Malam itu, langit Avariel gelap gulita, hanya diterangi oleh kilatan petir yang menyambar-nyambar dari kejauhan. Udara berat dengan aroma hujan yang siap turun, dan angin menderu seperti bisikan dari dunia yang tak tampak. Arden, seorang pemuda muda dengan rambut hitam berantakan dan mata yang penuh kegelisahan, berlari menyusuri hutan lebat. Tak ada tujuan pasti, hanya dorongan nalurinya yang membawanya jauh dari desa yang ia tinggalkan. Kehidupan seorang yatim piatu memang bukanlah hal yang mudah, namun pada malam itu, kehidupan Arden terasa lebih keras dari biasanya.
"Setiap langkahku seperti menghindar dari bayang-bayang masa lalu," pikirnya, sambil terus berlari tanpa menoleh ke belakang.
Tiba-tiba, di tengah hutan, ia mendengar suara jeritan yang mengerikan. Suara itu terdengar seperti teriakan seorang perempuan, penuh dengan ketakutan. Tanpa berpikir panjang, Arden berlari ke arah suara tersebut. Sesampainya di sebuah clearing, matanya terbelalak melihat apa yang terjadi di depan matanya.
Seorang gadis muda, dengan pakaian berwarna cerah yang sudah tercabik-cabik, terpojok oleh sekelompok pasukan berseragam hitam. Mereka tampak bukan manusia biasa, namun makhluk kegelapan yang tak tampak di siang hari, dengan mata yang memancarkan kebencian dan dahaga akan kekuasaan.
"Jangan sentuh dia!" teriak Arden, meskipun ia sendiri tidak tahu mengapa ia begitu yakin untuk melawan mereka.
Para pasukan itu tertawa dengan kasar, seolah merasa tak terancam. Mereka melangkah maju, namun Arden tidak mundur. Sesuatu di dalam dirinya mendesak untuk bertindak. Dengan keberanian yang bahkan ia sendiri tak tahu darimana asalnya, ia menatap pedang yang terselip di pinggang salah satu penjaga.
Tanpa ragu, ia berlari maju, melompat, dan meraih pedang itu dengan cepat. Ketika tangannya menyentuh gagang pedang, suatu kekuatan luar biasa mengalir melalui tubuhnya, mengalirkan energi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pedang itu berkilau terang, seolah hidup, dan seketika itu juga, sekelompok pasukan yang hendak menyerang gadis itu terlempar mundur dengan kekuatan tak tampak.
Saat hening menyelimuti clearing, Arden terengah-engah, menyadari bahwa ia memegang pedang yang tak biasa. Pedang itu, dengan hiasan berkilau di sepanjang bilahnya, tampak lebih dari sekadar senjata—ia tampak seperti suatu artefak yang sangat kuat dan penuh rahasia.
Gadis itu tertegun, menatap Arden dengan mata yang penuh keheranan. "Kamu... Kamu yang terpilih," bisiknya, hampir tak terdengar.
"Siapa kamu?" tanya Arden, tetapi gadis itu hanya menggelengkan kepala, tampaknya tak mampu berbicara lebih banyak.
Sementara itu, pedang yang dipegangnya bergetar pelan, seakan berkomunikasi dengannya dalam bahasa yang hanya bisa dirasakannya. Sebuah suara dalam hatinya berbicara dengan jelas:
Kamu adalah pewaris sejati Ethelion.
Arden terkejut. Nama itu—Ethelion—terdengar seperti legenda yang hanya ia dengar dari cerita orang tua di desanya. Pedang kuno milik Dewa Perang. Sebuah senjata yang memiliki kekuatan untuk mengubah dunia.
Namun, sebelum ia bisa mencerna lebih lanjut, sosok lain muncul dari balik kegelapan—Raja Malcar. Pemimpin pasukan kegelapan yang telah menghancurkan banyak desa di Avariel. Dengan senyum jahat di wajahnya, ia melangkah maju.
"Jadi, akhirnya kau menemukannya," katanya, matanya penuh dengan hasrat akan kekuasaan. "Ethelion adalah milikku."
Arden merasakan kekuatan pedang itu semakin meningkat, seolah memberikan dorongan pada dirinya untuk bertarung. Namun, ia tahu bahwa dengan kekuatan besar datanglah tanggung jawab yang besar pula. Di hadapannya kini bukan hanya musuh yang kuat, tetapi juga sebuah keputusan besar—apakah ia bisa mengendalikan pedang ini, ataukah pedang itu yang akan mengendalikan dirinya?
Di bawah cahaya bulan yang memancar, pertempuran pertama antara Arden dan pasukan kegelapan pun dimulai.
Pertempuran itu dimulai dengan kecepatan yang tak terduga. Pasukan kegelapan menyerbu dengan kekuatan tak terlihat, seakan-akan bayangan mereka berlari lebih cepat dari kecepatan manusia biasa. Namun, Arden merasakan sesuatu yang berbeda. Pedang Ethelion, yang ia genggam erat, bergetar seolah mengundang kekuatan tersembunyi untuk terbangun. Tanpa sadar, ia mengangkat pedang itu ke atas, dan dalam sekejap, kilatan cahaya biru terang memancar dari ujung bilahnya, menghancurkan bayangan-bayangan kegelapan yang mendekat.
Teriakan para pasukan kegelapan terdengar menyayat, dan beberapa dari mereka terlempar mundur, seolah diserang oleh kekuatan tak kasat mata. Arden terengah-engah, matanya terpaku pada pedang di tangannya. Pedang itu hidup, seakan mendiktekan setiap gerakan, memberi arahan yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Instingnya terasah, dan setiap gerakan yang ia lakukan terasa lebih sempurna daripada yang ia bayangkan. Ia memutar tubuhnya, menghindari serangan dari pasukan kegelapan yang kini mulai mengepungnya.
Raja Malcar, yang berdiri di belakang pasukannya, menyaksikan dengan penuh ketenangan. Senyum jahat masih menghiasi wajahnya. “Kau memang layak untuk memegangnya,” katanya, suara penuh penghinaan. “Namun, tidak cukup hanya memiliki pedang itu untuk mengubah takdir dunia. Kekuatan sejati berasal dari kendali, dan hanya aku yang dapat menguasai Ethelion dengan cara yang benar.”
Arden menggenggam pedangnya lebih erat. Ia tahu bahwa Malcar bukanlah musuh yang mudah dihadapi. Tentu, pedang itu memberinya kekuatan luar biasa, namun ia juga tahu betul bahwa setiap kali ia menggunakannya, ada kekuatan gelap yang juga berusaha menguasai dirinya.
Pasukan kegelapan mulai bergerak lebih terkoordinasi, berusaha memanfaatkan angka mereka untuk menekan Arden. Namun, dengan satu gerakan cepat, Arden mengayunkan Ethelion. Pedang itu berkilau seperti petir, menebas udara dengan kekuatan yang menghancurkan. Sekelompok pasukan terjatuh, tubuh mereka terbelah menjadi dua bagian yang terpisah oleh cahaya yang memancar dari pedang.
Gadis muda itu, yang sebelumnya terpojok, kini mulai bergerak lebih dekat. Wajahnya penuh ketakutan, namun ada juga rasa ingin tahu yang terpancar jelas. "Jaga pedang itu dengan hati-hati," katanya, hampir berbisik. "Ethelion tidak hanya memberi kekuatan, tetapi juga menguji jiwa pemiliknya."
Arden menatapnya, bingung. "Apa maksudmu? Apa yang terjadi jika aku tidak bisa mengendalikannya?"
Gadis itu menatap Arden dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Setiap kali kau menggunakan pedang itu, sisi gelapnya akan semakin mendekat. Pedang itu memiliki sejarah kelam. Para pemilik sebelumnya hancur, terhisap oleh kekuatannya sendiri. Kamu harus sangat berhati-hati."
Arden merasa keringat dingin mengalir di dahinya. Ia tahu bahwa dia tak bisa mundur. Pasukan kegelapan semakin mendekat, dan Malcar, sang raja tiran, tampaknya sudah siap untuk bertempur.
"Jangan khawatir," jawab Arden, dengan suara yang lebih tegas dari yang ia rasakan. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambil Ethelion dariku."
Dengan itu, ia melangkah maju, pedang Ethelion terangkat tinggi di atas kepalanya. Cahaya dari pedang itu menyilaukan, menerangi hutan gelap yang terbungkus kabut malam. Raja Malcar akhirnya bergerak maju, melangkah dengan penuh keyakinan.
"Jadi, ini akan menjadi akhir dari perjalanan kita," katanya dengan suara serak, penuh amarah. "Kekuatanmu akan sia-sia, seperti semua yang lain yang mencoba menahan takdir."
Arden mengangkat Ethelion ke depan, siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang, memotong udara di sekelilingnya, dan terjadilah ledakan cahaya yang mengguncang tanah. Pedang itu berkilau seolah mengandung seluruh kekuatan dunia.
Namun, tepat saat itulah ia merasakan perubahan dalam dirinya. Ada sesuatu yang bergerak dalam kegelapan pedang—sebuah kekuatan yang mengalir begitu deras ke dalam jiwanya, seperti gelombang yang mengancam tenggelamkan dirinya. Hatinya berdebar kencang. Ia merasa seolah dunia ini berada di ujung tanduk, dan dalam sekejap, seluruh nasib dunia tergantung pada dirinya dan pedang itu.
Mampukah ia mengendalikan Ethelion, atau justru Ethelion yang akan mengendalikan dirinya?
Semua ini akan terungkap dalam pertempuran yang baru saja dimulai, sebuah pertempuran yang akan mengubah takdir dunia selamanya.