

“Setelah alarm kebakaran menyala, listrik akan padam dalam 10 detik. Waktumu cuma 5 menit sebelum listrik darurat mengaktifkan sistem keamanan. Kalau dalam waktu itu kita nggak berhasil bawa prototipenya, misi dibatalkan!” seru Karin lewat alat komunikasi.
“86!” sahut Rocky.
“Aiden, kamu dengar? Jangan memaksakan diri seperti misi terakhir kita! Aku masih terlalu muda untuk mati,” ujar Karin lagi.
“Iya, aku tahu,” sahut Aiden.
“Jangan ambil apa pun selain target. Kita sudah tidak membutuhkan tropi untuk menambah portofolio. Ini misi terakhir kita,” sindir Karin.
“Dengar itu, Rocky!” ucap Aiden.
“Hei, Aiden! Aku bicara tentangmu,” sambar Karin cepat, kemudian keluar dari saluran percakapan.
Aiden sudah bersiap dan menunggu di atap dengan semua perlengkapan yang butuhkan. Tali untuknya turun juga sudah terpasang, tinggal menunggu waktu untuk semuanya bergerak.
“Sekarang!” seru Karin.
Suara alarm menggema di seluruh penjuru rumah mewah tiga lantai yang jadi target operasi. Para tamu, pekerja, dan penghuninya panik. Dalam keriuhan itu, Aiden menunggu sambil berhitung. Listrik padam. Tetamu berteriak dan lari tidak beraturan. Aiden meluncur turun menggunakan seutas tali dan berhenti langsung di depan pintu besi. Dia membuka sarung tangan, menekan kombinasi angka di papan tombol, lalu menempelkan telapak tangannya di panel. Muncul tulisan di layar yang meminta konfirmasi kornea. Aiden mendekatkan wajahnya ke alat pemindai mata.
Selamat datang, Tuan Hartono Salim. Pintu akan terbuka, lalu tertutup lagi dalam dua menit. Sebelum waktu berakhir, sila masukkan sandi di panel yang berada di dalam ruangan. Hitung mundur dimulai sejak pintu terbuka.
“Sial! Sejak kapan tua bangka itu mengubah sistemnya?” umpat Karin. “Aiden, mundur sekarang! Kamu tidak bisa menembusnya kurang dari 2 menit.”
Tidak ada sahutan. Karin panik dan mengulang perintahnya.
“Percuma saja. Dia pasti sudah masuk. Kita tunggu saja. Mungkin kamu bisa coba retas sandinya,” saran Rocky.
“Butuh waktu lebih dari itu. Aku tidak tahu model apa yang dipakai sekarang. Rocky, gimana kalau kamu jemput Aiden sekarang?” Suara Karin terdengar putus asa.
“Sebaiknya menunggu dan percayakan semuanya pada Aiden. Dia tidak akan gegabah. Kita bergerak sesuai rencana.”
Sementara itu, di dalam ruangan Aiden mulai bergerak. Dia melompat, merunduk, berjingkat, dan berguling untuk menghindari garis laser hijau yang membentang acak di ruangan yang baru dimasukinya. Langkahnya ringan seolah tidak menjejak lantai. Dia tahu, tidak boleh ada tekanan pada lantai yang dipijaknya lebih dari satu detik atau hal itu akan mengaktifkan alarm. Di depan kotak kaca, Aiden mengeluarkan alat seukuran pena, lalu mulai menyorotkan benda itu ke kaca membentuk lingkaran. Asap tipis menguar setiap kali tangan Aiden menggerakkan pena yang menyorotkan sinar merah.
Waktu Anda tersisa 30 detik untuk memasukkan kata sandi sebelum pintu tertutup. Suara peringatan dari interkom yang ada di ruangan.
Aiden mendesis. Kaca itu ternyata lebih tebal dari yang dia duga.
Lima belas detik sebelum pintu tertutup.
“Aiden keluar sekarang! Aku tidak bisa mendapatkan sandinya,” ujar Karin.
Sepuluh detik sebelum pintu tertutup. Sembilan. Delapan. Tujuh ….
“AIDEN, KELUAR!” Karin berteriak panik. Jika Aiden gagal, mereka semua akan mati.
Empat. Tiga. Dua ….
“Rocky! Siapkan mobil. Aku keluar sekarang,” ucap Aiden.
Pintu di belakang Aiden tertutup. Sedetik kemudian terdengar ledakan yang tertahan, lalu alarm lain pun menyala, mengaktifkan keamanan yang jauh lebih ketat. Di depan pintu besi muncul sinar-sinar laser berwarna merah. Aiden terkesiap saat sarung tangannya tidak sengaja menyentuh laser tersebut dan mengoyaknya. Pria itu refleks membuka sarung tangan yang juga mulai melukai kulitnya.
“BERHENTI!” seru seorang penjaga yang melihat Aiden di lorong.
Aiden mendesis, kemudian berlari ke arah yang berlawan dari penjaga tadi. Tubuh Aiden sempat membeku tatkala sebuah peluru menabrak dinding dan serpihannya mengenai kaca matanya. Aiden mempercepat langkanya, bergerak zigzag menghindari peluru yang terus dimuntahkan tidak beraturan. Ketika peluru tidak lagi berdesing, Aiden mengambil kesempatan itu menyerang balik. Satu penjaga lumpuh dan Aiden berhasil memasuki sembarang ruangan.
Nahas. Ruangan itu adalah tempat para penjaga beristirahat. Mereka bergerak cepat ketika melihat sosok yang mengenakan pakaian serba hitam. Hujan peluru mengejar Aiden. Dia mengetuk sekali ke alat yang menempel di telinga.
“Karin, cari jalan keluar untukku!” seru Aiden.
Di mobil yang terparkir tidak jauh dari gerbang kediaman Hartono Salim, Karin mengetikkan sesuatu di laptopnya. Gambar dari rumah target yang terdapat Aiden di dalamnya terpampang di setengah layar. Setengahnya lagi menunjukkan gambar-gambar kecil dari seluruh CCTV yang ada di rumah tersebut.
“Turun satu lantai lewat tangga darurat, masuk ke pintu kedua di sebelah kiri, keluar lewat jendela yang ada di sana. Itu akan membawamu ke halaman belakang. Di sana penjaganya paling sedikit.”
“Aku tahu,” sahut Aiden sambil terus berlari, menghindari peluru. Jika waktunya lebih banyak, dia akan memilih menghadapi para penjaga. Dia adalah pemburu dan bukan buruan.
“Aiden! Tinggi lantainya 4 meter. Kakimu bisa patah kalau salah langkah.”
“Oke.”
“Aku akan memindahkan mobil ke titik Aiden,” ucap Rocky.
Aiden mendorong pintu tangga darurat. Di sana sudah menunggu dua penjaga bersenjata. Perkelahian tidak terelakkan. Aiden langsung menendang salah satu penjaga yang hendak melapor posisi Aiden. Alat komunikasinya jatuh, lalu Aiden menghancurkannya. Penjaga satu lagi pun bisa dengan mudah dilumpuhkan setelah Aiden menyabet lehernya dengan tangan kosong.
Sesuai instruksi Karin, Aiden menerobos ke ruangan di pintu kedua. Itu adalah pantri yang berada di lantai dua. Pekerja yang sedang ada di sana menjerit ketika melihat Aiden. Mereka yang baru saja tenang karena tahu alarm kebakaran tadi palsu, mendadak harus melihat sosok mencurigakan.
“Tenang! Saya tidak akan menyakiti kalian. Di mana jendela yang menuju ke taman belakang?” tanya Aiden.
Seorang pelayan muda menunjuk tirai yang ada di sudut ruangan dengan tangan bergetar.
“Terima kasih,” sahut Aiden, lalu bergerak dan menyibak tirai.
Aiden terkesiap karena jendela itu tidak bisa dilewati. Celahnya sangat kecil. Aiden mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, memindai, dan berpikir cepat. Dia mengambil kursi besi untuk memecahkan kaca. Benturan keras itu membuat para pekerja menjerit tertahan. Detik berikutnya Aiden sudah melompat, tepat sebelum beberapa penjaga lain masuk ke ruangan itu.
“Di mana dia?” tanya salah satu penjaga.
Seorang pelayan kembali menunjuk jendela yang baru dilalui Aiden. Teriakan para pelayan pecah tatkala peluru kembali dimuntahkan, menyasar tubuh Aiden yang lincah melewati taman di antara tanaman dan pepohonan.
Rocky tanjap gas ketika melihat sosok berbaju hitam muncul melewati tembok. Dia juga tidak memelankan laju mobil ketika posisinya semakin dekat. Penjaga keluar dan tidak mendapati siapa-siapa di sana.
“Periksa semuanya. Cari tahu apa yang hilang?” seru salah satu penjaga.
*
Kendaraan yang ditumpangi Aiden tiba di sebuah penampungan mobil rongsok yang sudah tutup. Aiden dan Rocky masuk ke ruangan yang dipintunya terdapat tanda tutup dan dilarang masuk selain yang berkepentingan. Aiden membiarkan Rocky masuk lebih dulu dan menyusul tepat setelahnya. Aiden segera mundur begitu ada benda melayang menuju pintu.
“Sial! Siapa yang kurang ajar lempar-lempar botol?” gerutu Rocky yang nyaris terkena benda tersebut.
Aiden menunjuk seseorang dengan matanya. Rocky pun menghampiri orang yang dimaksud.
“Kenapa lagi? Misi kita berhasil dan tidak ada yang mati. Apa kamu masih belum puas?” tanya Rocky.
Alih-alih menjawab, Karin malah menyingkirkan tubuh besar Rocky dan berjalan menghampiri Aiden. “Jawab pertanyaan Rocky!” serunya.
“Bukan aku yang ditanya,” sahut Aiden dingin.
“Ya tapi kamu yang bikin rencana kita hampir gagal. Sudah aku bilang untuk langsung pergi kalau ada yang tidak beres. Kenapa kamu masih nekat?”
“Tapi kita berhasil.” Aiden menyerahkan benda yang ukurannya tidak lebih besar dari sebuah power bank pada Karin.
Sebelum Karin mulai mengomel lagi, Rocky mengambil benda itu dari tangan Karin. “Ini prototipenya? Benda sekecil ini bisa bikin orang saling mengkhianati, bahkan lebih dari itu. Sewaktu mengerjakan misi di pasukan khusus, kami tidak pernah bergerak jika hal itu tidak mengancam keamanan. Kami juga tidak akan menyakiti kalau tidak terancam.”
“Jangan salah, Nak! Benda itu bahkan bisa membuat perang dunia ketiga meletus jika berhasil diluncurkan ke pasar. Orang-orang akan melakukan apa saja untuk menguasai teknologinya,” sela seorang pria tua.
“Kenapa diciptakan kalau dampaknya akan sangat berbahaya?” tanya Rocky. Dia masih tidak tahu benda apa yang dipegangnya.
“Dasar bodoh! Benda itu bisa bikin siapa pun yang menguasainya akan berkuasa. Baru prototipe saja bisa membuat pemiliknya mengambil miliaran rupiah setiap hari tanpa terdeteksi dan tanpa disadari korbannya. Bagusnya lagi, benda itu memilih target tanpa pandang bulu,” sambung Karin.
“Bagaimana bisa?” Rocky semakin penasaran.
“Apa kamu mencatat jumlah uangmu di rekening setiap saat? Apa kamu akan sadar kalau uangmu berkurang Rp500 – Rp1.000 setiap minggu?” tanya Karin.
Rocky menggeleng.
“Sekali prototipe itu dijalankan, bisa menyedot langsung dari seratus juta rekening setiap hari. Di hari kedua dan seterusnya akan menyedot dari rekening yang berbeda. Begitu seterusnya setiap hari. Bisa kamu bayangkan berapa yang didapat seseorang dari satu alat itu? Dan itu masih sebuah prototipe. Desain dan produk yang masih bisa dikembangkan. Berapa jumlah yang bisa didapat jika benda itu bisa dikembangkan dengan maksimal dan menjangkau seluruh bank di dunia?”
“Kalau begitu, jangan kita kasihkan prototipe itu ke klien. Dia sudah kaya tanpa perlu mencuri lagi dari orang lain,” usul Rocky.
Aiden segera merebut benda itu. “Kita harus memberikannya pada klien seperti perjanjian awal.”
“Ayolah, Aiden! Kamu mau berhenti, ‘kan? Anggap saja itu uang pensiun kita,” bujuk Rocky.
“Bukan ide yang buruk. Aku setuju,” timpal Karin.
Aiden menggeleng.
“Kenapa? Bukannya kamu sudah menolak permintaan Prayogo untuk pekerjaan yang dia tawarkan dengan bayaran 3x lipat dari biasanya?” tanya Karin heran.
“Aku sudah berjanji akan berhenti.” Aiden mengangkat benda di tangannya. “Benda ini akan kuberikan pada klien sebagai tanda bubarnya Kesatria Malam.”
“Ayolah, Aiden! Jangan egois! Bagaimana bisa kamu mengorbankan tim hanya untuk satu orang? Hanya untuk perempuan yang baru kamu temui?” Karin tidak bisa menyembunyikan perasaan kecewanya.
“Kamu tidak akan mengerti kalau belum mengalaminya, Nak! Cinta bisa membuat orang melakukan apa pun,” tutur Malik, pemilik penampungna rongsokan mobil.
“Persetan sama cinta.”
Karin pergi dengan penuh emosi.