Evan Wijaya adalah pemilik MJ Group atau Mega Jaya Group—konglomerasi terbesar dan ternama di negeri ini. Bersama istrinya, Elma Hardiana Wijaya, ia memiliki dua anak: Fattan Alvaro Wijaya (26 tahun) dan Alyssa Gracia Wijaya (19 tahun).
Akan tetapi, tidak ada pencapaian sebesar apa pun yang mampu menghapus dosa masa lalu—terutama dosa yang berawal dari sebuah tragedi.
---
Lima belas tahun yang lalu.
Panas siang menyengat jalanan kota saat Evan Wijaya berdiri di tepi trotoar, menatap ban mobilnya yang kempes dengan ekspresi gusar. Tangannya sibuk menekan layar ponsel, mencoba menghubungi montir langganan. Sialnya, sinyal tak bersahabat.
Dari kejauhan, suara motor mendekat. Seorang pria berhenti dan melepaskan helmnya. Dia adalah Krisna Aji—sahabat lama Evan Wijaya.
"Ngapain kamu di sini, Van?" tanya Krisna, sambil tersenyum ramah.
"Ban bocor. Aku nunggu montir. Kamu mau ke kantor?"
"Iya, tapi nggak mungkin aku cuek lihat temanku kesusahan begini."
Mereka tertawa kecil, seperti dua sahabat lama yang tidak pernah berjeda. Namun, momen itu sekejap lenyap—digantikan tragedi.
Sebuah Avanza hitam melaju kencang dari arah berlawanan, seperti peluru lepas kendali.
"Evan! Awas!" teriak Krisna, mendorong sahabatnya sekuat tenaga.
Tubrukan keras terdengar, dunia seolah hening sesaat—lalu terguncang oleh dentuman logam dan kaca pecah.
Tubuh Evan terlempar ke samping jalan, tetapi dia masih sadar. Saat dia bangkit dan melihat sekeliling—dia berteriak.
"Krisna!"
Sahabatnya terjepit di antara dua mobil, tubuhnya tidak bergerak, darah mengalir deras. Evan merangkak, suaranya tercekat, menggigil memeluk tubuh yang mulai dingin.
Kerumunan mulai berdatangan. Beberapa mengucap takbir dan istighfar. Mobil ambulans datang bersama aparat kepolisian. Sopir Avanza tewas di tempat, sementara Krisna masih bernapas meski, nyaris tidak sadarkan diri.
Di dalam ambulans, Evan menggenggam tangan Krisna erat.
"E ... van ...." panggil Krisna lirih.
"Aku di sini. Kamu akan baik-baik saja. Bertahan, Kris ...."
Lantas, dengan napas tersisa, Krisna berbisik lirih, "Titip anak, ... istriku, ... jaga ... me ... reka ...."
"Jangan ngomong gitu! Kamu yang akan menjaganya sendiri, bertahanlah!" teriak Evan, tetapi segalanya sudah terlambat.
Dalam pelukannya, nyawa sahabatnya menghilang, menyisakan tangisan dan penyesalan.
---
Pemakaman.
Arumi, istri Krisna—menggenggam tangan kecil putrinya, Zefanya, saat langkahnya menyusuri pemakaman menuju liang lahat. Wajahnya sendu, air matanya tak terbendung.
Setelah jenazah Krisna dikebumikan dan pelayat mulai pergi, Arumi tetap di sana. Dia bersimpuh, memeluk nisan suaminya. "Semoga kamu tenang di sana, Mas. Aku akan jaga Zefanya, aku janji."
Zefanya menarik lengan ibunya dengan polos. "Ibu, ayo pulang ...."
Dari kejauhan, Evan dan Elma menghampiri. Evan berjongkok di sisi makam, menggenggam kelopak bunga yang tersisa.
"Kris, ... aku janji akan menjaga keluargamu, seperti aku menjaga keluargaku sendiri."
Arumi menatapnya dengan mata yang basah oleh luka, dan marah. "Kami nggak butuh bantuanmu! Aku masih sanggup hidup tanpa belas kasihan siapa pun!" ucapnya tegas.
Seketika, dia menarik Zefanya dan pergi, meninggalkan Evan dengan keheningan dan rasa bersalah yang tak pernah akan hilang.
---
Dua minggu kemudian.
Arumi memutuskan meninggalkan rumah penuh kenangan bersama Zefanya. Dia memilih pulang ke kampung halaman, jauh dari kota dan luka.
Evan yang ingin membantu, datang bersama Elma ke rumah mereka. Namun, yang tersisa hanyalah rumah kosong dan kepergian tanpa jejak. Tak ada satu tetangga pun tahu di mana kampung halaman Arumi berada.
Hari-hari berlalu, pencarian tak membuahkan hasil. Sampai akhirnya, Evan harus menerima kenyataan: dia kehilangan jejak Arumi dan Zefanya—pergi membawa luka, dan mungkin, ... dendam.
Tak lama setelah itu, Evan membawa keluarganya ke luar negeri untuk memperluas bisnisnya. Namun, luka di masa lalu itu tetap tinggal, menetap di sudut hati—bersama janji yang belum sempat ditepati.
Janji di atas nisan adalah janji yang paling berat, karena tidak ada lagi yang bisa menyaksikan apakah kamu menepatinya atau mengingkarinya.
---
Lima belas tahun kemudian.
Setelah menyelesaikan studi S2-nya di luar negeri, Alfaro akhirnya kembali ke tanah air. Bukan sepenuhnya karena keinginan sendiri, melainkan permintaan sang ayah yang tidak bisa dia tolak.
Pesawat yang ditumpanginya baru mendarat pagi tadi, dan kini langkah kaki Fattan membawa kenangan pulang—ke rumah besar keluarga Wijaya.
Begitu membuka pintu kamar, aroma furniture baru dan wangi lilin aromaterapi langsung menyambutnya. Kamarnya, kini bergaya klasik Eropa—elegan, luas, dan terasa lebih dewasa dibanding terakhir kali dulu, sebelum dia bersama orang tuanya pindah ke Jerman.
Alvaro berjalan pelan menelusuri setiap sudut kamar, seperti mengenang sisa masa kecilnya yang telah ditinggalkan belasan tahun lalu.
Tubuh tinggi gagahnya akhirnya dia baringkan di sofa panjang yang empuk dan lembut, terasa begitu nyaman. Namun, tiba-tiba—
"Den, ayo makan malam dulu! Bibi udah masakin nasi goreng seafood spesial kesukaan Den Al!" seru Bi Ijah dari depan pintu kamar.
Terdengar suara akrab dari depan pintu, membuat Alvaro segera bangkit. Dia membuka pintu, senyum mengembang di wajahnya.
Fattan Alvaro Wijaya—pria 26 tahun, yang kini kembali ke Indonesia setelah hampir dua dekade tinggal di Jerman. Dulu, saat Alvaro masih delapan tahun, ayahnya—Evan Wijaya, memutuskan membawa keluarganya ke Jerman demi membangun cabang baru perusahaannya.
Sementara perusahaan utama di Indonesia dijalankan oleh sahabat kepercayaannya, Samsul. Meski tak lagi tinggal di tanah air, Evan tetap aktif memantau dan sesekali kembali untuk urusan bisnis penting.
Kini, setelah menyelesaikan pendidikan S2 Manajemen dan membantu sang ayah di Jerman, Alvaro diminta pulang. Sudah saatnya dia menjalankan peran yang telah disiapkan: meneruskan tongkat estafet sebagai pemimpin utama MJ Group—perusahaan industri terbesar milik keluarganya.
"Ayo makan dulu, Den!" ulang Bi Ijah ketika Alvaro membukakan pintu.
"Iya, Bi. Tapi aku telepon mama dulu, ya. Hampir lupa ngabarin beliau aku udah sampai."
"Oh, ya sudah. Sampaikan salam buat nyonya. Bibi ke dapur dulu, ya."
Alvaro tersenyum dan menutup pintu. Baru saja dia meraih ponsel, layar sudah menyala—panggilan masuk dari mamanya.
"Halo, Ma? Baru aja mau telepon Mama, tapi Mama menang cepat, nih," ucapnya sambil tertawa kecil.
"Kamu ini, selalu begitu," balas Elma, sang mama, dengan nada penuh sayang. "Kamu sampai rumah jam berapa, Sayang?"
"Kurang lebih, satu jam yang lalu, Ma."
"Kamar barunya cocok, nggak?"
"Cocok, dan suka banget! Mama ngerti banget seleraku, deh. Makasih ya, Ma."
"Tapi ingat, jangan asal bawa perempuan ke rumah, apalagi ke kamar!" tegur Elma.
Alvaro tertawa pelan. "Iya-iya, Ma. Aman. Aku laper banget nih, mau makan dulu ya."
"Baik-baik di sana, jangan sembrono. Salam buat Bi Ijah."
"Siap, Ma. Love you."
Setelah panggilan berakhir, Alvaro segera turun menikmati nasi goreng seafood yang telah lama dia rindukan.
---
Keesokan Paginya.
Deru suara ponsel membangunkannya. Alvaro menggeliat, meraih ponselnya, lalu mengintip layar.
Panggilan dari Catherine Jonan—kekasihnya.
"Halo, Honey," gumamnya serak, suaranya berat dan seksi.
"Kenapa kamu nggak kabarin aku kalau udah berangkat? Kamu keterlaluan, Al! Bahkan kamu lupa sama aku!"
Alvaro menghela napas. Dia tahu, Catherine mudah meledak, tetapi hatinya pun cepat luluh.
"I'm sorry, Honey. Aku capek banget semalam. Mama aja hampir lupa aku kabarin."
Catherine terdiam, hanya helaan napas tipis di seberang sana.
"Jangan marah, ya? Please ...."
"Oke. Aku mau tidur lagi, kamu jaga diri di sana."
"Tunggu, aku mau cium dulu."
Catherine mengaktifkan video call. Alvaro langsung menjawab, dan wajah cantik wanita itu muncul—bibir mungilnya menyentuh layar. "I kiss you, emmuach!"
"God, you’re teasing me," gumam Alvaro sambil terkekeh. "Cepat susul aku ke sini."
"Wait for me, Honey," balas Catherine dengan senyum manis.
Sebelum panggilan berakhir, Catherine sempat berbaring di atas tempat tidur, dengan gaun tidur tipis yang jelas memperlihatkan lekuk tubuhnya.
"Cath ...." Alvaro mengusap wajahnya. "Aku akan selalu nunggu kamu." Dia mengakhiri panggilan, lalu mengumpat pelan. "Shit."
Pagi itu ....
Setelan jas gelap membalut tubuh tegap Alvaro. Wibawa terpancar dari posturnya—tampan dan berkarisma, jelas darah Evan Wijaya mengalir kuat dalam dirinya.
"Selamat pagi, Den Ganteng! Bibi pangling lihat Den Al sekarang," puji Bi Ijah.
"Pagi, Bi. Aku keren, ya?" godanya.
"Bukan cuma keren. Den Al mirip banget sama Tuan Evan muda."
Alvaro hanya tertawa kecil, lalu duduk. Bi Ijah meletakkan sandwich tuna di piringnya. "Makasih, Bi. Sandwich buatan Bibi, pasti enak. Rasanya hampir kayak buatan mama."
Wajah Bi Ijah berseri-seri. Beliau menuangkan jus jeruk sambil tersenyum lebar.
Selesai sarapan, Alvaro menghampiri Pak Seno yang telah menunggu di garasi.
"Wah, Den Al makin gagah aja. Mirip Tuan Evan waktu muda."
"Tapi masih gantengan aku 'kan, Pak?" canda Alvaro.
"Wah jelas, Den! Tapi, Tuan Evan dulu juga ... sebelas dua belas-lah." Pak Seno tergelak, lalu membukakan pintu untuk Alvaro.
Di dalam mobil, Alvaro membuka ponselnya—ada pesan dari sang ayah. Evan memberi tahu, bahwa Pak Samsul sudah menunggu di kantor.
Dia membalas singkat, lalu menyimpan kembali ponselnya. Tiba-tiba, mobil mengerem mendadak.
"Ya Allah, Gusti!" seru Pak Seno panik.
Tubuh Alvaro terhempas ke jok depan. "Ada apa, Pak?!"
---