Semua novel yang kamu inginkan ada disini
Download
Iblis di Sekolah

Iblis di Sekolah

Bintang Samudra | Bersambung
Jumlah kata
30.9K
Popular
119
Subscribe
29
Novel / Iblis di Sekolah
Iblis di Sekolah

Iblis di Sekolah

Bintang Samudra| Bersambung
Jumlah Kata
30.9K
Popular
119
Subscribe
29
Sinopsis
PerkotaanSekolahGangsterKarya KompetisiUrban
Ethan, seorang siswa yang baru pindah sekolah karena kenangan di masa lalu. Berharap di tempat baru, ia akan bisa belajar dengan tenang. Sayangnya, Ethan masuk di sekolah yang terkenal bermasalah. Tanpa sengaja ia menyinggung ketua geng dari 12 zodiak yang berhubungan dengan aliansi. Bagaimana caranya Ethan menghadapi konflik ini? Di mana ia juga harus lulus dengan nilai terbaik.
Bab 1 Murid Pindahan

Braak ... !

"One shot!"

Beberapa murid tertawa melihat seorang pemuda berkacamata terlempar dari tempat duduknya. Kaki kursinya sampai patah akibat benturan keras dinding kelas.

"Tepuk tangan untuk Liam si pemilik tendangan maut!"

Pemuda yang disebutkan namanya tertawa. Tidak ada yang bisa lolos dari tendangan maut pemuda bernama Liam.

Beberapa siswa lelaki memang senang melihat teman mereka sendiri dijadikan bahan percobaan, tetapi bagi perempuan, mereka kesal. Namun, tidak ada yang berani mengutarakan pendapatnya di sini karena takut dipukul oleh geng Liam serta kawanannya.

Mereka penguasa kelas 1-A sekolah lanjutan atas. Siapa yang berani menantang, maka siap-siap ditargetkan. Kabarnya Liam sendiri tergabung dalam circle 12 zodiak di sekolah Eldemere College.

"Apa kalian tidak bisa diam, hah?"

Liam menoleh pada orang yang menegur. Dia adalah gadis yang ditunjuk sebagai ketua kelas.

"Sophie Virelle, kami hanya main-main."

"Cepat kerjakan tugas kalian." Sophie mendengkus, lalu duduk kembali di bangkunya. Ia sudah muak dengan keadaan ini, tetapi ini adalah sekolah yang mau menerima anak-anak seperti dirinya.

"Bawa bajingan kecil itu kemari." Liam memerintahkan itu kepada dua rekannya.

"Siap, Bos." Keduanya mendekati murid yang tengah kesakitan ini. "Bajingan! Cepat bangun, Brengsek!"

"Maafkan aku." Pemuda ini memakai kacamatanya lagi. Dia adalah Simon, anak terlemah di kelas 1-A.

"Cepat jalan."

Simon berusaha bangkit berdiri, ia berjalan pelan, dan dari belakang kembali di tendang sehingga jatuh berlutut di depan Liam.

"Apa-apaan kalian?" Liam tertawa pelan, ia merangkul Simon. "Maafkan kami, ya, Simon."

"I-Iya, Liam." Karena takut, Simon pun menjawab.

"Kau teman kami, kan? Kau mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, kan?"

"Ba-Baik, aku akan kerjakan untuk kalian."

"Bagus sekali. Kau memang teman kami."

Pemandangan ini sudah biasa terjadi. Akademi Eldemer College yang termasuk ke dalam sekolah paling terburuk di kota Lorandia. Kumpulan para pelajar dengan nilai terendah dan bermasalah.

Tadinya sekolah ini akan ditutup dikarenakan tidak ada lagi guru maupun kepala sekolahnya yang sanggup mengurus anak-anak ini.

Jika tidak sekolah, lalu di mana mereka akan diterima? Sekolah lain menolak anak yang punya masalah. Untuk itu mereka yang punya uang menyumbang untuk sekolah swasta ini agar terus beroperasi.

Kekacauan semakin terjadi. Bahkan guru yang bertahan tidak ada lagi. Sekolah ini menjadi ajang taruhan serta kekerasan lainnya.

Hingga muncul seorang pahlawan yang mampu menaklukkan sekolah Eldemere College. Menjadikan preman-preman sekolah itu sebagai pengikut.

Sistem kembali berjalan dengan normal. Ada beberapa guru yang mulai mengajar lagi. Mereka harus patuh pada pengajar jika ingin lulus dan diterima di universitas.

Namun, sistem itu tidak berjalan lama. Setelah pahlawan itu lulus, lambat laun sekolah dikuasai oleh para anak orang kaya. Bahkan ada gosip yang mengatakan adanya campur tangan orang dewasa yang menciptakan rank di sekolah.

Pintu kelas digeser ke samping. Seorang wanita melangkah masuk bersama pemuda yang belum familiar bagi seisi kelas.

"Ehem!" Wanita ini menaikkan kacamatanya. "Kumohon tenang." Dia adalah Miranda, guru bahasa asing. "Kita kedatangan murid baru. Nak, silakan perkenalkan dirimu."

"Halo, semua! Namaku Ethan. Aku pindahan dari sekolah Ardentis. Semoga kita dapat berteman dengan baik." Pemuda ini membungkukkan tubuhnya sebagai salam hormat.

"Anak-Anak, Ibu harap kalian dapat berteman dengan Ethan." Miranda menoleh pada siswa barunya. "Kau boleh duduk di kursi kosong."

"Terima kasih, Bu Guru." Kursi kosong itu ada di belakang. Untuk menuju ke sana, Ethan harus melewati koridor di mana Liam dan teman-temannya duduk.

"Mangsa baru. Sepertinya dia mirip Simon. Dia bisa jadi target kita," ucap Liam.

"Apa itu sekolah Ardentis? Aku belum pernah mendengarnya." Teman Liam yang lain tidak tahu apa-apa.

"Kenapa kau memikirkan soal sekolahnya? Memangnya itu penting?" Liam merencanakan sesuatu. Ketika Ethan hampir dekat dengannya, ia menjulurkan kaki.

Ethan berjalan melewati satu per satu meja belajar. Tanpa sadar kaki Liam siap menghadang. Ethan yang tanpa sengaja tersandung, jatuh akibat kejahilan teman sekelasnya ini.

Semuanya tertawa karena Ethan yang tiba-tiba jatuh. Miranda menepuk meja agar semuanya diam. Namun, seperti yang sudah terkenal di sekolah ini, mereka sulit mendengarkan.

"Diam!" teriak Miranda. "Kau harus berhati-hati, Ethan. Cepat duduk di bangkumu."

"Maaf, Bu." Ethan segera bangkit berdiri. Ia menoleh pada Liam yang tersenyum sinis. Ethan menghela napas panjang, lalu segera menuju bangkunya.

Simon yang melihat itu hanya bisa prihatin. Mungkin Ethan juga akan bernasib sama dengannya.

Pelajaran yang membosankan. Ethan berusaha menyimak penjelasan guru, tetapi pikirannya teringat akan masa lalu. Sekolah Ardentis. Sekuat apa pun Ethan mencoba melupakannya, tetap saja bayangan kelam itu terus menghantui.

"Ini yang terakhir. Hanya sekolah ini yang mau menerimamu. Tempatnya di pinggir kota. Ayah harap kau tidak membuat ulah. Diamlah seperti patung. Fokus pada pelajaran dan segera lulus. Kau akan kukirim ke luar negeri setelah itu."

Ethan teringat ucapan ayahnya tadi pagi. Jika ia kembali membuat ulah, maka tidak ada lagi sekolah yang mau menerimanya.

Dering bell terdengar. Membuyarkan lamunan Ethan dari segala ingatan kelam. Ia tidak berminat ke kantin. Lebih baik tidur di kelas saja.

Namun, ada saja mereka yang tidak mau membuat orang lain tenang. Ethan menutup kepalanya dengan ransel, mencoba tidak mendengarkan, tetapi mereka sangat berisik.

Para perisak yang mendominasi tengah membuat korbannya menderita. Mereka mulai memerintah dan parahnya korban harus membeli semua jajanan untuk mereka.

"Aku mau roti isi daging dan susu kotak. Cepat kau belikan," ucap Liam.

"Aku tidak punya uang. Keluargaku juga kesusahan. Ibuku tidak memberiku uang jajan," kata Simon.

"Bajingan kecil. Kau membohongiku, ya?"

"Benar, Liam. Aku sungguh tidak punya uang."

"Periksa tas dan sakunya. Dia pasti menyembunyikan uang itu." Liam memerintahkan tugas pemeriksaan kepada dua temannya.

Yang satu memeriksa tas dan satu lagi memeriksa tubuh Simon. Ketika Simon tidak mau, maka mereka akan memukulnya.

"Ini apa, hah?"

Plak ... !

Pemuda menampar wajah Simon, lalu memberikan uang saku yang Simon sembunyikan di dalam sepatu kepada Liam.

"Ugh! Berengsek!" Liam menendang Simon. "Kau pintar sekali menyembunyikan uang. Membuatku kesal berarti kau harus memberiku uang dua kali lipat."

Simon lekas menggeleng. "Maafkan aku, Liam. Itu adalah uang untuk membayar les tambahanku."

"Memangnya aku peduli. Kau harus membawa uang 500 dollar besok."

"Kumohon padamu. Maafkan aku."

"Berani sekali kau membantah. Habisi dia."

Dua rekan Liam dengan senang hati memukuli Simon. Meski pemuda itu memohon maaf, tetapi mereka tidak peduli dan malah menikmati.

Braak!

Suara meja terdengar digebrak. Pemuda yang satu ini sudah tak kuasa menahannya. Mereka sangat berisik.

"Woi!" Ethan menegur, membuat ketiganya diam. "Apa kalian tidak bisa berhenti? Aku ingin tidur sebentar." Ethan menatap tajam Liam.

"Kita pergi sekarang," kata Liam seraya mengajak teman-temannya yang lain.

Ketiganya keluar dari kelas. Justru pilihan Liam yang memilih pergi menjadi pertanyaan bagi dua temannya.

"Liam, kenapa kita tidak beri pelajaran saja anak baru itu?"

"Anak pindahan itu berani juga rupanya."

"Perutku lapar. Kita makan dulu." Masalahnya Liam merasa ada yang aneh dengan tatapan pemuda itu. Ia jadi merinding.

Lanjut membaca
Lanjut membaca