SMA 1 NEGERI JAKARTA.
Kala itu, langit senja berwarna kuning keemasan, dengan matahari yang perlahan redup di ufuk barat. Suara adzan Magrib mulai berkumandang menggema, melantun lembut di antara semilir angin sore. mengiringi sore yang mulai menua.
Afrian menghentikan langkahnya, berdiri di tengah lapangan dengan keringat yang terus mengalir di tubuhnya. Ekspresi lelah jelas terlihat di wajahnya, namun tak mengurangi pesona ketampanan yang ia miliki—rambut acak-acakan, kaus yang basah oleh keringat, kulit putih yang semakin mempertegas auranya. Ia terdiam sejenak, membiarkan dirinya larut dalam suara adzan yang memenuhi udara.
Mengikuti ekstrakurikuler PJOK, tepatnya bermain sepak bola, sudah menjadi sumber kegembiraan bagi Afrian.
Tak lama, teman-teman satu tim mendekat. Salah satu dari mereka, Rendy, menepuk bahu sang kapten sambil mengusap wajahnya dengan handuk kecil.
"Kita shalat dulu, nanti lanjut lagi... Udah malam ini," ucap Rendy, setengah kelelahan.
Afrian membalas rangkulan itu dengan anggukan pelan. Ia tahu, ucapan Rendy ada benarnya.
Meski mereka dikenal sebagai anak-anak nakal—sering membolos dan menjadi anggota geng motor—tetapi ada batasan yang mereka pegang teguh. Mereka memang ikut balap liar, namun menjauhi minuman keras dan narkoba. Dan yang terpenting, mereka masih mengenal Tuhan. Seperti sore ini, sebagian memilih menunaikan shalat Magrib di mushola sekolah, sementara sisanya langsung pulang ke rumah masing-masing.
Di sisi lain, Raya. Siswi yang tak banyak dikenal namun memiliki kepribadian luhur juga baru saja keluar dari mushola.
Raya, dengan kerudung rapi membingkai wajah cantiknya, berjalan bersama seorang sahabat. Ia memang berbeda dari kebanyakan siswi lain, yang mengenakan seragam modifikasi seperti rok pendek atau pakaian bebas. Di mata Afrian, dari sekian banyak gadis di sekolah ini, hanya Raya yang pantas disebut shalihah.
Tanpa sengaja, mata Afrian menangkap sosok Raya. Ia terpaku sesaat.
"Ehem!" salah satu teman Afrian, Acil, berdehem iseng, menyadari pandangan sang kapten.
Mereka semua tahu, Afrian diam-diam menaruh rasa pada gadis pendiam itu.
"Assalamualaikum, Neng Raya," sapa Acil dengan gaya centilnya.
Raya yang sedang mengambil tas di penitipan barang menoleh. Di hadapannya berdiri sekelompok anak nakal yang meski kerap bolos, tetap mengharumkan nama sekolah lewat prestasi olahraga.
"Walaikumsalam," jawab Raya lirih sambil menunduk, merasa malu sekaligus canggung. Situasi yang ramai membuatnya tidak nyaman.
"Tumben belum pulang? Udah Magrib gini," lanjut Acil, memasang senyum jahil.
Mereka tahu, biasanya semua siswa sudah pulang di jam segini. Hanya anak-anak sepak bola, termasuk Afrian, yang lupa waktu karena terlalu larut dalam permainan.
"Diskusi OSIS sama Pak Anton tadi," jawab Raya, berusaha terdengar santai meski gugup. "Ada juga Kakak-kakak senior, tapi mereka sudah pulang duluan."
Melihat situasi mulai tidak nyaman, Bella sahabat setia Raya—segera menarik tangan Raya, mengajaknya pergi sebelum percakapan itu berlarut.
Bella tahu betul, sahabatnya tidak nyaman berada di bawah tatapan banyak orang, terutama tatapan Afrian yang dalam dan menusuk—bukan karena marah, melainkan karena rasa ingin tahu yang terbungkus dalam wajah cuek dan acuh tak acuh khas dirinya.
Keesokan harinya, di SMA Negeri 1 Jakarta.
Mata pelajaran Matematika tengah berlangsung. Namun seperti biasa, jika sudah menyangkut pelajaran yang tidak ia sukai, Afrian memilih menghilang.
Ia menyusuri lorong sekolah, langkah malasnya mengarah ke toilet dekat gudang tua yang jarang dilewati siswa lain.
Saat hendak membuka pintu, samar-samar terdengar suara beberapa siswa bercakap-cakap tak jauh dari sana. Mereka sepertinya seangkatan dengan Afrian, namun berbeda jurusan—entah dari IPS B, atau mungkin dari kelas IPA. Afrian tidak mengenali wajah-wajah mereka.
"So suci banget sih dia, bangke!" cercah salah satu dari mereka, disambut tawa kasar.
"Gila, cantik doang sok jual mahal. Biasa juga ngangkang sama Om-om tuh, paling," tambah yang lain, nadanya menghina.
Beberapa dari mereka mengangguk sambil terkekeh, menertawakan kata-kata jorok itu.
"Raya!" sebut salah satu di antara mereka, tanpa rasa hormat.
Afrian yang semula acuh—nyaris berlalu begitu saja—seketika berhenti.
Seketika dunia terasa berdering di telinganya.
Nama itu. Nama yang beberapa waktu lalu membuat dadanya terasa penuh.
Tanpa pikir panjang, Afrian berbalik. Langkahnya cepat, amarah meledak tanpa aba-aba.
Satu pukulan keras melayang ke wajah siswa yang pertama kali membuka mulut kotor tentang Raya.
"BUGH!"
Suara benturan keras memenuhi lorong. Anak-anak itu terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Apa-apaan lo?!" teriak korban tinju itu, tersentak kaget. Tapi belum sempat membalas, satu tinju lagi mendarat telak di rahangnya.
"BUGH! BUGH!"
Afrian bertindak seperti singa lepas kandang. Tanpa ampun, dia menghajar satu per satu gerombolan itu. Empat orang melawan satu, tapi keberanian Afrian membungkam jumlah mereka.
Teriakan, dentuman tinju, dan suara tubuh yang terhuyung menghantam dinding menggema di lorong.
"Sialan lo!" maki salah satu dari mereka, darah mengalir dari bibirnya.
"Mati aja lo semua!" raung Afrian, napasnya memburu, darah sendiri mengucur dari pelipisnya. Tapi rasa sakit itu tak sebanding dengan kemarahan yang membakar dadanya.
Mereka adalah empat orang, tapi hari itu, amarah seorang Afrian lebih liar dari jumlah mereka.
Mendengar kegaduhan yang meledak di lorong, beberapa siswa dan siswi yang lewat terhenti sejenak, membelalak ketakutan.
Tanpa pikir panjang, beberapa dari mereka berlari terbirit-birit ke arah ruang guru, berteriak tak karuan sambil mencari pertolongan.
Sementara itu, di tengah kekacauan, Afrian tetap bertahan. Meski sendirian melawan empat orang, ia tidak gentar.
Tinju dan tendangan bertukar cepat. Nafasnya berat, darah mengalir dari sudut bibir dan pelipis, tapi matanya tetap liar membara.
Ia bukan lagi sekadar siswa bermasalah; ia adalah badai yang menolak diam.
Hingga akhirnya, dua orang guru—Pak Sigit dan Bu Melati—bergegas datang, terengah-engah.
Mereka berdua harus turun tangan langsung untuk melerai pertarungan brutal itu. Pak Sigit memegang erat tubuh Afrian dari belakang, sementara Bu Melati berusaha mendorong mundur siswa-siswa lainnya yang sudah lebam dan babak belur.
"BERHENTI! Semuanya BERHENTI!" teriak Pak Sigit dengan suara lantang, membuat seluruh lorong hening mendadak.
Afrian, masih mengumpat pelan, berusaha melepaskan diri, namun genggaman Pak Sigit terlalu kuat.
Siapa yang tidak mengenal Afrian?
Wajah tampannya yang dingin, reputasinya di dunia olahraga, serta kenakalannya yang sudah menjadi legenda di lingkungan sekolah.
Bahkan para guru pun diam-diam malas berurusan dengannya—terlalu sulit, terlalu keras kepala, dan selalu berada di wilayah abu-abu antara prestasi dan pelanggaran.
---
Beberapa menit kemudian.
Di ruang BK yang penuh tekanan.
Afrian duduk bersandar di kursi kayu dengan tangan terlipat di dada, tatapannya menantang. Empat siswa lain yang tadi berkelahi bersamanya duduk di seberang, sama-sama babak belur.
Pak Damar, guru BK, memandang mereka semua dengan ekspresi dingin, kacamata dibetulkan di batang hidungnya.
"Kenapa bisa berkelahi?!" suara Pak Damar membelah keheningan, keras dan penuh tuntutan.
Tak ada yang menjawab. Hening, kecuali deru napas mereka yang masih berat.
"Kalian pikir ini tempat sirkus?!" bentak Pak Damar lagi, nadanya meninggi.
Afrian tetap membisu. Ia bukan tipe yang banyak bicara, apalagi ketika marah.
Namun, jari-jarinya mengepal di atas paha, menahan diri dari amukan kedua.
Pak Damar menatap tajam satu per satu, lalu beralih ke Afrian.
"Afrian. Kamu kapten ekstrakurikuler sepak bola. Kamu atlet. Apa pantas seorang siswa berprestasi seperti kamu adu jotos di lorong sekolah?"
Afrian hanya mendengus pelan, pandangannya menantang balik.
"Kalau mereka gak bawa-bawa nama orang yang harusnya mereka hormati," gumamnya, dingin, "mungkin aku gak perlu pakai tangan."
Suasana ruang BK makin berat. Udara seakan mengental, menekan siapa saja yang ada di dalamnya.
Pak Damar mengetukkan pulpennya ke meja, menahan emosi.
"Baik. Saya mau laporan tertulis dari kalian semua. Hari ini juga. Besok, saya serahkan ke Wakasek Kesiswaan untuk diproses. Termasuk kamu, Afrian."
Afrian menyeringai tipis bukan karena senang, tapi karena sudah memperkirakan semua ini.
Namun dalam hatinya, ia tidak menyesal.
Untuk nama itu, untuk gadis berkerudung yang memeluk langit dalam ketenangannya...
Afrian siap berperang kapan saja.