluruh persendiannya kaku.
“Raja! Raja! Raja, keluar! Hei, Raja! Raja denger aku! Raja! Raja, mobilnya mau meledak! Demi Tuhan, Raja!” Seseorang berteriak dari luar mobil sambil menggedor jendela.
Raja pingsan.
***bersambung***