Langit pagi di Yogyakarta selalu menghadirkan kesan teduh. Udara sejuk, semilir angin yang membawa aroma tanah basah, serta kicau burung yang masih riang di dahan pepohonan. Di jalanan, hiruk pikuk mahasiswa baru dengan wajah penuh semangat terlihat menuju gerbang megah kampus yang dijuluki Kampus Biru.
Di antara kerumunan itu, seorang pemuda bertubuh tinggi dengan rambut hitam yang agak acak-acakan melangkah pelan. Namanya Arka Pratama. Usianya baru delapan belas tahun, wajahnya masih menyimpan sisa kepolosan remaja SMA. Di pundaknya, sebuah ransel hitam sederhana, dan di tangannya map berisi berkas orientasi.
Hari itu adalah hari pertamanya resmi menjadi mahasiswa. Degup jantungnya masih tak stabil, entah karena rasa gugup menghadapi dunia baru atau karena rasa bangga yang membuncah—ia berhasil masuk salah satu universitas paling bergengsi di kota itu, tempat yang disebut banyak orang sebagai rumah lahirnya para cendekiawan.
Arka berhenti sejenak di depan gerbang. Gedung-gedung berwarna biru muda menjulang anggun, dipadu arsitektur kolonial yang kokoh sekaligus klasik. Ia menelan ludah.
"Inilah dunia baruku," batinnya.
---
Aula Orientasi
Langkah Arka membawanya ke sebuah aula besar. Ratusan kursi telah dipenuhi mahasiswa baru. Suasana riuh rendah, sebagian sibuk berkenalan, sebagian lagi hanya menunduk canggung seperti dirinya.
Arka memilih duduk di barisan tengah, agak menyendiri. Ia tak begitu pandai bergaul, meski sebenarnya hatinya hangat. Sambil membuka map berisi jadwal kuliah, matanya berhenti pada satu nama mata kuliah: Pengantar Sastra.
“Wah, ketemu juga ya…” seorang pemuda bertubuh tambun tiba-tiba duduk di samping Arka. Ia tersenyum ramah. “Aku Bimo. Dari Solo. Kamu?”
“Arka… dari Magelang,” jawabnya singkat.
“Salam kenal, Bro! Wah, gede juga ya kampusnya. Kayak kota kecil.”
Arka mengangguk, berusaha tersenyum. Mereka pun terlibat obrolan ringan, meski pikiran Arka lebih banyak melayang—membayangkan seperti apa dunia perkuliahan yang akan ia jalani.
---
Kuliah Pertama
Seminggu kemudian, suasana kampus sudah mulai terasa berbeda. Mahasiswa baru mulai terbiasa dengan jadwal, perpustakaan mulai ramai, dan kantin jadi pusat segala cerita.
Hari itu, Arka melangkah ke ruang kuliah Gedung Filsafat 2, sebuah bangunan tua dengan jendela-jendela besar yang selalu terbuka. Ia duduk di barisan depan, bukan karena rajin, melainkan karena datang terlalu cepat.
Pintu terbuka. Semua kepala menoleh.
Seorang wanita melangkah masuk. Berusia sekitar pertengahan tiga puluhan, mengenakan blouse putih sederhana dipadu rok biru gelap, serta kerudung biru muda yang membuat wajahnya tampak semakin anggun. Senyumnya lembut, tetapi sorot matanya penuh wibawa.
“Selamat pagi, mahasiswa. Perkenalkan, saya Dr. Saraswati Anindya, dosen pengampu mata kuliah Pengantar Sastra,” ucapnya dengan suara bening, tegas namun menenangkan.
Arka terdiam. Ada sesuatu pada suara itu yang membuatnya merinding. Seolah setiap kata yang keluar memiliki keindahan tersendiri.
Saraswati melangkah ke papan tulis, menuliskan namanya dengan spidol hitam. Tulisan tangannya rapi, elegan. Ia lalu menoleh ke arah mahasiswa, tersenyum lagi.
“Baiklah, mari kita mulai dengan perkenalan. Satu per satu, sebutkan nama dan asal kalian.”
Satu per satu mahasiswa berdiri, memperkenalkan diri. Saat gilirannya tiba, Arka berdiri dengan gugup.
“Nama saya Arka Pratama… dari Magelang, Bu.”
Saraswati menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Baik, Arka. Selamat datang di dunia sastra. Semoga kamu bisa menemukan dirimu lewat kata-kata.”
Ucapan sederhana itu entah mengapa menancap dalam hati Arka.
---
Benih Kekaguman
Kuliah hari itu berjalan lancar. Saraswati menjelaskan tentang pengertian sastra, fungsi, dan sejarah singkatnya. Namun bagi Arka, ia tidak hanya mendengar materi—ia mendengar musik. Setiap intonasi, setiap jeda, seolah membentuk melodi yang menenangkan.
Arka mencatat dengan serius, tapi diam-diam matanya sering melirik dosennya itu. Wajah anggun dengan tatapan lembut, gerakan tangan yang penuh ekspresi ketika menjelaskan, dan senyum yang muncul setiap kali mahasiswa menjawab pertanyaan dengan benar.
Selesai kuliah, Saraswati menutup buku catatannya.
“Baik, itu saja untuk hari ini. Minggu depan kita akan mulai masuk ke teks sastra pertama. Jangan lupa baca modul yang saya berikan.”
Mahasiswa bergegas keluar. Arka masih duduk, merapikan catatannya perlahan. Saat itulah ia melihat Saraswati sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
Tanpa sadar, Arka berbisik pada dirinya sendiri.
“Indah sekali…”
Bimo menepuk bahunya dari belakang. “Ayo, Bro! Mau nungguin Bu Saraswati apa gimana?” godanya.
Arka tersentak. “Eh… nggak, nggak. Ayo, jalan.”
Tapi dalam hatinya, ia tahu—ada sesuatu yang baru saja bersemi.
---
Perpustakaan Senja
Sore itu, Arka memutuskan pergi ke perpustakaan. Gedungnya besar, penuh rak buku tinggi menjulang. Ia sedang mencari novel klasik untuk tugas minggu depan.
Saat melangkah ke lorong rak bagian sastra asing, ia melihat sosok yang tak asing. Saraswati.
Wanita itu duduk di sudut ruangan, tenggelam dalam sebuah buku tebal. Cahaya senja dari jendela jatuh ke wajahnya, membuatnya tampak seperti lukisan.
Arka berdiri terpaku, jantungnya berdetak kencang. Ia ragu apakah harus menyapa atau pura-pura tidak melihat. Namun takdir berkata lain. Saraswati mendongak, matanya bertemu dengan tatapan Arka.
“Arka?” suaranya lembut, namun cukup jelas.
Arka tersipu. “I-iya, Bu…”
Saraswati tersenyum kecil. “Sedang mencari buku?”
“Iya, Bu… untuk tugas. Tapi… saya belum tahu harus mulai dari mana.”
Saraswati menutup bukunya pelan. “Apa kamu suka sastra Rusia?” ia menunjuk buku War and Peace yang sedang dipegang Arka.
“Saya… sebenarnya baru mau coba, Bu. Saya dengar bagus.”
“Ya, bagus sekali. Berat, tapi akan membuka cakrawala pikiranmu.”
Percakapan itu sederhana, namun bagi Arka terasa seperti sebuah jembatan. Untuk pertama kalinya, ia berbicara dengan Saraswati di luar ruang kuliah. Dan ia merasa… begitu nyaman.
Senja turun perlahan di atas atap Kampus Biru. Suara azan magrib menggema dari masjid kampus, bercampur dengan riuh mahasiswa yang bergegas pulang.
Namun di ruang dosen lantai tiga, Saraswati masih duduk sendiri. Lampu meja kecil menyala, menerangi tumpukan kertas yang belum ia koreksi. Jemarinya mengetuk-ngetuk pena, tatapannya kosong menembus jendela.
Sejak beberapa tahun terakhir, kesepian sudah menjadi bagian dari hidupnya. Usia tiga puluh lima, gelar doktor sudah di tangan, karier cemerlang, tetapi hatinya terasa hampa. Pernah ada cinta, pernah ada pernikahan, tapi hanya menyisakan luka. Kini ia memilih fokus pada dunia akademik.
Namun sejak pertemuan dengan mahasiswa barunya—pemuda bernama Arka—ia merasa ada sesuatu yang aneh. Tatapan mata itu, polos namun penuh semangat, seolah mengingatkannya pada dirinya dua puluh tahun lalu.
Saraswati menutup matanya sejenak, menghela napas panjang.
"Tidak… ini hanya perasaan biasa. Jangan bodoh."
---
Percakapan di Perpustakaan (lanjutan)
Arka masih berdiri canggung di depan meja. Ia ingin pergi, tapi juga ingin terus berbicara. Saraswati menatapnya sambil tersenyum tipis.
“Kamu suka membaca di perpustakaan?” tanyanya.
Arka mengangguk. “Iya, Bu. Rasanya… tenang. Kayak dunia luar bisa berhenti sebentar.”
“Betul. Perpustakaan adalah tempat pelarian paling indah,” sahut Saraswati pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Hening sejenak. Hanya terdengar bunyi halaman buku yang dibalik.
Arka memberanikan diri bertanya, “Bu, kalau boleh tahu… buku apa yang Ibu baca?”
“Ini?” Saraswati mengangkat sampul. Anna Karenina karya Leo Tolstoy.
Arka tersenyum kikuk. “Itu… katanya kisah cinta yang tragis, ya?”
“Bukan hanya cinta. Itu tentang pilihan. Tentang keberanian untuk menentang norma, tapi juga harga yang harus dibayar,” jawab Saraswati, matanya menerawang.
Jawaban itu menusuk hati Arka. Ia merasa seolah Saraswati sedang berbicara tentang dirinya sendiri.
---
Malam Pertama yang Gelisah
Pulang ke kos, Arka tak bisa tidur. Bayangan wajah Saraswati terus muncul. Senyum lembutnya, suara beningnya, cara ia memandang dengan tatapan yang dalam.
“Arka… selamat datang di dunia sastra. Semoga kamu bisa menemukan dirimu lewat kata-kata.”
Kalimat sederhana itu berulang-ulang bergema di kepalanya. Ia tak mengerti, mengapa kata-kata itu terasa begitu personal.
Sementara di apartemennya, Saraswati juga duduk termenung. Di atas meja ada secangkir teh yang sudah dingin. Pikirannya kembali ke pertemuan di perpustakaan.
Ia tahu seharusnya ia tidak boleh memberi perhatian khusus pada seorang mahasiswa. Tapi entah kenapa, Arka terasa berbeda. Ada ketulusan yang jarang ia temukan di antara wajah-wajah muda lain.
---
Keesokan Harinya
Di kelas berikutnya, Arka datang lebih awal. Ia sengaja duduk di depan lagi. Saraswati masuk dengan langkah anggun, menyapa dengan senyum yang sama.
Namun kali ini, entah karena perasaan Arka sendiri atau memang nyata, senyum itu terasa sedikit lebih lama mengarah padanya.
Selama kuliah berlangsung, beberapa kali Saraswati mengajukan pertanyaan. Dan anehnya, meskipun ada puluhan mahasiswa lain, tatapannya selalu kembali pada Arka.
Bimo yang duduk di sebelahnya menyikut pelan. “Bro, kok Bu Saras kayak sering mandangin kamu, ya?” godanya.
Arka pura-pura sibuk menulis catatan. “Ah, nggak lah. Perasaanmu aja.” Tapi hatinya berdegup kencang.
Hari-hari berikutnya, rutinitas kampus berjalan seperti biasa. Namun bagi Arka, setiap jadwal kuliah Pengantar Sastra terasa istimewa. Ia selalu datang lebih awal, duduk di depan, dan menyimak setiap kata yang keluar dari bibir Saraswati.
Setiap kali Saraswati menulis di papan, jemarinya lincah dan penuh keyakinan. Setiap ia menjelaskan puisi, suaranya melantun bagai irama.
Suatu hari, Saraswati membacakan sebuah puisi Chairil Anwar.
> “Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang…”
Suaranya dalam, bergetar, dan menyentuh. Seluruh kelas terdiam. Dan dalam diam itu, Arka merasa seolah hanya dirinya yang sedang diajak bicara.
Usai kuliah, Saraswati memberi tugas: setiap mahasiswa harus menulis esai pendek tentang puisi favorit mereka. Malam itu, Arka menulis dengan penuh semangat. Tangannya gemetar saat menuliskan kata-kata, seolah ia sedang mencurahkan isi hatinya.
Esainya bukan sekadar tentang puisi—tapi tentang bagaimana puisi membuatnya merasa hidup, tentang bagaimana ia menemukan keindahan di balik suara seorang guru.
Keesokan harinya, ketika Saraswati membaca esai itu, matanya terhenti lebih lama. Ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Esai Arka tidak hanya cerdas, tapi juga jujur, penuh perasaan.
"Anak ini… hatinya begitu murni," batinnya
Di balik ketenangan wajahnya, Saraswati menyimpan luka lama. Ia pernah menikah, namun pernikahan itu hanya bertahan tiga tahun. Suaminya, seorang akademisi juga, meninggalkan dirinya demi wanita lain.
Sejak itu, Saraswati menutup pintu hatinya. Ia memilih dunia sastra sebagai pelarian, mengabdikan hidupnya pada kata-kata, penelitian, dan mahasiswanya.
Namun malam-malam sunyi selalu menghadirkan bayangan sepi. Di apartemen kecilnya, Saraswati sering duduk sendiri sambil menatap jendela. Kopi yang dingin, buku yang terbuka, dan sunyi yang menggantung.
Sejak bertemu Arka, ada sesuatu yang berubah. Pemuda itu seperti menghadirkan cahaya baru. Bukan karena ketampanan atau sikap berlebihan, tapi karena ketulusannya.
Ia tahu ini berbahaya. Hubungan antara dosen dan mahasiswa adalah garis merah yang tak boleh dilanggar. Tapi hatinya mulai goyah, perlahan-lahan.
Kedekatan kecil antara Arka dan Saraswati ternyata mulai diperhatikan oleh beberapa mahasiswa.
“Eh, kamu lihat nggak? Bu Saras kok sering banget ngobrol sama Arka,” bisik seorang mahasiswi di kantin.
“Iya, kayaknya Arka jadi favorit gitu. Masa setiap kuliah, tatapannya lebih lama ke dia.”
“Wah, jangan-jangan…”
Gosip itu menyebar pelan. Arka mendengar sekilas, tapi ia memilih diam. Ia tahu itu hanya praduga, namun hatinya diam-diam berdebar.
Suatu sore, setelah kelas selesai, Saraswati memanggilnya.
“Arka, sebentar. Saya ingin bicara.”
Arka menoleh gugup. “I-iya, Bu.”
“Esai kamu bagus sekali. Kamu punya bakat menulis. Saya ingin kamu ikut lomba esai sastra bulan depan.”
Arka terkejut. “Serius, Bu? Saya… saya nggak yakin.”
“Kamu mampu,” jawab Saraswati, menatapnya penuh keyakinan.
Namun percakapan sederhana itu, ketika dilihat oleh mahasiswa lain yang lewat, segera menjadi bahan bisik-bisik.
Malam itu, Arka berjalan pulang ke kos dengan perasaan campur aduk. Ia tahu gosip mulai merebak, tapi hatinya tak bisa berbohong. Setiap kali bersama Saraswati, ia merasa hidupnya lebih berwarna.
Sementara di apartemen, Saraswati memandangi layar laptop yang menampilkan esai Arka. Kata-kata itu begitu jujur, seolah ia bisa melihat langsung isi hati pemuda itu.
Ia menutup laptopnya, lalu berbisik pada dirinya sendiri.
“Arka… kamu berbeda.”
Suatu hari di kelas, seorang mahasiswa bernama Raka bercanda dengan nada sinis.
“Bu, kayaknya Arka bakal jadi asisten dosen pribadi Ibu, ya? Hehehe.”
Kelas tertawa. Arka tertunduk malu, wajahnya memanas. Saraswati menatap tegas ke arah Raka.
“Jangan berkata seenaknya. Semua mahasiswa sama di mata saya. Tidak ada yang istimewa.”
Suasana kelas langsung hening. Namun Arka bisa merasakan sesuatu dalam nada suara Saraswati—sebuah usaha keras untuk menyembunyikan sesuatu.
Sore itu, Arka kembali ke perpustakaan. Tak disangka, Saraswati juga ada di sana. Mereka berbicara lebih lama dari biasanya, tentang sastra, tentang hidup, bahkan tentang kesepian.
Saat matahari tenggelam, cahaya oranye menembus jendela, membuat bayangan keduanya jatuh panjang di lantai.
Arka memberanikan diri berkata, “Bu… entah kenapa, setiap kali saya bicara dengan Ibu, saya merasa tenang. Seperti saya bisa jadi diri sendiri.”
Saraswati terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangan.
“Arka… jangan berkata begitu. Itu… bisa menimbulkan masalah.”
“Tapi… itu yang saya rasakan,” jawab Arka jujur.
Hening panjang. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Akhirnya, Saraswati berdiri, merapikan bukunya.
“Kamu anak yang baik, Arka. Jangan biarkan hatimu tersesat.”
Ia melangkah pergi. Namun di ambang pintu, Saraswati berhenti sejenak, lalu menoleh. Tatapannya dalam, penuh rasa yang berusaha disembunyikan.
“Jaga dirimu baik-baik.”
Dan sore itu, Arka sadar—hatinya sudah tak bisa mundur lagi.