

“Jean! Cepat maju! Waktumu hanya lima belas menit!”
Suara dosen yang lantang menggema di dalam ruang kuliah. Suasana hening seketika. Semua mata tertuju pada Jean Cassel, mahasiswa teknik yang terkenal bukan karena kejeniusannya, bukan pula karena prestasinya, tetapi karena kebiasaannya membuat kesalahan bodoh. Dengan sifatnya yang ceroboh, penakut, dan tidak menonjol dalam pergaulan, membuat para penghuni kampus menjadikannya bahan olokan, terutama oleh kelompok geng yang mendominasi.
Jean menelan ludah. Tangannya yang menggenggam lembaran presentasi terasa dingin dan berkeringat.
“Ayo, Jean! Jangan buat kami bosan dengan kebodohanmu!” seru salah satu mahasiswa dari barisan belakang.
“Jean culun,” ejek mereka. “Kenapa nggak belajar jadi manusia dulu, daripada jadi orang paling pintar yang nggak bisa bersosialisasi, bikin kita muak tau!"
Tawa mereka meledak. Jean pun langsung menunduk dan wajahnya memerah seperti udang rebus. Ia tidak perlu melihat ke belakang untuk tahu siapa yang berbicara. Pasti Hugo dan gengnya, para mahasiswa yang suka mempermalukannya setiap ada kesempatan.
Dengan langkah kikuk, Jean berjalan menuju podium. Sepatu ketsnya yang sudah usang menyeret di lantai, membuat suara berdecit yang semakin memperburuk suasana.
“Jean, jangan hiraukan mereka, fokus saja pada persentasimu,” bisik Alina More, teman sekelompoknya yang duduk di barisan depan.
Jean memaksakan senyum, tapi ekspresinya lebih mirip orang yang sedang menahan mual. Ini adalah presentasi penting, dan ia tahu bahwa sekecil apa pun kesalahannya akan menjadi bahan tertawaan seisi kampus selama berhari-hari.
Ia menarik napas dalam-dalam dan menyalakan proyektor. Slide pertama muncul di layar.
“Jadi, proyek kami kali ini adalah—”
Tiba-tiba layarnya mati. Dan itu membuat Jean kesal.
“Ah, sial!” gumam Jean, buru-buru ia menekan tombol remote. Namun, tidak ada respons. Lalu dengan cepat, ia membungkuk untuk memeriksa kabel. Dan di saat itulah, entah bagaimana, kakinya yang lemas seperti mi instan gagal menopang tubuhnya. Dan pada akhirnya terjatuh. Jean tersungkur di depan seluruh kelas. Lembar presentasi terbang ke segala arah seperti konfeti.
Seisi ruangan terdiam selama sedetik. Kemudian, gelak tawa mereka meledak lagi dari segala penjuru. Menggema tak kunjung selesai. "Hahahaha!”
“Jean, kau ini mahasiswa teknik atau pesulap? Baru jalan aja bisa sulap jatuh sendiri!” seru Hugo sambil terpingkal-pingkal.
“Kayaknya dia lebih cocok jadi badut kampus!” timpal yang lain.
Jean seakan ingin menghilang saat itu juga. Wajahnya semakin merah, hampir seperti tomat busuk yang siap dilempar. Ia mencoba bangkit, tapi lututnya masih bergetar. Alina More buru-buru menghampiri dan membantunya mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan.
“Tidak apa-apa, Jean. Bangunlah,” bisik Alina More pelan.
Namun, yang didengar Jean hanyalah tawa di sekelilingnya. Ia menunduk, matanya tertuju pada sepatu yang mulai terkikis di bagian ujungnya.
Kenapa selalu begini? pikirnya.
Dosen, yang sejak tadi hanya diam dengan ekspresi datar, akhirnya berdeham. “Baiklah, cukup. Presentasi bisa dilanjutkan atau tidak?”
Jean menatap layar proyektor yang masih kosong. Lalu ke arah Hugo, yang menatapnya dengan seringai puas.
Jean menarik napas. “Bisa, Pak.”
Ia mengambil remote dengan tangan bergetar dan mencoba menghidupkan proyektor lagi. Kali ini, layar kembali menyala.
Ia menelan ludah dan mulai berbicara.
“Jadi, proyek kami kali ini adalah tentang sistem teknologi untuk—”
“Bisa lebih cepat tidak? Kita tidak punya waktu lama untuk mendengar suara cemprengmu itu, Jean!” potong Hugo dengan lantang.
Beberapa mahasiswa tertawa lagi. Jean menggertakkan gigi. Ia mencoba fokus, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti suara tikus ketakutan.
Di belakang, seseorang berbisik, “Astaga, dia membaca teks seperti robot.”
“Lebih buruk dari robot. Robot setidaknya tidak gemetar.”
Suasana kelas kembali riuh dipenuhi bisik-bisik dan cekikikan.
Jean merasa kepalanya berdenyut. Ia melirik Alina yang mencoba memberinya tatapan mendukung. Namun, itu tidak cukup untuk menenangkan gejolak di dadanya.
Akhirnya, ia sampai di slide terakhir. Ia menghela napas lega.
“Jadi, kesimpulannya adalah—”
Entah kenapa lagi lampu proyektor tiba-tiba padam. Dan lagi-lagi nasib sial terus menghantuinya. Gelombang tawa mulai meledak lagi.
Jean ingin meninju sesuatu. Ingin berteriak. Namun ia tidak berani. Sejak kecil, Jean selalu menjadi anak yang tertutup. Tidak pandai berbicara dengan orang lain, tidak bisa bergaul, dan selalu menjadi sasaran empuk ejekan teman-temannya hingga sampai sekarang ini.
“Jean, sepertinya kau memang ahli membuat presentasi dramatis,” ujar Hugo dengan nada mengejek.
Jean mengangkat kepala, menatap Hugo yang masih tertawa puas. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Matanya yang biasanya dipenuhi kecemasan dan ketakutan kini menyala dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kemarahannya yang selama ini dipendam terasa seperti sumbu yang mulai terbakar.
Persentase Jean tak kunjung selesai. Namun, tiba-tiba, bunyi sirine mendadak memecah suasana ruangan, gemuruh keras terdengar dari luar gedung. Semua orang terdiam. Sebuah ledakan keras mengguncang bangunan. Bangunan mulai bergetar. Tak lama kemudian, asap hitam menyelimuti seluruh ruangan, dan api mulai melahap ke segala arah. Seorang petugas keamanan kampus berlari masuk, wajahnya penuh panik. “Semua mahasiswa, segera evakuasi! Gedung utama terbakar!”
“Keluar! Cepat keluar!” teriak dosen dengan suara panik. Semua orang berlarian, terjepit dalam kekacauan. Jean berdiri kaku. Kaki-kakinya terasa berat, seolah ada batu besar yang menahan gerakannya. Ketika melihat teman-temannya berlarian menuju pintu, ia merasakan ketakutan yang begitu mendalam, seakan tubuhnya telah membeku.
“Ayo, Jean! Kita harus keluar!” teriak Alina More. Namun, tubuh Jean tetap tak bergerak. “Ayo!” Alina menarik lengannya, tapi Jean merasa tubuhnya kaku, otaknya terjebak dalam kepanikan yang mencekik.
“Kita harus keluar sekarang!” teriak Alina, menarik lengan Jean dengan paksa.
Keduanya bergabung dalam kerumunan mahasiswa yang bergegas menuju pintu keluar. Namun, saat mencapai tangga menuju lantai dasar, mereka terhenti. Asap tebal memenuhi ruangan, membuat banyak orang batuk dan kehilangan arah.
Di luar, kekacauan semakin parah. Api merambat cepat, membuat jalan keluar semakin sempit. Jean menoleh ke sekitar, berharap ada jalan keluar yang tersisa, tetapi semuanya terhalang. Asap semakin tebal, dan ia mulai kesulitan bernapas.
Alina masih menariknya, tetapi Jean merasa tubuhnya mulai kehilangan kekuatan. “Alina... aku... aku nggak bisa...” kata Jean dengan suara tercekat.
“Tahan, Jean! Kita pasti bisa keluar!” Alina berteriak, namun suaranya tenggelam oleh ledakan yang mengguncang seluruh ruangan.
“Alina, jangan lepaskan tanganku!” Jean memegang tangan Alina erat, matanya mencari-cari jalan keluar.
Tiba-tiba, dari balik asap, terdengar suara minta tolong. Jean menoleh ke arah asal suara itu, melihat seorang mahasiswa terjebak di balik tumpukan kursi yang terbakar.
“Ayo, Jean!” seru Alina ketika melihat Jean bergerak menuju sumber bahaya.
“Dia ... dia butuh bantuan, Alina!” kata Jean dengan suaranya gemetar.
"Iya, tapi kita tidak bisa membantunya, keselamatan kita paling utama," ucap Lina panik.
"Tapi ...."
Tiba-tiba, ada suara berdesing keras. Cahaya yang begitu terang muncul di sekitar tubuh Jean. Rasa panas yang tiba-tiba mengalir dalam tubuhnya membuatnya terkejut. Seperti ada kekuatan tak terlihat yang mengalir melalui pembuluh darahnya. Dalam sekejap, tubuhnya menjadi lebih kuat, lebih ringan.
Alina terperangah melihat perubahan itu. “Jean... apa yang terjadi padamu?"
Namun Jean tidak menghiraukan Alina, dengan napas tertahan, dia menerobos asap secara paksa, mencoba mengangkat kursi yang menimpa mahasiswa itu. Tubuhnya gemetar, dan keringat mengalir deras di wajahnya. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Ketika kulitnya bersentuhan dengan kursi yang membara, rasa panas yang seharusnya menyengat justru tidak terasa.
"Jean!" teriak Alina cemas.
“Apa yang terjadi?” gumam Jean. Ia melanjutkan upayanya, kali ini lebih percaya diri. Dalam hitungan detik, ia berhasil mengangkat kursi itu dan menarik mahasiswa yang terjebak keluar.
Jean kembali ke sisi Alina yang menunggunya dengan cemas. Alina menatap Jean dengan penuh kekaguman. “Jean... bagaimana kamu bisa melakukannya? Kursi itu... seharusnya panas sekali!”
“Aku juga tidak tahu,” jawab Jean dengan napas terengah. Tangannya masih gemetar, bukan karena lelah, melainkan karena kebingungan.
Namun, momen tenang itu tidak berlangsung lama. Suara retakan terdengar di atas mereka. Plafon gedung mulai runtuh, dan sebuah balok besar jatuh ke arah mereka.
“Jean, awas!” teriak Alina.
Tanpa berpikir panjang, Jean mengangkat tangannya, dan balok yang seharusnya menghantam mereka terhenti di udara, melayang beberapa inci dari kepala mereka. Alina menatapnya dengan mulut terbuka, sementara Jean sendiri tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan.
“Tidak ... ini tidak mungkin!” gumam Jean sambil menatap tangannya sendiri.
Balok itu jatuh ke lantai dengan suara keras, untung keduanya tidak terluka. Kini giliran Jean yang menarik tangan Alina keluar dari gedung, di mana mereka disambut oleh udara segar dan suara sirine pemadam kebakaran.
“Jean,” kata Alina dengan nada serius, “aku tidak percaya ini, tapi ini sungguh nyata. Ada sesuatu yang terjadi pada dirimu. Kau seperti bukan Jean yang aku kenal."
Jean tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada tangannya sendiri yang kini bergetar bukan karena takut, melainkan karena ia sadar sesuatu dalam dirinya telah berubah. Sementara itu, di kejauhan, dari balik asap yang memudar, sepasang mata tajam memperhatikan Jean dengan intens. Pemilik mata itu tersenyum tipis, lalu menghilang di balik bayangan gelap.